Tampilkan postingan dengan label spiritual. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label spiritual. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Maret 2011

Buatlah Aku Ternganga, Kawan !

A DELICIOUS CONVERSATION WITH MY ATHEIST FRIEND ;-)


"Atheists can be spiritual", kata teman baruku ini.

Ia mengakui betapa aneh dan kontradiktifnya pernyataan tersebut bagi para religius, seaneh anjing yang mengeong atau kubus yang bundar, katanya. Yang ia tidak tahu, sebenarnya ada saja orang religius (mmm ... siapa ya ? ;-)) yang tidak merasakan pernyataan semacam itu sebagai keanehan. Sepuluh tahun lalu aku pernah tergila-gila pada pemikiran para atheist (yang kadang menyebut diri mereka humanis) dan agnostic, bahkan sengaja mengoleksi setumpuk artikel mereka dari internet.

So, apakah spiritual?

Bagi mereka, spiritual adalah sebuah perasaan universal yang menyatukan semua manusia, dimana berbagai keajaiban kecil dalam keseharian, diwarnai atmosfer 'zona yang tak diketahui' (baca: misterius, tak terukur), semua bercampur-aduk dalam kompleksitas dan keindahan yang agung... (ehm, sepertinya begitu juga makna spiritual bagiku, my friend ...;-). Einstein menamai kondisi batin semacam ini sebagai Cosmic Religion. Dan ternyata 'agama ala Einstein' ini diterima, baik oleh para atheist maupun para theist (religius).

"The most beautiful experience we can have is the mysterious," demikian kata Einstein.

"Misteri adalah pengalaman emosi terdalam manusia yang paling penting; ia merupakan titik pertemuan antara seni sejati dan sains sejati. Barang siapa tidak mengalaminya, tak lagi terpesona, juga tak berhasrat untuk mencari tahu, mereka sama bagusnya dengan ... orang mati".

"Pengalaman dengan misteri -yang sesekali bercampur dengan rasa takut- itulah yang melahirkan dan menghidupkan agama. Karena seringkali pengetahuan itu tak dapat ditembus. Tapi melalui keindahan terdalam, kita dapat menyentuhnya. Keindahan terdalam itu hanya tersedia dalam bentuknya yang paling primitif, yaitu pengalaman dengan misteri", kata Einstein lagi ...

Berdasarkan pemahamannya yang amat menarik tentang pengalaman dengan misteri (yang amat kusetujui ;-) itulah Einstein -juga para atheist- mengaku diri mereka sebagai ... religius. Atau setidaknya spiritualis.
Mereka mengagumi berbagai jalinan mikroskopik yang membuat tanaman bertumbuh, mengeraskan sisa-sisa tubuh hewan laut menjadi bukit kapur, menyatukan uap air menjadi awan, juga membuat kita bergelimpangan gara-gara mikroba yang 'nakal'. Mereka terpesona pada bigbang yang telah memuntahkan samudera partikel, dimana material subatomik itu lalu membentuk milyaran galaksi, hingga terwujudlah 'sebutir pasir' yang kita sebut rumah (baca: Bumi).

Mereka masih menghela nafas mengenang bagaimana kehidupan Bumi dimulai oleh cyanobacteria purba yang bertransformasi menjadi mahluk multiseluler yang makin kompleks, hingga terbentuklah arthropod, ikan, tumbuhan, dan mamalia. Mereka juga ternganga mengingat betapa manusia telah bertumbuh menjadi spesies yang mampu berjuang menangani penyakit, kelaparan, gempa, pergi ke Bulan, juga mengirimkan pesawat ke planet-planet lainnya.

So, setuju sekali, my atheist friend. Semua ini memang very breathtaking, dan aku juga merasakan spiritualitas yang kau gambarkan ketika kubiarkan diriku tenggelam dalam keterpesonaan ini  ...

Jelas kita semua sama, dan persamaan ini merupakan sebuah permulaan yang baik (sebagaimana kau bilang).

Lalu bagaimana kita bisa berbeda ?

Well, kau bilang bahwa perbedaan antara theis dan atheis hanya terletak pada penafsiran belaka. Atheis menolak kehadiran Tuhan dalam realita (yang sama-sama membuat kita ternganga itu), lebih-lebih gagasan tentang Tuhan yang mengiming-imingi hadiah dan mengancam dengan hukuman itu tidak masuk akal bagi mereka. Mereka cukup puas dengan misteri tentang keabadian, juga dengan kesadaran akan jalinan kehidupan cerdas yang mampu menata diri sedemikian rupa. "Bukan roh jahat yang membuat kita sakit, tapi mikroba. Bukan Poseidon yang memulai gempa, tapi gerakan lempeng tanah. Bukan sihir yang membuat kita saling terhubung, tapi ... internet ;-)", begitu pembelaanmu (yang terjemahannya sengaja kupilin sedikit. Biar pembacaku gak terlalu serius menanggapinya ;-)).

Well, tidakkah pemahamanmu tentang semua ini cenderung berbasis memori, kawan ?

Jangankan engkau, para theist yang memory based pun banyak yang terjebak dalam penjara yang sama.

Engkau marah pada gereja (riwayatmu duluuu) yang mengingkari sains dan membakar Galileo. Tapi kau sudah lihat akhirnya bukan? Tak ada yang bisa membendung tumbuhnya ilmu pengetahuan.

Engkau benci pada keyakinan akan roh jahat, sihir dan Poseidon. Tapi lihatlah di mana mereka yang masih jadul oriented ini berdiri ? Di tempat kumuh dan gelap, bahkan di alam ... kubur.

Engkau juga muak pada Tuhan yang berorientasi reward dan punishment, padahal gambaran Tuhan semacam ini hanyalah interpretasi subjektif yang kita pilih sendiri.

Yah, kita bisa saja terjebak dalam perdebatan tentang Tuhan yang ingin kita percayai. Tapi ketahuilah kawan, Tuhan yang dibicarakan dan diperdebatkan itu hanya ada di wilayah interpretasi. 

Remember what they say about "the map is not a territory", my friend ?

Bahkan dengan sesama Muslim dalam satu perguruan, peta dan interpretasi kami tak akan benar-benar sama. Dan memang seharusnya demikian. Setiap peta perjalanan haruslah personal, karena ia dibangun oleh pengalaman dengan emosi terdalam kita masing-masing (sebagaimana kau yakini sebagai pengalaman dengan misteri).

Ketika sesama pengembara -dengan petanya masing-masing itu- akhirnya bertemu di Teritori yang sama, tak ada lagi Tuhan yang perlu diperdebatkan, apalagi dipertentangkan. Karena perdebatan itu selalu mengenai peta ... atau interpretasi. Padahal di tempat tujuan yang bernama Teritori itu, di antara sesama pengembara itu hanya akan terjadi satu urusan 'bodoh' ;-), yaitu ... saling membenarkan. Mereka mungkin akan saling mempelajari macam-macam peta yang telah membuat mereka saling dipertemukan, hingga terjadi satu hal 'bodoh' yang lain lagi, yaitu : Wooow ! (dan mulut mereka menganga lagi dan lagi) ;-)

Sejujurnya, mengapa aku menyukaimu, karena aku melihat ada diriku dalam dirimu, kawan.

Engkau sendiri menyetujui bahwa existence doesn't pick a side.
Kalau saja engkau tahu, bahwa para theist pun sesungguhnya diharuskan belajar untuk tidak memihak, lebih-lebih jika mereka meyakini bahwa Tuhan itu 'tidak di Timur maupun di Barat'.

Yah, engkau belajar begitu banyak, kawan, bahkan kepalamu dipenuhi berbagai pertanyaan mendasar yang bodoh (sebagaimana diriku selama ini, hingga aku seringkali dianggap aneh oleh sesama theist di negeriku sendiri ;-)). Jadi tampaknya aku tidak akan keberatan untuk bergabung dalam Cosmic Religion ala Einsteinmu itu. Karena aku setuju, bahwa tidak terpesona dan tidak mencari tahu hanyalah perilaku para ... carcasses (ups! jadi ingat 'wong mati ora obah' dalam sluku-sluku bathok ;-)).

Aku juga suka petamu, kawan. Bahkan sudah lama gambaran yang kau kisahkan itu ada dalam peta pribadiku.
Engkau bilang, spiritual adalah tentang mengakui bahwa kita tidak selalu tahu. (Bagi orang yang tidak tahu dimana enaknya ternganga, pasti tidak tahu apa maksudnya kalimat konyol ini...;-)).
Tapi hari ini aku tersenyum melihat sebuah hal baru: Bahwa sebanyak apapun fakta yang kau masukkan dalam petamu, semua hanya semakin meyakinkanmu bahwa Tuhan tidak mungkin ada, termasuk berbagai paket religius lainnya yang meliputi angel, afterlife dan sebagainya.
Tidakkah aneh jika fakta dan bukti yang sama banyaknya justru membuat orang lain memiliki keyakinan yang berlawanan denganmu, yaitu ... semakin yakin bahwa Tuhan itu sangat ada, sangat mengintervensi, bahkan hadir di mana-mana ?

Jadi apakah sebenarnya yang membuat kita berbeda, kawan ?

.......

Yang kutahu, Tuhan adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan zona yang kita tidak tahu.
Zona itu begitu luasnya, bahkan yang disebut bukti tentang zona itu hanya mungkin dicapai melalui penyatuan antara diri kecil kita dengan zona yang tak terhingga itu.
Tentu saja engkau bisa menyatukan diri kecilmu dengan zona itu, tapi itupun hanya terjadi jika engkau meyakininya. Jelas tak cukup hanya dengan percaya, karena percaya itu selalu menuntut bukti (yang datang kepada kita).

Yang kutahu -lagi- adalah bahwa : Bukti itu tak cukup hanya dipetakan dan diinginkan. Ia harus didatangi dengan melibatkan diri utuh, sebagaimana kau gambarkan sebagai pengalaman emosi terdalam.

