Minggu, 15 Agustus 2010

Kisah Pemburu Gula-Gula


Barangkali engkau punya teman seperti Mas Doni, seorang penata rambut yang belum lama menjadi temanku.
Dulu ia hanyalah seorang yang -kupikir- terlalu gagah hanya dengan 'senjata' gunting di tangan, dan terlalu sedikit bicara untuk pekerjaan yang berurusan dengan perempuan. Tapi sekarang kami sering terlibat dalam obrolan menarik, dimana pembahasan tentang rambut hanyalah sekilas info. Sisanya tentang serba-serbi kecantikan batin, yang lucunya kami lakukan di tengah-tengah perkakas kecantikan fisik. Aku tidak pernah bosan mendengar kisah tentang perjalanan spiritualnya, nasihat-nasihat gurunya, dan betapa ia telah menjadi diri yang berbeda sejak belajar ini-itu. Tentu saja aku tidak bosan, karena setelah sekian menit berjumpa dengannya, pasti ada yang baru pada diriku. Jika bukan pengalaman batin, setidaknya potongan rambutku! ;-)

Barangkali engkau juga punya semacam antena seperti aku, antena internal yang tiba-tiba saja siaga tanpa diminta seperti kuping kucing atau kuping highlander. I really don't know what to expect; aku hanya menatap mulut Mas Doni yang tahu-tahu tertangkap mataku sebagai gerak amat lambat, seolah waktu terhenti beberapa detik.
"Janganlah kamu menjadi pemburu hadiah. Malulah kamu kepada Allah karena beribadah demi pahala. Allah tidak butuh pahala yang kau kumpulkan. Bulan puasa ini, tunjukkan padaNya bahwa kamu meninggalkan kebiasaan buruk dan berubah menjadi diri yang diperbarui", demikian Mas Doni menyampaikan pesan gurunya.
(Selalu begitu datangnya pesan-pesan 'aneh' ini. Pesannya selalu biasa, hanya cara datangnya yang tidak biasa. Tapi aku tahu, pasti aku memerlukannya dalam waktu dekat...)

Barangkali dalam hidupmu ada seseorang yang lucu seperti yang akan kukisahkan berikut ini.
Si Lucu ini rajin mengunjungimu, tapi -lucunya- ia tidak datang karena dirimu. Ia tahu bahwa ia akan disambut, dan ia menyukaimu karena padamu ada banyak kue dan gula-gula.  Engkau lalu menjadikan gula-gulamu sebagai iming-iming agar dia belajar dan mengembangkan diri, tapi ternyata itu hanya membuatnya semakin pintar memilih kata-kata yang kau sukai. Engkau tahu, di belakangmu ia tetap seorang dekil ... eh, lucu... yang tak malu-malu melakukan hal-hal yang ... eh... mempermalukan dirinya.

Engkau tak tahu dengan pasti, apakah ia akan tetap datang jika engkau menahan gula-gulamu.
Kadang engkau ingin menjauhinya, karena engkau takut kemurahanmu membuatnya makin ceroboh, makin malas belajar, dan makin ... lucu (yeah, itu maksudku ;-)). Tapi engkau tak tahan melihatnya menyakiti kiri-kanan ketika ia kehabisan -atau bahkan kebanyakan- gula-gula. Ia lucu, karena siksaan tak mengubahnya; lucunya ... kenikmatan pun tidak. Ia habiskan gula-gula yang ada padanya secepat kilat, dan secepat itu pula ia menghambur padaku untuk mengadukan semua 'kemalangan' lamanya (... yak, benar-benar semua, karena semua takdirnya memang tidak berubah!). Namun dengan pintar ia akan segera mengingat kata-kataku dulu: "Rumahku bukan tempat perlindungan para korban. Kalau engkau seorang pejuang, walau pejuang yang kelelahan, engkau boleh memulihkan energimu di sini". Lalu, dengan lihai pula ia mengubah perannya menjadi anak manis yang -seakan-akan- siap berubah demi menyenangkanku.
(Selalu begitu, lagi dan lagi. Membuat harapanku padanya makin lama makin menurun saja. Baiklah, jika ia memang sulit mengubah diri, setidaknya ia masih lari ke arahku setiap ia dalam masalah. Di sini adalah tempat aman baginya, karena di daerah kekuasaanku ia tidak akan mempermalukan diri dan tidak akan berani mencari kesulitan. Adanya dia di sini juga akan melindungi pihak-pihak lain yang tak punya daya menghadapi 'kelucuan'nya).

Hai, ternyata kelucuan itu menular!
Si Lucu itu sesekali membuat kami lucu, karena kami jadi sibuk menganalisis, bersiasat, bertipu-tipu, padahal dia ada di luar kendali. Mengeluh tentang kelucuannya adalah kebiasaan yang akan kami tinggalkan, karena tampaknya tertawa dan menertawakan diri sendiri lebih menarik ;-). Sekarang aku bahkan lebih tahu mengapa si Lucu ini harus hadir dalam hidupku. Lihatlah, ia selalu habis-habisan merapikan rumahku, tamanku, kamar mandiku, dan tumpukan kardus... (ya ampun, rumahku jorok sekali yah!). Kalau perlu semua itu dilakukannya di waktu-waktu yang 'ajaib' seperti dini hari dan malam yang sepi, atau siang hari yang panas bukan main.
"Hai, hai, kau tidak perlu melakukannya! Aku tidak butuh semua ini. Lakukan saja latihan-latihan yang kuajarkan, karena itu bisa membuatmu kuat lahir-batin dan fokus!", begitu teriakanku selalu. Tapi ia hanya mengangguk dan melanjutkan kerja-baktinya, karena dia mengira BEGITULAH CARA MENYENANGKAN BUNDA...

(Ah, apa yang dia tahu tentang menyenangkan aku! Aku seringkali dibuatnya gembira dan optimis melihatnya sedikit lebih baik setiap kali, sekalipun kemajuan yang kulihat itu ternyata mengandung ... tipu-daya. Tidak apalah, setidaknya ada hiburan sedikit di antara kekonyolan dan hari-hariku yang padat. Ia pasti masternya lucu, karena ia yang membuat kami-kami jadi bodoh dan lucu.)

Barangkali juga kita selucu itu di mata Allah, karena sering habis-habisan memperlihatkan diri sebagai orang taat dan baik, padahal sebenarnya kita cuma 'pemburu gula-gula' dan berbagai hadiah ... eh pahala. Ya, kita pasti lucu sekali, karena mengira bisa menyogokNya sekali setahun. Padahal mana mungkin Yang Maha Kaya butuh sogokan?

Sesungguhnya Dia menunggu kita berubah, memperbaiki dan memperbarui diri. Bagi Pencipta sistem kecerdasan yang menitipkan ciptaanNya pada kita, perubahan itulah yang terpenting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar