Tampilkan postingan dengan label kearifan klasik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kearifan klasik. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Mei 2011

Menambal Tikar dengan Kue Ketan


É ... mantèné teko ,  é ... bèbèrno kloso
É ... klosoné bedhah , é ... tambalen jadah
É ... jadhahé mambu,  é ... pakakno asu
É ... asuné mati, é ... buwak nang kali
É ... kaliné banjir , é ... buwak ning pinggir
....................................

(Pengantinnya datang, hamparkan tikar
Tikarnya koyak, tambal saja dengan kue ketan
Kue ketannya basi, berikan saja pada anjing
Anjingnya mati, buang saja ke kali
Kalinya banjir, buang saja ke pinggir)
______________________________

Lagu ini (jika boleh dibilang lagu) paling seru kalau dinyanyikan sambil menghentak atau memukul-mukul sesuatu, terutama bangku sekolah ...tentunya ketika guru sedang tidak hadir ;-).

Terbayang dalam kenangan, segerombol anak laki-laki (tentu anak-anak di tahun 70 - 80 an ;-)) menarik perhatian orang dengan mendendangkan lagu tersebut, entah ketika sedang berjalan bareng menuju sebuah tempat, atau bahkan di saat berbaris dan berkostum aneh dalam pawai Tujuh Belas Agustus. Kami anak perempuan biasanya cukup puas dengan ikut meneriakkan ééé nya saja. Seolah lengkingan bersama-sama itu memberikan semacam keberanian ekstra untuk berkata pada dunia: "INILAH KAMI !"

Sesungguhnya aku tidak yakin apakah ini merupakan semacam lagu.
Ini mungkin sejenis 'puisi jalanan' (kalau boleh disebut puisi) yang diciptakan entah oleh siapa.
Ya, pada masa itu hak cipta memang belum dikenal. Tapi sungguh merupakan godaan yang menarik untuk memikirkan siapa yang memulainya.

Kalau imajinasiku boleh berperan di sini, barangkali proses pembuatan puisi tersebut diawali oleh sekelompok pemuda yang sedang ronda malam, dan sedang dilanda keisengan untuk mengusik salah satu di antara mereka yang baru menjadi pengantin.
"É ... mantèné teko ,  é ... bèbèrno kloso", seorang dari mereka memulai.
(Ai... datang juga pengantinnya, ayo kita hamparkan tikar untuknya)

Saat itu suasananya pasti riuh sekali, lebih-lebih sang pengantin yang datang membawakan oleh-oleh jadah (kue ketan) itu tak ingin 'mati langkah'. Jadi si pengantin baru lalu melanjutkan puisi dadakan itu dengan meledek tikar yang dibicarakan, yang lucunya koyak di sana-sini.

"É ... klosoné bedhah", kata si pengantin.
"É... tambalen jadah", balas seorang rekannya sambil memungut sebuah kue ketan.
(Ai ...tikarnya koyak, tambal saja dengan jadah)

Barangkali saat itu mereka cukup bangga dengan irama serasi yang mereka temukan. Jadi pada hari berikutnya, keisengan yang memuaskan itu dilanjutkan, sehingga puisi itu kita kenal lengkap dalam versi yang membawa-bawa anjing mati dan sungai banjir segala.

Yah, sayangnya imajinasiku terpaksa harus berakhir di sini, teman. Selain tak ada kejelasan, susah diteruskan, juga tak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kurasa aku akan berhenti memikirkan siapa penciptanya. Karena ada yang jauh lebih penting untuk diketahui, yaitu ... siapa penggunanya ? Dan mengapa ?

..............................................................


Sempat terlintas di pikiranku, bagaimana kalau ternyata selama ini kita adalah pengguna puisi iseng tersebut, teman ?

Kita memang tidak lagi menyanyikannya, karena kita tahu cara yang lebih efektif untuk menyatakan : "INILAH AKU". Namun dengan cara yang lain, kita menyanyikannya juga.

Kitalah yang suka 'menambal-sulam tikar koyak dengan kue ketan", bukannya mengganti dengan tikar baru.

Kitalah yang memberi makan 'anjing peliharaan' yang berada di bawah tanggung jawab kita dengan makanan yang bahkan kitapun tak sudi memakannya. (Duh, menganggap orang kecil sebagai anjing saja sudah keterlaluan, apalagi memberinya makanan atau solusi basi ...)