Jadi my atheist friend, bagaimana kalau berikutnya kita akan berbagi pengalaman terdalam tentang proses penjelajahan bukti dan Teritori tersebut ?

Aku sudah terpesona melihat petamu, berikutnya aku ingin ternganga mengagumi kisah perjalanan batinmu dalam memvalidasi kebenaran petamu ...;-)

Salam Cosmic Religion !

"There is God ?"
picture source: http://www.funnypics4all.com/pics/3/1/3115_12.html

Senin, 21 Februari 2011

Aji Mumpung ala Anak Gembala

picture source: http://www.funnypics4all.com/pics/2/9/2934.jpg


Sayup-sayup bangun tidur
Tanaman melambai
Begitu hijau dan segar
Seperti pengantin baru

Anak gembala, anak gembala
Tolong panjatkan pohon belimbing itu
Tolong panjatkan meskipun licin
(Jadikan buahnya) Untuk mencuci baju dodotmu

Baju dodotmu sobek di pinggir
Jahitlah, benahilah
Supaya bisa dipakai 'sebo' nanti sore

Mumpung terang bulannya
Mumpung luang waktumu

Mari bersorak, mari bergembira

(terjemahan bebas tembang dolanan Lir-Ilir)
___________________________________


Teman, jika engkau pernah menjalani masa kanak-kanak di daerah perkotaan Jawa sekitar tahun 70 an, jangan-jangan engkau termasuk generasi terakhir yang  pernah mendengar dan menyanyikan tembang tersebut.

Waktu itu televisi masih hitam-putih. Tak ada iklan, tapi kekayaan lokal -termasuk lagu-lagu daerah- mengalun hampir setiap sore.  Pak Toni, guru kesenian kami saat itu memaksa kami untuk memperbarui lagu-lagu daerah. Dan kami terpaksa senang, karena perlombaan demi perlombaan yang kami ikuti membuat kami boleh membolos beberapa jam pelajaran sehari. Apalagi ditambah kesempatan berkostum cantik dan tampil di panggung yang sama dengan penyanyi beneran... Wah, dipaksa sering-sering pun tak apa, Pak !

Tahun-tahun itu, ijo royo-royo masih melambai dimana-mana. Jadi meskipun televisi mulai berwarna-warni, ijo royo-royonya lapangan terbuka  dan sorak-sorai bersama teman-teman masih amat mempesona. Memang bukan Lir-ilir lagi yang kami nyanyikan (kecuali di panggung perlombaan folk song), tapi Lir-ilir di televisi yang sayup-sayup terdengar selagi mandi sore masih bisa menggoyang dan menggerakkan irama internal kami.

Kini, entah kemana sekarang ijo royo-royo itu. Ia sudah digantikan oleh mall dan pertokoan yang beku. Lambaian ijo royo-royo yang merayakan kemenangan dan kesejahteraan 'burung-burung kecil' itu telah diambil alih oleh lambaian industri milik 'burung-burung besar' yang mengundang kita untuk memasuki sebuah 'ruang tertutup'. Yang disebut mainan itu kini adalah boneka buatan pabrik, mobil-mobilan, robot; bukan lagi ruang terbuka, batu kerikil, biji buah sawo, kain sarung, dan susunan kursi yang dijadikan kereta api. Yah, derap industri memang telah berjasa memudahkan semua urusan kita. Serahkan saja semua hiburan dan agenda pengasuhan itu pada barang-barang pabrik, jadi para orangtua bisa asyik dengan mainan mereka sendiri ...  (Kita terpaksa harus begitu bukan? Kalau tidak, mereka akan mengatai kita ketinggalan jaman ...;-))

Mereka bilang, rumput tetangga lebih hijau dari rumput halaman sendiri.
Tapi ternyata masih ada yang dianggap lebih hijau daripada tanaman dan berbagai irama alaminya itu. Sekarang, irama ekonomilah yang lebih ijo royo-royo di mata kita semua. Dan tragedi ini biasa terjadi, dimana irama alami yang tak berpihak itu selalu kalah oleh irama ekonomi yang memihak kepentingan segelintir orang. Anak-anak adalah korban yang paling rentan. Ketika anak-anak masa lalu merayakan padhang mbulan dan menyoraki datangnya pagi, anak-anak sekarang (termasuk orangtuanya..;-)) membiarkan irama hidup mereka dikendalikan oleh produk baru, game, Blackberry, dan segudang ... pe-er.

Tentu saja tidak semua hal tentang ritme ekonomi ini berdampak buruk. National Geographic mengisahkan tentang sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa anak-anak sekarang bisa mengingat 4000 logo yang dipaparkan lewat iklan dan televisi. Bukan main ! Mereka tahu logo Starbuck, Mc.D, barang-barang elektronik, juga tahu wajah-wajah selebriti (maksudnya para aktor dan pelawak). Kekurangan mereka tentu ada, yaitu... tak mampu menyebut 10 spesies tumbuhan yang ada di sekeliling rumah mereka.

Tapi 10 versus 4000 itu cuma kekurangan kecil bukan ?
Euh ... (menghibur diri ;-))

..........

Anak gembala, anak gembala
Tolong panjatkan pohon belimbing itu
Tolong panjatkan meskipun licin
(Jadikan buahnya) Untuk mencuci baju dodotmu

..........

Teman, jangan-jangan kitalah pewaris terakhir tembang ini.
Kitalah anak gembala, cah angon yang sedang digugah oleh Sunan Kalijaga, sang pencipta tembang ini.
Kita diminta memanjat sebuah pohon yang buahnya berbentuk bintang dengan lima sudut (whatever that means, it's your decision ! ;-)).
Kita didorong untuk berani dan tak menyerah, sekalipun pohonnya licin. Siapa tahu buah pendakian itu bisa digunakan untuk meluruskan ego dan melepaskan keterikatan kita pada irama palsu yang disimbolkan sebagai baju dodot, baju kebesaran ala bangsawan itu.
Lalu, dengan baju dodot yang telah diperbarui, kita bersiap untuk 'sebo', duduk bersimpuh untuk menerima ajaran kearifan. Atau bahkan menghadap Sang Raja.

Dasarnya cuma aji mumpung.
Mumpung masih terang bulan sang penyembuh itu.
Mumpung kita masih bangun, masih bisa merayakan, mengisi dan mempertahankan kemenangan.

..........

Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar

Bocah angon, bocah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro

Dodot iro, dodot iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono, rumatono
Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak'o surak hiyo




Ingin menyimak penafsiran tembang Ilir-Ilir yang lebih 'meriah' ?
Lihat : http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=395
juga http://www.youtube.com/watch?v=sgaYV77hK00

Jumat, 14 Januari 2011

Malam Terakhir Bobo


Ada dua kemungkinan mengapa rasa kehilanganmu cukup serius ketika menghadapi kematian hewan piaraan. Pertama, engkau berumur tak lebih dari sekitar 15 tahun. Kedua, namamu ... Tuty Yosenda. (It's me!) 
(Padahal... tahukah kau berapa umurnya?
Ia bahkan lebih tua dari 15 dikalikan tiga...) ;-)

Aku berumur 10 tahun ketika hewan piaraan pertamaku mati. Ada Bobi, seekor anjing tua dan sakit yang memilih pergi diam-diam ke tepi sungai di akhir hidupnya. Disusul Kukuk, seekor ayam kate yang suka dipeluk dan dibawa jalan-jalan. Belajar dari rasa kehilangan itu, aku sempat 'menjaga jarak' dengan hewan-hewan piaraan. Bahkan sebelum tanda-tanda kematian mereka semakin menguat, aku segera menyerahkannya pada Mama.
"Kutitipkan ia padamu, Ma. Terserah Mama bagaimana mengatasinya. Tapi tolong perlakukan ia sebaik-baiknya."

Itulah kenangan yang tiba-tiba muncul malam ini.

Mengapa kenangan itu muncul... sekarang?
Karena malam ini Bobo sedang melalui malam terakhirnya.

Bobo adalah seekor kelinci abu-abu yang suatu hari tiba-tiba hadir di ruang tamuku. Entah darimana ia datang, tapi kami menyambutnya dengan suka cita. Sebelum Bobo, ada Hairball, kucing hitam berbulu tebal yang juga datang entah darimana. Konon ada tetangga yang memelihara berbagai macam hewan, termasuk ular. Mungkin Hairball adalah kucing mereka yang menyelinap keluar, lalu merasa betah selama beberapa minggu di rumah kami. Ketika akhirnya ia tidak muncul lagi, kami selalu berpikir: "Mungkin ia menemukan rumah yang disukainya, atau malah sebuah rumah yang bisa ... mengurungnya." (Hal yang tak mungkin terjadi di rumahku, karena ruang yang terbuka di berbagai penjuru). Ya, sesekali kami merindukan Hairball yang tidak seperti kucing biasa. Ia tahu kapan waktunya mengajak bermain dan bermanja-manja, juga tahu kapan waktunya menjaga jarak... (It's so me!)

Kembali ke Bobo, kelinci abu-abu berhidung putih, dengan 'kaus kaki' yang juga putih itu.
Ia tak puas hanya dengan berkeliaran di halaman rumahku yang luas; ia bahkan merumput di taman tetangga. Dengan cemas kami mengamatinya melintasi sela-sela pagar rumah, takut kepolosannya akan dimanfaatkan oleh para tukang sol sepatu, tukang sayur, kucing liar dan lain-lain. Tapi anehnya, tiap sore kami mendapatinya pulang, berbaring manis di ruang makan, lalu mengejar siapa saja yang mendekat, mengendus jempol kaki kami, melompat ke pangkuan, dan hanya berhenti setelah mendapat upah wortel dan cracker kesukaannya. Esok paginya, ketika semua pintu rumah terbuka, ia berjemur santai di teras depan, bagaikan bapak-bapak yang sedang menunggu kopi dan koran pagi. Hanya pada minggu pertamanya saja ia suka main ke tetangga. Selama 2 bulan berikutnya ia ternyata memutuskan untuk menetap di rumah kami, dimana halamannya amat terbuka dan bisa dia tinggalkan sewaktu-waktu. Sungguh aneh melihat seekor kelinci yang merasa perlu memiliki aura kebebasan semacam itu ... (Just like me!)

Tapi akhirnya kepolosan dan kebebasan Bobo itu pada akhirnya terbukti menarik bahaya. Seekor kucing liar hampir berhasil melarikannya, dua kali pula! Walaupun Bobo selamat, ia sempat berubah menjadi layu dan pemurung. Sejak itu sebagian area kami beri pagar kawat. Kami bahkan memberikan pasangan padanya, seekor kelinci jantan berwarna coklat susu yang dinamai Choco. Sayangnya mereka gagal menjadi pasangan romantis, karena Bobo ternyata ..... jantan juga! Untungnya Bobo bisa bergembira setelah ada Choco. Mereka tidur dengan saling menyandarkan badan, saling mengenduskan mulut, dan berbagi wortel yang sama. Sungguh kelinci-kelinci yang menggemaskan. Mana ada kelinci yang lebih tergoda untuk masuk ke dalam rumah daripada bermain di halaman berumput?

Ya, kami memang mampu menjaga mereka dari incaran kucing liar. Tapi kami tidak dapat melindungi mereka dari penyakit ...

Kini Bobo sedang sendirian di dalam kardus; dan aku yang tak punya keberanian ini juga sedang sendirian di alam memoriku. Barangkali ini malam terakhirnya, itu sebabnya aku memutuskan untuk mengenang jejak-jejak kecilnya. Aku tidak akan lupa moncong putihnya yang imut, rasa amannya ketika berjemur di teras terbuka, dan tidur siangnya yang nyaman di atas batu di tepi kolam. Beberapa minggu lalu bahkan ada bajuku yang kusebut sebagai 'baju kelinci', yang sebenarnya merupakan baju jogging yang siap dicuci, sehingga tidak masalah jika dikotori lagi oleh seekor kelinci yang ingin dipangku. Entah kemana saja aku belakangan ini, karena ritual kelinci itu sudah lama kulupakan. Kalau saja aku tahu bahwa malam terakhirnya hari ini, barangkali beberapa hari ini aku akan membuat prioritas yang berbeda.

Bobo, engkau memang hanya seekor kelinci. Tapi engkau sendiri yang memilih datang kepada kami, dan membawa 'kehangatan lintas spesies' yang tak akan kulupakan. Engkau juga mengingatkanku tentang betapa singkatnya kehadiran kita di dunia ini. Kini engkau membuatku berbisik kepada Tuhan, sebagaimana aku dulu berbisik pada Mama setiap kali hewan kesayanganku menghadapi kematian.
"Kutitipkan ia kepadaMu, Tuhan. Terserah bagaimana Engkau melakukannya, tapi tolong perlakukan ia sebaik-baiknya."

Bobo, engkau telah membawa kenanganku kemana-mana, bahkan pada mendiang Mama.
Menjelang kepergiannya, di tengah perasaan tak berdaya itu aku hanya bisa berbisik di dalam hati:
"Mama, aku tidak akan pernah bisa membayar kebaikanmu. Aku hanya bisa berjanji: All my life, I will do anything in the best possible way".

Dan hanya beberapa saat lalu, ketika perasaan kehilangan dan helpless yang khas itu muncul lagi, kembali aku diingatkan betapa mustahilnya kita sembunyi dan lari, kecuali kepada Dia yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi dan mengambil kembali ...

"Ya Allah, demi Bobo yang kehadirannya membawa kegembiraan pada kami,
demi Bobo yang kuharap mendapatkan penjagaanMu...
I will live, work, play, speak...
and I will do all those thing in the best possible way..."

Baiklah Bobo, mungkin ini malam terakhirmu.
Tapi jejak kecilmu itu telah kuabadikan sebagai janji kepadaNya, dan akan kuupayakan sebaik-baiknya sepanjang hidupku.

Bobo, Choco dan Kaka


Minggu, 15 Agustus 2010

Kisah Pemburu Gula-Gula


Barangkali engkau punya teman seperti Mas Doni, seorang penata rambut yang belum lama menjadi temanku.
Dulu ia hanyalah seorang yang -kupikir- terlalu gagah hanya dengan 'senjata' gunting di tangan, dan terlalu sedikit bicara untuk pekerjaan yang berurusan dengan perempuan. Tapi sekarang kami sering terlibat dalam obrolan menarik, dimana pembahasan tentang rambut hanyalah sekilas info. Sisanya tentang serba-serbi kecantikan batin, yang lucunya kami lakukan di tengah-tengah perkakas kecantikan fisik. Aku tidak pernah bosan mendengar kisah tentang perjalanan spiritualnya, nasihat-nasihat gurunya, dan betapa ia telah menjadi diri yang berbeda sejak belajar ini-itu. Tentu saja aku tidak bosan, karena setelah sekian menit berjumpa dengannya, pasti ada yang baru pada diriku. Jika bukan pengalaman batin, setidaknya potongan rambutku! ;-)

Barangkali engkau juga punya semacam antena seperti aku, antena internal yang tiba-tiba saja siaga tanpa diminta seperti kuping kucing atau kuping highlander. I really don't know what to expect; aku hanya menatap mulut Mas Doni yang tahu-tahu tertangkap mataku sebagai gerak amat lambat, seolah waktu terhenti beberapa detik.
"Janganlah kamu menjadi pemburu hadiah. Malulah kamu kepada Allah karena beribadah demi pahala. Allah tidak butuh pahala yang kau kumpulkan. Bulan puasa ini, tunjukkan padaNya bahwa kamu meninggalkan kebiasaan buruk dan berubah menjadi diri yang diperbarui", demikian Mas Doni menyampaikan pesan gurunya.
(Selalu begitu datangnya pesan-pesan 'aneh' ini. Pesannya selalu biasa, hanya cara datangnya yang tidak biasa. Tapi aku tahu, pasti aku memerlukannya dalam waktu dekat...)

Barangkali dalam hidupmu ada seseorang yang lucu seperti yang akan kukisahkan berikut ini.
Si Lucu ini rajin mengunjungimu, tapi -lucunya- ia tidak datang karena dirimu. Ia tahu bahwa ia akan disambut, dan ia menyukaimu karena padamu ada banyak kue dan gula-gula.  Engkau lalu menjadikan gula-gulamu sebagai iming-iming agar dia belajar dan mengembangkan diri, tapi ternyata itu hanya membuatnya semakin pintar memilih kata-kata yang kau sukai. Engkau tahu, di belakangmu ia tetap seorang dekil ... eh, lucu... yang tak malu-malu melakukan hal-hal yang ... eh... mempermalukan dirinya.

Engkau tak tahu dengan pasti, apakah ia akan tetap datang jika engkau menahan gula-gulamu.
Kadang engkau ingin menjauhinya, karena engkau takut kemurahanmu membuatnya makin ceroboh, makin malas belajar, dan makin ... lucu (yeah, itu maksudku ;-)). Tapi engkau tak tahan melihatnya menyakiti kiri-kanan ketika ia kehabisan -atau bahkan kebanyakan- gula-gula. Ia lucu, karena siksaan tak mengubahnya; lucunya ... kenikmatan pun tidak. Ia habiskan gula-gula yang ada padanya secepat kilat, dan secepat itu pula ia menghambur padaku untuk mengadukan semua 'kemalangan' lamanya (... yak, benar-benar semua, karena semua takdirnya memang tidak berubah!). Namun dengan pintar ia akan segera mengingat kata-kataku dulu: "Rumahku bukan tempat perlindungan para korban. Kalau engkau seorang pejuang, walau pejuang yang kelelahan, engkau boleh memulihkan energimu di sini". Lalu, dengan lihai pula ia mengubah perannya menjadi anak manis yang -seakan-akan- siap berubah demi menyenangkanku.
(Selalu begitu, lagi dan lagi. Membuat harapanku padanya makin lama makin menurun saja. Baiklah, jika ia memang sulit mengubah diri, setidaknya ia masih lari ke arahku setiap ia dalam masalah. Di sini adalah tempat aman baginya, karena di daerah kekuasaanku ia tidak akan mempermalukan diri dan tidak akan berani mencari kesulitan. Adanya dia di sini juga akan melindungi pihak-pihak lain yang tak punya daya menghadapi 'kelucuan'nya).

Hai, ternyata kelucuan itu menular!
Si Lucu itu sesekali membuat kami lucu, karena kami jadi sibuk menganalisis, bersiasat, bertipu-tipu, padahal dia ada di luar kendali. Mengeluh tentang kelucuannya adalah kebiasaan yang akan kami tinggalkan, karena tampaknya tertawa dan menertawakan diri sendiri lebih menarik ;-). Sekarang aku bahkan lebih tahu mengapa si Lucu ini harus hadir dalam hidupku. Lihatlah, ia selalu habis-habisan merapikan rumahku, tamanku, kamar mandiku, dan tumpukan kardus... (ya ampun, rumahku jorok sekali yah!). Kalau perlu semua itu dilakukannya di waktu-waktu yang 'ajaib' seperti dini hari dan malam yang sepi, atau siang hari yang panas bukan main.
"Hai, hai, kau tidak perlu melakukannya! Aku tidak butuh semua ini. Lakukan saja latihan-latihan yang kuajarkan, karena itu bisa membuatmu kuat lahir-batin dan fokus!", begitu teriakanku selalu. Tapi ia hanya mengangguk dan melanjutkan kerja-baktinya, karena dia mengira BEGITULAH CARA MENYENANGKAN BUNDA...

(Ah, apa yang dia tahu tentang menyenangkan aku! Aku seringkali dibuatnya gembira dan optimis melihatnya sedikit lebih baik setiap kali, sekalipun kemajuan yang kulihat itu ternyata mengandung ... tipu-daya. Tidak apalah, setidaknya ada hiburan sedikit di antara kekonyolan dan hari-hariku yang padat. Ia pasti masternya lucu, karena ia yang membuat kami-kami jadi bodoh dan lucu.)

Barangkali juga kita selucu itu di mata Allah, karena sering habis-habisan memperlihatkan diri sebagai orang taat dan baik, padahal sebenarnya kita cuma 'pemburu gula-gula' dan berbagai hadiah ... eh pahala. Ya, kita pasti lucu sekali, karena mengira bisa menyogokNya sekali setahun. Padahal mana mungkin Yang Maha Kaya butuh sogokan?

Sesungguhnya Dia menunggu kita berubah, memperbaiki dan memperbarui diri. Bagi Pencipta sistem kecerdasan yang menitipkan ciptaanNya pada kita, perubahan itulah yang terpenting.

Minggu, 08 Agustus 2010

Keluarkan Doktermu !


Bulan puasa sebentar lagi, entah untuk yang ke sekian puluh kalinya dalam hidup kita. 
Di akhir Ramadhan biasanya ada yang berkurang dan bertambah, sayangnya yang berkurang biasanya cuma berat badan (itupun sementara), dan yang bertambah juga cuma ... belanjaan. Padahal ritual puasa sebulan sering menaikkan alis bule-bule yang kukenal: "Wow, a whole month for collective training again? You people must be very very self-determined!"

"Bulan puasa sebentar lagi, dan sebaiknya engkau punya rencana", begitu 'dokter' dalam diriku berkata. Maka kuundang 'burung-burung kecilku' ke kamarku, dan kukatakan pada mereka tentang pentingnya menjadi diri yang berbeda di akhir puasa.

Dinda: "Apakah rencana ini merupakan harga yang harus kami bayar karena kami baru mendapat komputer baru?"
Dimas: "Apakah menurut Bunda adanya komputer baru membuat kami tidak produktif?"
Aku: "No, I'm just doing my job. I'm parenting. Memangnya berapa kali Bunda parenting tahun ini?"
Dimas: "Seingatku sih baru sekali"
(Baguslah. Parenting yang baik kukira tidak perlu terlihat sebagai parenting. Malah parenting lewat bodor-bodoran seringkali lebih sampai pesannya.)

Lalu aku cerita tentang perlunya membongkar dan membangun ulang, menyingkirkan yang tidak relevan dan menguatkan yang kita perlukan. Dan yang kumaksud akan dibongkar dan dibangun ulang itu bukan rak buku atau taman, melainkan ... kebiasaan.

Tak perlu mandi atau sarapan dulu untuk melakukannya. Pagi-pagi, dalam suasana ringan, aku minta anak-anakku menyusun daftar sepuluh kebiasaan yang merepotkan, karena 'mudah dimulai dan susah dihentikan'.
Lucunya, Dimas tidak menemukan satupun.
"Ada banyak hal yang memang mudah kumulai, misalnya main game. Tapi rasanya gak ada tuh yang sulit dihentikan!", katanya.
"Tapi kamu tidak pernah lepas dari komputer", kataku sambil mengenang betapa dia sudah menjadi pengguna aktif komputer sejak balita.
"Iya Bun. Dimas memang begitu. Kalau kita minta dia memberikan sesuatu yang membuatnya asyik, dia selalu menyerahkannya segera dan tanpa beban...", kata Dinda.
(Bagus sekali! Wow, darimana datangnya sifat seperti itu? Rasanya aku sama sekali tidak begitu.)

Dalam daftar Kaka ada hape, fesbuk, bermalas-malasan, main dengan teman, dan nonton televisi tanpa rencana.
Aku: "Kaka, kamu pasiennya, kamu juga dokternya. Coba sekarang keluarkan doktermu dan katakan sesuatu pada pasienmu."
Dokter Kaka: "Kaka, maneh teh goblog pisan jadi jalmi!" (Kaka, kamu tuh goblok banget jadi orang!)
Aku: "Halah, coba dokter Dinda dan dokter Dimas angkat suara. Katakan sesuatu pada pasiennya Kaka."

Dokter Dinda: "Kalau soal fesbuk, hentikan dululah sementara. Buat apa berinteraksi dengan orang yang sama tapi pakai semua media? Cukup pakai hape saja dulu. Kalau kamu sudah tahu rasanya berhenti sebentar, kamu akan lebih bisa mengendalikan kalau nanti memutuskan balik lagi. Itu pengalamanku."

Dokter Dimas: "Tentang bermalas-malasan, aku juga begitu kok. Kita memang suka perlu warming-up sebentar. Tapi kalau Kaka warming-upnya lamaaa banget, nanti tahu-tahu waktu dia untuk ngerjain tugas udah mepet."

"Kalau tentang teman, apa susahnya bilang 'maaf, aku sedang tidak ingin main'? Teman-temanku tahu aku orang macam apa, mereka tidak akan mengajakku ke mall atau ke tempat game. Tapi kalau bikin proyek presentasi, bikin video atau main kubik, pasti ke aku datangnya," kata dokter Dimas lagi.

Dokter Dinda: "Iya, Ka. Teman-teman kamu tuh posesif. Kalau teman udah sehati mah gak ada rasa takut ngecewain, apalagi ditinggalin."

Seperti biasa, Kaka hanya tersenyum-senyum mendapat kritik dari adik-adiknya.
(Baguslah. Menjadi kakak yang bodor dan berperan bloon memang keahliannya. Aku seringkali tidak tahu, apakah sikap bloonnya itu asli atau sedang role-playing, sebab dia juga suka teater seperti ... ibunya.)

Selesai membahas kebiasaan buruk masing-masing sambil mendengar macam-macam opini dokter, berikutnya adalah sesi membangun kebiasaan produktif.
"Apakah yang sulit dimulai, tapi terlalu mudah dihentikan oleh alasan-alasan sepele?", tanyaku.
Rata-rata menyebutkan kesulitan menyangkut belajar teratur di rumah, sholat tepat waktu, dan olah raga. Mandi sukarela, membereskan kamar sukarela, tidur secara terencana (maksudnya tidak tergeletak dan tertidur di mana-mana), bahkan menyiapkan susu untuk diri-sendiri adalah hal-hal kecil yang masih dianggap sulit.

Aku: "Kaka, katakan pada pasienmu tentang sholat tepat waktu."
Dokter Kaka : "Woi, Kaka, sadar atuh"
Aku: "Apakah pasienmu bisa menerima pesan seperti itu?"
Dokter Kaka: "Enggak sih..."
Aku: "Kenapa?"
Dokter Kaka: "Dia bosan dinasihati terus."
Aku: "Bagaimana perasaan dokternya?"
Dokter Kaka: "Dia juga bosan karena gak didengerin.":-)
Aku: "Jadi gimana dong?"
Kaka: "Gatauuu."
Aku: "Ya udah. Gimana kalau mulai bulan puasa ini si dokter dan si pasien memperbarui hubungan? Belajar jadi teman aja, dekatkan jarak satu sama lain."

Selanjutnya aku gunakan kesempatan ini untuk menyampaikan pentingnya merencanakan alokasi waktu. Hidup adalah masa audisi untuk kepentingan placement di masa depan, dan yang kita miliki hanyalah durasi, bukan waktu. Jadi sehari dengan lima waktu sholat bagaikan seumur hidup dengan lima babak kehidupan.

Lima babak?
Sebentar, garis besar audisi biasanya hanya terdiri dari tiga bagian, yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Jika ada lima pembagian waktu, barangkali ada dua babak ekstra bagi kita untuk melakukan koreksi dan penyesuaian, entah berupa 'babak pendahuluan edisi revisi' atau 'babak isi versi diperbarui'.
Tentu saja kita tak bisa apa-apa terhadap babak penutup, ia tak mungkin direvisi dan diperbarui secara langsung (kecuali oleh mereka yang beruntung ... bangkit dari kuburnya ;-( )
Yang penting, ketika kita merevisi dan memperbarui babak-babak awal, sebenarnya revisi dan pembaruan itu akan meliputi babak penutupnya juga.

Kembali ke rapat persiapan bongkar-pasang .....
Aku: "Apa alasanmu memasukkan olah raga di catatanmu Dinda? Bukan karena ingin menyenangkan Bunda kan?"
Dinda: "Bukan. Karena aku tahu aku sering merasa lemah. Dan aku tahu kalau sedang bugar, aku lebih optimis dan lebih semangat. Cuma masih belum tahu bagaimana menyemangati diri untuk memulainya."

Aku: "Yah, kita memang mahluk aneh. Kita tahu olah raga itu penting, juga sholat. Lucunya, kita musti nyolong-nyolong waktu untuk melakukannya. Pertanyaannya, bagaimana sih cara menyemangati diri? Apa kata dokter Dimas?
Dimas: "Olah ragaku cukup di sekolah. Apalagi aku juga pendaki gunung. Kalau di rumah... kan Buya suka ngajak pingpong atau naik sepeda?"

Aku: "Hmm, jadi kamu cukup mengandalkan Buya untuk membuat langkah pertamanya ya. Sekarang dokter Bunda yang bicara.
Motivasi memang harus selalu diperbarui, apalagi kalau motivasi lama sudah tidak mempan. Misalnya, bayangin aja kamu ini dipinjami badan, dan badan ini sudah membantumu habis-habisan. Kalau suatu saat pinjaman harus dikembalikan, masa sih dikembalikannya dalam keadaan berantakan?"
(Hasilnya cukup bagus ternyata, karena membuat mereka termangu-mangu.)

"Tapi kenapa kamu gak suka mandi, Dimas? Apa kata doktermu sendiri?", tanyaku sambil memecah atmosfer serius sebelumnya.
Dimas: "Dokterku sih setuju-setuju aja. Menurut dia boleh-boleh aja kok."
Aku: "Apa iya doktermu yang bicara? Doktermu sakit kali..."
Kaka: "Gara-gara menyuruh dia mandi, dia membenciku seharian, Bun. Doktermu tuh yang gak bener." :-)
Dimas: "Enggak ah, dokterku baik-baik aja kok. Dia cuma eksentrik."
Aku: "Woi, eksentrik itu banyak macamnya, tapi kenapa milih gak suka mandi? Apa pernah kau pikirkan, kenapa kamu ditakdirkan jadi bungsu dengan dua kakak perempuan?"
Kaka: "Supaya ada yang bilang kamu bau dan musti keramas! Supaya ada yang mencetin komedo kamu!"
Dinda: "Ya supaya kamu diurus sama kita-kita! Bayangin Bun, dia masih belum bisa bikin susu sendiri!" :-)

Dimas: "Aku sebel sama orang yang mementingkan penampilan. Aku sebel karena Kaka suka lama di kamar mandi. Terserah aku mau naruh selotip, kawat, peniti, entah di kacamata atau bajuku. Aku jadi ogah minum susu, karena Dinda bilang susu buatanku tawar."

Aku: "Woi Dimas, orang punya alasan macam-macam untuk memperhatikan penampilan, untuk mandi lama, untuk suka susu manis; tapi masa iya alasan dan selera mereka yang tidak kamu setujui membuat kamu kehilangan selera terhadap penampilan, mandi dan susu tawarmu? Woi, itu kan artinya kamu menaruh tombol pengendali dirimu di luar, sehingga tombol kamu bisa dipencet orang seenak perutnya? Tentukan alasan dan seleramu sendiri dong."

Barangkali ini adalah salah satu diskusi kami yang paling produktif dan penuh gelak tawa. Ada rencana mereka untuk 'bikin teh buat Bunda". Wow, kalau sampai ditulis, pasti ini rencana yang sangat berat! ;-)
"Aku memang gak tahu cara bikin teh. Airnya panas atau dingin, aku gak tau," kata Dimas.

Ada juga rencana Kaka untuk mengajari Dimas main piano, membuat Dimas sendiri heran dan bertanya: "Why me?"
"Karena kamu hebat Dimas. Kamu sering tidak tahu kalau kamu hebat. Ingat nggak aku ajari kamu lagu Yesterday sekali, besoknya kamu sudah tampil dengan bagus di sekolahmu?", jawab Kaka.
(Yang dimaksud lagu Yesterday ini pasti lagu aslinya. Soalnya di rumah kami ada versi pelesetan ala Buya yang dicampur dengan lagu Betawi lama, dimana syairnya (juga nadanya) berubah jadi: "Yesterday, mangga pisang jambu...." ;-) )

Namun yang paling menarik adalah catatan mereka bertiga untuk mengajak nonton bioskop saudara angkat mereka, Hana. Adanya Hana dalam catatan itu sudah merupakan hal yang amat menyenangkan, karena setidaknya Hana sudah diperhitungkan sebagai bagian penting dari mereka.
Aku: "Kenapa menonton bersama Hana masih merupakan hal yang sulit dimulai bagi kalian?"
Kaka: "Kami sangat suka kalau pergi bertiga aja. Diskusi di antara kami itu seringkali bodoh tapi penting. Kalau ada Hana, kami jadi kurang bebas, dan dia juga tidak bisa mengimbangi."

Aku: "Ya, Bunda tahu rasanya. Tapi kalian tidak akan selamanya bertiga. Kalian harus mengenal pergaulan yang berbeda. Percayalah, kadang-kadang teman setara itu harus kita bentuk sejak awal, dan Hana memiliki bahan yang memadai. Dia memang dibesarkan di desa, tapi dia suka membaca dan belajar kan?"

Aku lalu menambahkan: "Lakukan role-playing. Perankan diri yang bodoh, supaya Hana berpikir: 'Oooh, ternyata Kaka ada bodoh- bodohnya juga seperti aku!'. Dengan begitu dia merasa tak berjarak denganmu. Ajukan juga umpan-umpan pertanyaan di antara kalian yang bisa dia ikuti, sekalipun jawabannya sudah kalian ketahui. Begitulah cara parenting kami selama ini, yaitu: role-playing. Kalian tidak menyadarinya, kan?"
"Belakangan aku tahu Bunda-Buya menggunakan cara itu", kata Dimas sambil mengangguk-angguk.

Begitulah, rencana sudah ditetapkan.
Saatnya melatih self-discipline sepanjang Ramadhan, sehingga bulan-bulan berikutnya kami berharap bisa mencapai self-governance yang lebih baik.
Adanya rencana ini membuat 'collective training days' itu kami tunggu-tunggu dengan debar-debar yang menyenangkan. Lebih-lebih para role player, juga dokter-dokter pribadi kami -termasuk yang eksentrik dan bodor, pasti akan ikut berjaga selama 24 jam sehari!
Jadi .... "Siaaaap!"

..........

Selamat menyambut puasa.


Tuty Yosenda

Kaka: 20 tahun, belajar psikologi di Maranatha Bandung
Dinda: 18 tahun, belajar biologi di ITB, Bandung
Dimas: 16 tahun, belajar video, pidato dan manjat gunung di SMA Muthahhari, Bandung
Hana: 17 tahun, belajar bahasa Inggris, literasi, komputer dan memasak, di Bandung


Minggu, 18 Juli 2010

Bod Bod Tung *)


Pagi ini aku berbuat bodoh lagi.
Seorang anak menghentikan lari pagiku, karena ia memainkan dua utas benang dan memutar-mutarnya, padahal ada dua ekor burung kecil di ujung lain benang itu. Burung kecil dengan dada jingga itu adalah penghisap madu bunga kupu-kupu di sepanjang jalan rumahku. Setiap aku melihatnya, aku putuskan saja bahwa aku sudah menemukan satu keberuntungan hari itu. Barangkali aku bodoh karena memutuskan untuk merasa beruntung karena hal-hal kecil. Habis bagaimana? Mereka sudah tersedia, dan rasanya lucu kalau disia-siakan. Keberuntungan yang besar tak usahlah dipikirkan, apalagi dikejar. Malah kadang-kadang burung-burung kecil itu yang membuka mataku, membebaskan sesuatu yang masih keriting di dalam, dan memperlihatkan jalinan kisah yang tadinya terpelintir. Lalu dengan bodohnya aku ge-er: "Wooo, ternyata selama ini aku beruntung besar..."

Ya, barangkali aku memang bodoh. Atau tidak usah pakai barangkalilah, aku akui saja kebodohanku ini. Karena pagi tadi jogingku terhenti sejenak, dan aku menghardik anak kecil yang memutar-mutar burung-burung kesukaanku itu.
"Kamu dapat dari mana burung-burung itu?"
Dia terperangah.
"Tahu nggak, dia bisa mati karena kau putar-putar begitu! Mau kamu diikat sebelah kakimu dan diputar-putar seperti itu?"
Dia lalu berusaha memperbaiki posisi burung malang itu. Dan seorang laki-laki dewasa yang sedang menggendong bayi membantunya dengan agak ketakutan (yes!). Barangkali itu ayahnya, tapi aku sedang tidak peduli. Aku sedang bodoh soalnya.
"Kamu tahu, dia mungkin punya ayah ibu seperti kamu, dia mungkin punya anak yang harus diberi makan seperti kamu", kataku, kali ini dengan nada lebih rendah.
Mulutnya masih menganga.
"Apa kamu juga belum tahu, semua burung-burung ini Allah yang punya?"
Nah nah nah, sudah memuncak ternyata goblokku. Aku sudahi saja omelanku, aku lanjutkan jogingku, namun kali ini diiringi haru-biru (ugh!).

Sempat terpikir untuk membeli saja semua burung yang dijajakan di gerbang kompleks perumahan kami. Ini membuatku merasakan adanya sedikit kemajuan, karena gagasan tersebut tidak terlalu bodoh dibanding gagasan sebelumnya, yaitu ‘mengadopsi semua hewan liar yang dijajakan di pusat kota’ (ugh!). Atau gagasan bodoh untuk menjerat pemburu liar di kebun karet kami; benar-benar menjerat dalam arti yang sebenarnya: pakai lubang jebakan dan tali-temali. Barangkali yang satu ini tergolong BB alias bodoh berat, akibat putus asa karena ide-ide bodohku hanya membuat orang mengangguk-angguk seperti boneka pegas, tak pernah berhasil membawa mereka kemana-mana. Lebih bodoh lagi, ide-ide bodoh ini seringkali mengganggu liburan yang mestinya menyenangkan. Habis bagaimana caranya melupakan seekor burung hijau yang ada dalam genggaman pemburu liar? Bagaimana mungkin kita memergoki mereka, lalu berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa? Bagaimana engkau bisa menjadi penguasa atas sebuah lahan luas, tapi tak bisa melindungi mereka?
(Ah, penguasa apa. Kita ini cuma tamu yang berhutang di sini. Tak jelas apakah kita bisa membayar semua jamuan mewah dalam kunjungan ini. Kadang kita dititipi sesuatu yang mungkin bisa dijadikan cicilan hutang tersebut, namun kita juga tak pernah tahu apakah itu semua sudah sepadan.)

Liburan kami juga agak menggelikan di Ujung Genteng, Sukabumi Selatan. Untuk sejenak, anak-anak kecil itu sempat terlihat seperti ... monster (maaf kalau aku merasa begitu, dik, aku sedang bodoh berat saat itu), karena mereka harus diteriaki supaya tidak menginjak dan menjatuhkan tukik-tukik itu. Kami lebih sibuk mewaspadai tangan dan kaki yang gegabah daripada menikmati perjuangan tukik menuju lautan. Ada para ayah dan ibu di antara mereka, tapi yah... barangkali mereka memang lebih tahu cara bersenang-senang. Kebanyakan orang lebih menyukai foto yang bisa dipamerkan, bukannya pengalaman batin seperti melihat keberanian bayi-bayi penyu dalam menyongsong medan tak terukur di hadapannya, segera sesudah dilahirkan. Sedangkan kami, orang-orang bodoh ini, kami mengaku bahwa kadang-kadang kami bersenang-senang dengan cara aneh. Salah satunya yang sudah kugambarkan tadi, yaitu... meneriaki orang. Atau setidaknya berbisik dengan nada galak seperti ini:
"Cah ayu, kita tamu di sini. Penyu itu sedang bertelur, dan tak ada ibu-ibu manapun yang senang dijadikan tontonan. Dia dua kali umurmu, dan dia melihat dunia yang lebih luas daripada kamu. Jadi sebaiknya rendahkan suaramu."

Barangkali memang lebih enak menjadi orang pintar, karena tidurnya tak akan terganggu oleh hal-hal kecil tadi. Pintar artinya tak perlu membuang-buang waktu untuk memikirkan hal-hal yang mustahil. Ya pasti mustahillah, apa sih gunanya memikirkan nasib seekor dua ekor burung dan tukik-tukik, sementara di banyak tempat, terlalu banyak nasib buruk yang mustahil dihentikan?

Tapi mungkin ini bukan mengenai seekor dua ekor burung dan tukik-tukik. Ini mengenai harkat kemanusiaan kita sendiri. Kepintaran membuat manusia mengubah wajah dunia, sembari mengancam dan memporak-porandakan kehidupan lain. Kepintaran membuat kita menjaga jarak, padahal seberapa jaraknya kita dengan burung-burung kecil itu? Mereka hadir untuk mengendalikan penyebaran tumbuhan, hama, nyamuk, juga menyentuh hati-hati yang peka akan adanya harmoni Ilahiah. Hati yang peka (dan mungkin juga bodoh) tahu, bahwa kita dan burung itu cuma berbeda casingnya, cangkang luarnya. "Dan tidak ada seekor hewanpun yang ada di bumi dan hewan-hewan yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya itu umat juga seperti kamu," (QS, 6:38). Hati yang peka juga tahu, mereka pasti diciptakan dengan keseriusan yang sama dengan ciptaan hebat (ugh!) seperti kita.

Aku ingat, di masa kecilku, ada kicauan burung-burung liar di pepohonan yang kini tak kutemukan lagi. Jadi barangkali burung-burung itu juga akan hilang suatu hari, sekuat apapun kita mencegahnya. Jangan-jangan bukanlah pelestarian mereka itu yang terpenting, demikian pikiran bodohku berargumen. Mereka 'cuma' burung (dan kita 'cuma' bodoh), ditambah lagi ini juga bukan proyek besar (atau terlalu besar dan terlalu mustahil?). Kemanusiaan kitalah yang sesungguhnya perlu diselamatkan dan dilestarikan. Burung-burung dan hewan kecil 'tak penting' lainnya itu hanya melintas sejenak untuk membangunkan kita: "Wahai para orang bodoh, apakah artinya besar kalau tak bermakna? Apakah artinya besar jika itu tidak menyentuh hatimu, lalu menggerakkanmu untuk memperbarui diri dan peduli?"

Ya, jangan-jangan kemanusiaan kita memang sedang terancam punah. Kita tak tahu lagi apa artinya besar dan kecil. Besar tahu-tahu dihubungkan dengan kekuasaan dan kemenangan, kecil entah bagaimana dikaitkan dengan kekalahan. Tapi pagi ini pikiran bodohku melihat, bahwa burung-burung itu patuh pada hukum harmoni terbesar. Dan pikiran bodohku jugalah yang menuntunku untuk menemukan tulisan bodoh di sebuah buku bodoh: "Jika engkau ragu, lakukan perbuatan besar dan bodoh seperti Nabi Nuh melakukannya!"**)

Jadi aku merasa makin bodoh saja. Tak tahu harus bagaimana, kecuali hanya merasa ... ehm... beruntung.


*) Bodoh-Bodoh Beruntung gituloh maksudnya ;-)
**) Kata-kata Rumi, seorang sufi dan penyair.


Tukik umur sehari berjuang sendirian menuju laut lepas yang sama sekali tidak pernah dikenalnya.

Selasa, 16 Juni 2009

Kamu Babi !


Babi adalah hewan kontroversial : dianggap haram dan menjijikkan, namun juga ... dimakan.

Orang tidak tersinggung disebut 'macan', bahkan juga 'ular'. Tapi menyebut seseorang sebagai babi adalah penghinaan yang tak termaafkan. Babi itu paduan antara bodoh dan kotor, padahal kotoran babi adalah pupuk kandang terbaik di antara semua hewan ternak, demikian kata Ir. Buya*)   ;-).

Sekarang babi kena wabah flu. Kerugian sudah pasti ditanggung oleh semua penggemar babi. Tapi bagaimana dengan para antibabi?

"Babi, juga anjing, adalah penyerap polutan terbaik", kata Dr. Gretha Zahar seminggu lalu.
"Tubuh babi mengandung magnifikasi logam", kata Prof. Sutiman Bambang Sumitro 10 tahun lalu.
"Babi adalah decomposer yang hebat, karena dia mengubah semua polutan dan logam dalam tubuhnya menjadi pupuk yang sangat hebat", pikir saya setelah memadukan pikiran orang-orang hebat itu.

Orang Jawa kuno pasti tahu tentang peran babi sebagai decomposer ini, karena mereka menyebut babi dalam kromo inggil sebagai 'tiyang handapan' atau mahluk rendahan. Rendah itu karena tugasnya melakukan penguraian material kompleks menjadi bentuk-bentuk sederhana, persis seperti pekerjaan para pemulung. Tapi apakah rendah kalau tugas tersebut memungkinkan siklus Bumi berlangsung, sehingga setiap material selalu bisa diserap dengan baik dan dimanfaatkan kembali oleh Bumi?

Babi sedang kena wabah flu, apa artinya?
Artinya, sebagai decomposer, ia merupakan indikator tentang kesehatan Alam yang bekerja di area daratan. Sebelumnya burung yang kena pilek; mereka juga indikator kesehatan Alam, namun dinasnya di wilayah atmosfer. Pesan-pesan sudah jelas: badan (baca: Bumi) sudah demam dan meriang, ingus sudah mengucur.... Jika semua indikator tidak digubris, kita tunggu saja berapa lama tubuh Bumi bisa bertahan untuk tidak menggigil hebat dan muntah-muntah.


(Bukankah hebat Tuhan kita itu? Menyebutnya haram, membuat kita terkecoh dan menghina si bagong sebagai najis dan tak berharga. Padahal mana mungkin Tuhan lupa atau salah?
Bersama semut, kelabang, kecoa, cacing dan sebagainya, babi dan 'teman-teman kotornya' itu bahu-membahu membersihkan Bumi. Babi memang haram dimakan, tapi mestinya tidak haram jika dimanfaatkan untuk kepentingan lain secara kreatif.

"Jika ada yang menyebutmu babi, ingatlah... mungkin artinya "Kamu mulia", kata Bambang, teman saya. Saya jadi berkhayal, sebagai penyerap polutan yang baik, mungkin saja di masa yang tidak terlalu jauh, orang akan memelihara seekor babi di halaman pojok belakang rumahnya sebagai bagian dari upaya memelihara kesehatan...)


*) Ir Buya : my hubby ...


Miss Piggy Mugshot
picture source: http://www.freakingnews.com/Miss-Piggy-Mugshot-Pictures-48534.asp


picture source: http://www.funnypics4all.com/pics/1/2/1283.jpg

Minggu, 24 Mei 2009

Ketika Aku-ku Bertanya


Malam itu, 27 April 2008, kami berempat duduk semeja dan melanjutkan diskusi tentang pikiran-pikiran besar Einstein, David Bohm, Fritjof Capra dan lain-lain. Makin malam diskusi makin 'panas', membahas tokoh-tokoh hebat seperti Abraham Lincoln, Ali bin Abi Thalib, Syeh Abdul Qadir Al Jaelani, Sultan Saladin..... 

Sungguh pembicaraan tentang orang besar yang membuatku merasa sedikit kecil hati... ;-)

"How can I compare myself with those great heros, since all I have are nothing great?", tanyaku.

Sambil memungut sebatang rokok A Mild, dia (You Know Who, but not someone in the novel or the movie;-)) berkata:

"We are the sellers.
It's not about what you sell, but about the Buyer.
You are great when you serve the Great..."


(dikutip dari Journal of My Happy Thought, 1 Mei 2008, pk 8.30) 

Rabu, 11 Februari 2009

Abunawas dan Ketololan Kreatif













A Little Thought about Paradox

Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana penulis novel dan pembuat film menggunakan paradoks dalam menghidupkan tokoh-tokohnya?
Dalam cerita-cerita tersebut, entah pahlawan ataupun penjahatnya sering dilukiskan sebagai sosok yang susah-payah mengarahkan segenap upaya perlawanannya justru bukan kepada musuhnya, melainkan pada sisi gelap yang ada di dalam dirinya sendiri. Kegelapan di dalam diri mereka itu penting untuk dikenali dan ditundukkan, karena pengalaman ini akan menjadi bekal bagi mereka dalam menghadapi kegelapan serupa ‘di luar sana’.

Jadi paradoks tampaknya bukan hanya sekedar bumbu penting dalam cerita. Paradoks bagaikan lampu yang tak hanya memberikan terang pada sebuah sisi, tapi juga menyisakan bayang-bayang gelap pada sisi kemanusiaan kita secara ... estetis. Paradoks jugalah yang membuat kita bertanya-tanya, kegelapan macam apa yang mungkin masih tersembunyi di dalam diri kita? 

"Engkau mengacau, tapi mengacau dengan cara yang sangat spesial."
"Engkau melakukan ketololan, tapi kau melakukannya dengan sangat gaya."
Siapa sangka suatu hari saya akan mencatat dialog-dialog semacam ini dari beberapa film?
Barangkali saya tidak akan pernah menyadari ada kalimat paradoks seperti itu, jika saya tidak pernah mengenal seorang ‘Abunawas’... eh teman ;-), yang sengaja mengkombinasikan kekacauan dengan ke-spesial-an, dan menyatukan kekonyolan dengan style. Sungguh aneh mendapati bahwa kesan mendalam justru terletak pada gabungan antara dua hal yang sangat bertentangan seperti itu.



Suatu hari Abunawas pergi ke pasar dan membeli sepotong daging. Di jalan pulang, ia berpapasan dengan seorang teman yang memberinya resep istimewa untuk memasak daging tersebut. Senangnya hati Abunawas! Membaca resep itu saja sudah membuatnya asyik membayangkan hidangan yang sangat lezat. 







Tak disangka, baru beberapa langkah kaki Abunawas menginjak halaman rumahnya, seekor gagak besar menyambar daging tersebut dari tangan Abunawas, lalu kabur.
"Hei, kamu pencuri!", teriak Abunawas marah.
"Kau memang punya dagingnya. Tapi tahu tidak?  Kau tidak akan menikmatinya. Karena resepnya ada padaku!"



Apakah paradoks itu?
Secara filosofis, literatur melukiskan paradoks sebagai 'pelintiran mendadak' yang memperlihatkan pada kita apa yang tadinya tersembunyi (dalam diri kita sendiri). Paradoks berpotensi untuk 'memperdaya proses berpikir kita' dengan cara memainkan ketegangan yang terjadi antara dua kerangka yang kontradiktif. Sejenak kontradiksi itu menghentikan proses berpikir linear kita. Namun terhentinya pikiran linear tersebut  justru memungkinkan kita mengalami semacam 'cognitive shift'. Cognitive shift inilah yang menyadarkan kita akan adanya rute berpikir yang lain sama sekali. Kejutan akan adanya rute berpikir lain ini seringkali terasa membebaskan, bahkan menyenangkan. Humor pada umumnya bekerja dengan memanfaatkan paradoks semacam ini.


Alkisah di mulut sebuah hutan ada sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang saudara kembar yang tak bisa dibedakan oleh siapapun. Orang mengenal mereka sebagai pribadi-pribadi yang sangat berlawanan: yang satu selalu berkata jujur, yang lainnya selalu berbohong. Tapi mereka punya kesamaan unik -selain tampilan fisik sebagai pasangan kembar identik tentunya-, yaitu: tak suka bercakap-cakap, dan hanya mau menjawab satu pertanyaan saja. 

Suatu hari rumah si Kembar kedatangan rombongan turis. Rombongan ini ingin berekreasi ke hutan wisata, tetapi di tengah jalan mereka menemukan persimpangan yang membingungkan. Konon hutan wisata tersebut bertetangga dengan hutan liar yang dihuni hewan buas. Tak ingin keliru memasuki hutan liar, turis-turis ini memutuskan untuk bertanya pada satu-satunya penghuni kawasan hutan tersebut, yaitu si Kembar. Pemimpin rombongan sudah mendengar tentang keunikan si Kembar, terutama tentang aturan 'satu pertanyaan' itu. Itu sebabnya ia menyertakan si cerdik Abunawas dalam rombongan ini.

Abunawas mengetuk pintu rumah si Kembar. Dari kejauhan, teman-temannya dapat melihat bahwa salah seorang dari si Kembar itu -entah yang mana- membuka pintu, lalu berkata dengan tegas: "Hanya satu pertanyaan, ya!" 

Abunawas mendekatkan dirinya pada salah satu dari si Kembar itu, berbisik-bisik, dan si penghuni rumah pun menjawabnya dengan bisik-bisik pula. Percakapan bisik-bisik itu terlalu singkat, dan pintu rumah si Kembar itu tampaknya juga terlalu cepat ditutup kembali. Namun Abunawas tampak terlalu mantap untuk mengatakan pada teman-temannya bahwa 'hutan wisata ada di jalur sebelah kanan'. Tentu saja semua orang bertanya-tanya, bagaimana Abunawas bisa begitu yakin bahwa tujuan mereka benar-benar ada di jalur kanan?

"Aku yakin kita harus menempuh jalur kanan, karena orang yang kutanya tadi menunjukkan jalan sebelah kiri", jawab Abunawas.
"Bagaimana kau begitu yakin? Bukankah engkau tidak tahu si Kembar yang jujur atau pembohongkah yang tadi kau jumpai, lebih-lebih kesempatanmu hanya satu pertanyaan?",  mereka bertanya lagi.

"Sebenarnya satu pertanyaan yang bagus itu sangat cukup," jawab Abunawas.
"Aku tadi bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku tanyakan padanya jalan mana yang menuju hutan wisata?”, kata Abunawas. Ia lalu melanjutkan:
 “Bila jalan yang benar adalah jalur kanan, dan yang kujumpai tadi adalah si Jujur, ia akan berkata "jalur kiri", karena itulah yang akan dikatakan saudaranya yang pembohong. Tapi bila ia adalah si Pembohong, ia pun akan menjawab "jalur kiri", sebagai kebalikan dari jawaban saudaranya yang jujur. Dengan begitu kita tahu bahwa jalan yang ingin ditunjukkan si Jujur adalah yang kanan."


Paradoks sering digunakan oleh para bijak dalam menyampaikan pesan-pesan spiritualnya. Kisah Abunawas ini mengingatkan kita, bahwa 'kiri dan kanan' itu saling melengkapi, bahwa pertentangan dan kontradiksi yang sering kita temukan itu hanyalah produk dari penglihatan yang tidak menyeluruh. Kiri-kanan, tinggi-rendah, benar-salah dan sebagainya itu bukanlah kutub-kutub yang saling terpisah. Mereka berhubungan, walau hubungan itu mungkin bersifat ‘eksentrik’. Saat kita berhasil menemukan koneksitas dan menyatukan kedua ‘kutub’ tersebut, sifat paradoksikalnya akan berakhir bagi kita. Mata yang tajam dan jiwa yang tenang akan menangkap-basah paradoks sebagai masalah sudut pandang belaka. Dalam ajaran Zen, tema paradoks dikemas khusus dan dikenal dengan istilah koan. Tujuan koan adalah menghentikan proses berpikir linear demi mengaktifkan proses berpikir non linear.

Pertanyaannya, apa salahnya dengan berpikir linear?
Karena berpikir linear itu mendasarkan diri pada pengukuran dan perbandingan, dua aktivitas yang paling disukai ego. Jika kita menghentikan proses berpikir linear ini, lalu mengalihkan kesempatan tersebut pada intuisi, artinya kita meninggalkan batas-batas wilayah ego sembari bergerak menuju area egoless atau selfless.  Inilah saat dimana kita memfasilitasi terjadinya cognitive shift untuk melihat hal-hal yang formless, incomparable, bahkan immeasurable
Begitulah rencananya.

Tapi area egoless dan intuitif itu tidak mudah untuk dikisahkan, malah cenderung membosankan! Bagaimana mungkin menarik minat orang untuk menuju ke sana (baca : kearifan) kalau ceritanya saja membosankan? Untuk mengatasi hal tersebut, orang lalu mulai bermain-main dengan ‘cermin paradoks’. Artinya, tonjolkan sisi ego dan pikiran linear yang suka mengukur dan membanding-bandingkan itu, lalu ‘pelintir’ sudut pandangnya sedemikian rupa. Dengan cara begitu, orang justru akan melihat sisi kebalikan yang diharapkan.  
Begitulah rencananya.


"Aku tidak bahagia, Abu. Rumah kami terlalu sempit untuk menampungku, istriku dan delapan anakku", keluh seorang teman Abunawas.
Abunawas memandanginya beberapa saat, lalu bertanya: "Kau punya domba?"
"Tidak. Tapi aku bisa membelinya", jawab si Teman dengan pandangan tidak mengerti.
"Belilah seekor, dan tempatkan dalam rumahmu", kata Abunawas.
Tanpa ragu, orang itu mematuhi Abunawas. Namun beberapa hari kemudian ia mengeluh lagi, malah ia merasa rumahnya semakin sempit.
 "Kalau begitu belilah beberapa ekor ayam. Taruh dalam rumahmu", kata Abunawas.
Si Teman tidak membantah. Namun beberapa ekor ayam ditambah seekor domba ternyata membuat rumahnya makin sesak saja.
"Kali ini peliharalah seekor anak unta dalam rumahmu", kata Abunawas ketika berjumpa lagi dengan wajah yang makin muram itu.
Namun semua saran ini tidak ada yang berhasil membawa bahagia!
"Rumahku seperti neraka, Abu. Kami tidak tahan tinggal serumah dengan hewan-hewan itu", kata si Teman.
"Kalau begitu juallah anak unta itu", kata Abunawas.

Sekian hari berlalu, Abunawas mulai melihat senyum di wajah temannya.
"Kami merasa lebih baik tanpa anak unta itu, Abu", katanya.
"Begitukah? Bagaimana kalau sekarang kau jual ayam-ayammu?", kata Abunawas.
"Kami juga merasa lebih senang tanpa ayam-ayam itu, Abu", kata si Teman dengan sumringah beberapa hari berselang.
"O ya? Berarti sekarang kau bisa menjual dombamu kalau kau mau", kata Abunawas.

Beberapa hari kemudian Abunawas mengunjungi si Teman, ia menyambutnya dengan wajah berseri-seri.
"Sekarang kami merasa bahagia karena rumah kami terasa lapang, Abu!"


Mengukur dan membanding-bandingkan, pekerjaan pikiran linear itu, sungguh merupakan sumber pertentangan dan ketegangan yang tak habis-habis. Menariknya, bagi para ‘Abunawas’, ‘sumber ketegangan’ itu terdengar sama merdunya dengan ‘sumber humor’. Malah ini merupakan sumber humor yang paling bagus!

Ya, Abunawas memang sering membuat kita tertawa. Tapi saya kira para ‘Abunawas’lah  yang  lebih banyak tertawa, bahkan mungkin terpaksa menahan tawa ketika mengamati ... kita! Siapa lagi? Kita lucu, karena sering dengan sengaja membebat diri-sendiri dengan persepsi yang membelenggu dan kebiasaan yang mekanistik. Kita kerepotan karenanya, tapi tetap saja melakukannya. Kita berkata: 'Jangan menilai buku dari sampul luarnya, jangan menilai parfum dari bentuk botolnya'. Namun kita jugalah yang selalu tergoda untuk mengoleksi berbagai sampul dan botol itu.  

Karena itu, sebuah pesan, lebih-lebih pesan kearifan, haruslah disajikan secara kreatif, demikian kata para ‘Abunawas’.. Kemas pesannya dengan menggunakan paradoks dan ‘pelintiran’. ‘Pelintir’ itu artinya membuat lompatan kecil secara tiba-tiba ke arah sudut pandang yang berlawanan. ‘Pelintiran’ ini akan membuat orang justru melihat pola yang tak terduga sama sekali, bahkan menangkap dengan jelas apa-apa yang tidak terucap dan tidak ditampilkan.
Begitulah memang rencananya ! 


Tetangga Abunawas baru pulang melancong dari negeri-negeri yang jauh. Dengan antusias, ia mengisahkan hal-hal aneh yang dilihatnya sepanjang perjalanan.
"Kau tahu", katanya pada Abunawas, "Ada sebuah negeri yang aneh. Udaranya luar biasa panas, sehingga tak seorangpun mau memakai pakaian di sana."
Sejenak Abunawas tampak terheran-heran.
"Pasti sulit", kata Abunawas dengan wajah serius, "Tanpa pakaian, bagaimana cara kita membedakan mana lelaki dan mana perempuan?"


Apa jadinya kalau dunia ini tak mengenal para ‘Abunawas’? Pasti melelahkan dan membosankan, karena tak akan ada ‘pelintiran’ yang menghasilkan humor dan kreativitas. Tanpa ‘Abunawas’, dunia akan dipenuhi ketegangan, karena orang-orang hanya mau mengakui kebenaran individualnya sendiri. Ideologi dominan menguasai, ideologi resesif menyembunyikan diri. Tapi hipotesa inipun paradoks. Karena begitu ada banyak ketegangan, akan lahir orang kreatif yang berusaha ‘memulung ketegangan’ tersebut dan memanfaatkannya. Si Kreatif ini akan bermain-main dengan ketegangan tersebut dengan menggunakan berbagai teknik ‘pelintiran’. Siapa lagi dia kalau bukan si iseng ‘Abunawas’ ?    

Di tangan para ‘Abunawas’ , paradoks dan pertentangan akan menjadi alat yang efektif untuk menunjukkan ketololan dan kelalaian manusia. Bahkan kemasan pesan ala Abunawas sering menjadi kritik yang tak hanya menghibur, juga berkesan. Tapi ingat, harus humor, bukan kritik dan nasihat! Nasihat baik jarang dibutuhkan dalam cuaca cerah. Tapi dalam cuaca buruk, orang malah terlalu panik untuk mendengarnya.


Abunawas menumpang sebuah kapal besar. Cuaca sedang cerah, tapi ia malah semangat berkisah pada penumpang lain tentang cuaca buruk di laut dan berbagai bahaya yang menyertainya. Tentu saja tak ada orang yang mendengarkan!
Tak dinyana, cuaca buruk itu benar-benar datang. Situasi sangat tak terkendali, badai besar mengombang-ambingkan dan nyaris menenggelamkan kapal. Para penumpang panik, mereka menangis, menjerit sejadi-jadinya kepada Tuhan. Berlomba-lomba mereka membuat janji akan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, jika Tuhan sudi menolong tentunya.
"Teman-teman", teriak Abunawas. "Jangan boros dengan janji-janji indah. 
Aku melihat daratan!"


Apakah artinya tertawa ?
Tawa adalah sebentuk penghargaan yang timbul karena adanya pemahaman terhadap sesuatu yang bernilai dalam diri kita. Kita mungkin melihatnya melalui peragaan ketololan dan ketidaksempurnaan yang diramu secara cerdas dan kreatif.  Tawa menunjukkan kemampuan kita menerima, bahkan menikmati hal-hal yang kurang ideal ini. Sikap tidak terlalu serius terhadap harapan dan idealisasi ini merupakan awal yang baik untuk membina kerendahan hati dan kepedulian pada orang lain. 
(Ya ampun, saya mulai serius ya?  Baiklah, saya akan memperbaikinya dengan kata-kata:
"Tertawa sajalah, guys! Enjoy your own madness. You have more than you thought!") 


Siapa yang tak kenal Abunawas, sufi cerdik yang 'nakal', namun tahu semua jawaban? Semua orang di penjuru negeri mengenalnya, termasuk Raja. Popularitas Abunawas menanjak karena ia selalu lolos dari jebakan yang dibuat oleh Raja. Ini membuat Raja semakin bernafsu untuk menjatuhkan Abunawas. Berkat dukungan dan kerja-keras para cendekiawan istana, Raja akhirnya berhasil juga mengalahkan kecerdikan Abunawas dalam sebuah kompetisi yang telah direkayasa. Abunawas kini mendekam dalam penjara, menunggu hukuman mati.

Pada hari eksekusi yang telah ditetapkan, Raja melakukan prosedur standar terhadap terpidana mati Abunawas di depan ribuan rakyatnya.
"Adakah permintaan terakhir?", tanya Raja. Ini adalah pertanyaan yang paling ditunggu-tunggu oleh Abunawas.
"Ada Yang Mulia. Perkenankan hamba memilih sendiri hukuman mati yang hamba kehendaki."
"Baiklah", jawab Raja.
"Paduka, hamba minta, bila pilihan hamba benar, hamba bersedia dihukum pancung. Tapi bila pilihan hamba salah, hamba dihukum gantung saja", kata Abunawas.
"Baiklah. Bila kau benar, pancung. Bila kau salah, gantung. Permintaanmu dikabulkan", Raja mengulangi kata-kata Abunawas sambil berusaha menahan tawa. Ternyata terali besi telah membuat kelakar Abunawas menjadi kering, demikian pikir sang Raja. 

Belum habis Raja menertawakan hal tersebut, tiba-tiba Abunawas berteriak:
"HAMBA AKAN DIHUKUM GANTUNG!"
Orang-orang terkejut, Rajapun terpana. Ia mulai mencium adanya muslihat. Tapi Raja harus bertindak hati-hati, kata-kata yang terucap tak mungkin ditarik kembali. Ribuan rakyat -yang sebagian besar merupakan pengagum Abunawas itu- mendengarkan semua pembicaraan pada hari itu. Raja tak ingin memberi kesan buruk pada rakyat.

Mendapati situasi sudah berubah menjadi agak membingungkan, Abunawas lalu menggunakan kesempatannya.
"Baginda, hamba tadi sudah memilih hukuman gantung. Jika pilihan hamba benar, hamba seharusnya dihukum pancung. Tapi di manakah letak kesalahan hamba sehingga harus dihukum pancung, padahal hamba memilih hukuman gantung?"    
  
Raja dan seluruh rakyat kini terpana. Tak ada yang menyangka Abunawas bisa saja menemukan lubang jarum pada kesempatan sekecil itu. 


Akhir kata, pasti seru memiliki mata ala Abunawas! Baginya, dunia ini tampak sempurna dengan berbagai ketidaksempurnaannya. Bahkan kata-kata cerdas pun bisa dia permainkan menjadi ... entah tolol, entah bijak, entah jenius, apa bedanya? Selama ada ketololan ... eh manusia, berarti akan selalu ada bahan-bahan humor dan paradoks ... Itu juga berarti akan selalu ada pekerjaan yang bisa dilakukan, bukan ?

Saya mungkin tidak cukup bagus mengungkapkan gambaran tentang ‘Abunawas’ yang saya kenal. Ia berada di luar gambaran baik-buruk, benar-salah, pintar-bodoh, menyenangkan-menyebalkan  dan sebagainya. Yang pasti, ketika orang memiliki mata ala ‘Abunawas’, berarti ia punya mata yang bagus dalam menikmati dan menciptakan humor. Dan ketika ia punya selera humor yang bagus, berarti ia juga punya rasa estetika yang bagus dalam hal apapun, yang membuat kehadirannya tampak bagus dan membaguskan di manapun ia berada!  

Percayalah, Anda sangat beruntung jika bisa menemukan satu saja ‘Abunawas’ dalam hidup Anda. Tapi jika Anda tidak seberuntung itu, Anda tetap bisa ‘mengundangnya’ dengan cara ... kurangi sedikitlah keseriusan Anda dalam menghadapi hidup ini. Serius! ;-).  Siapa tahu sudut pandang Anda akan terpilin sedikit, lalu cognitive shift itu terjadi, dan Anda melihat ‘sesuatu’ yang sebenarnya sudah ada di sana sekian lama...