Kita juga 'membuang anjing mati ke sungai' dalam banyak level , baik dalam arti sebenarnya maupun simbolik. Dalam arti sebenarnya, jelas sekali bahwa selama ini sungai memang menjadi tempat sampah kita.  Dalam level yang berbeda, membuang anjing mati ke sungai berarti menyerahkan urusan hukum alam yang satu pada hukum alam yang lain , misalnya kerusakan hutan yang dibiarkan menjadi kerusakan ekologis yang berkepanjangan.

Baiklah, salahkan saja para pemuda imajinerku yang sedang ronda malam itu. Terutama salahkan dulu si pengantin yang membawa jadah itu ...;-)  Merekalah penggagas kebodohan ini. Barangkali saja melanjutkan pola lama untuk menyalahkan generasi masa lalu itu memang menenangkan dan bisa ...euh...menghapus malu.
Persoalannya, di mana mereka yang kita perlukan untuk disalahkan itu sekarang ?

Yah, sayangnya (atau untungnya ?), jalan cerita ini sekarang sepenuhnya di tangan kita, saudara-saudara.

Dulu kita main-main menyanyikannya, tapi sangat serius ketika hati meneriakkan: "INILAH AKU !".

Dulu mereka mungkin pernah memulainya. Tapi kita yang telah menjadikan apa-apa yang tak jelas, bahkan yang salah itu sebagai budaya. Kita tahu bahwa budaya adalah sikap dan tindakan yang dilangsungkan secara kolektif.

Kita paham bahwa budaya atau shared belief  ini -walaupun tak sepenuhnya kita sadari- justru paling lantang menyuarakan: "INILAH KITA".

Sayangnya -lagi-, diri yang kita teriakkan dengan lantang tanpa self-awareness itu tidak akan membuat kita bangga. Karena ketika kita melanjutkan aktivitas 'menambal tikar koyak dengan kue ketan' itu sebagai budaya, artinya kita setuju pada berbagai hal yang dulu berasal dari keisengan yang tak sempat dipikirkan masak-masak itu.

Pada saat yang sama, kita juga setuju bahwa identitas kolektif kita berasal dari sebuah kecelakaan sejarah belaka ...


(diilhami oleh diskusi dengan Prof. Sutiman Bambang Sumitro, suatu hari di Malang, tahun 1998 an)

Pengantin jawa berbusana dodot.
picture source: http://archive.kaskus.us/thread/2229293/40

Senin, 21 Februari 2011

Aji Mumpung ala Anak Gembala

picture source: http://www.funnypics4all.com/pics/2/9/2934.jpg


Sayup-sayup bangun tidur
Tanaman melambai
Begitu hijau dan segar
Seperti pengantin baru

Anak gembala, anak gembala
Tolong panjatkan pohon belimbing itu
Tolong panjatkan meskipun licin
(Jadikan buahnya) Untuk mencuci baju dodotmu

Baju dodotmu sobek di pinggir
Jahitlah, benahilah
Supaya bisa dipakai 'sebo' nanti sore

Mumpung terang bulannya
Mumpung luang waktumu

Mari bersorak, mari bergembira

(terjemahan bebas tembang dolanan Lir-Ilir)
___________________________________


Teman, jika engkau pernah menjalani masa kanak-kanak di daerah perkotaan Jawa sekitar tahun 70 an, jangan-jangan engkau termasuk generasi terakhir yang  pernah mendengar dan menyanyikan tembang tersebut.

Waktu itu televisi masih hitam-putih. Tak ada iklan, tapi kekayaan lokal -termasuk lagu-lagu daerah- mengalun hampir setiap sore.  Pak Toni, guru kesenian kami saat itu memaksa kami untuk memperbarui lagu-lagu daerah. Dan kami terpaksa senang, karena perlombaan demi perlombaan yang kami ikuti membuat kami boleh membolos beberapa jam pelajaran sehari. Apalagi ditambah kesempatan berkostum cantik dan tampil di panggung yang sama dengan penyanyi beneran... Wah, dipaksa sering-sering pun tak apa, Pak !

Tahun-tahun itu, ijo royo-royo masih melambai dimana-mana. Jadi meskipun televisi mulai berwarna-warni, ijo royo-royonya lapangan terbuka  dan sorak-sorai bersama teman-teman masih amat mempesona. Memang bukan Lir-ilir lagi yang kami nyanyikan (kecuali di panggung perlombaan folk song), tapi Lir-ilir di televisi yang sayup-sayup terdengar selagi mandi sore masih bisa menggoyang dan menggerakkan irama internal kami.

Kini, entah kemana sekarang ijo royo-royo itu. Ia sudah digantikan oleh mall dan pertokoan yang beku. Lambaian ijo royo-royo yang merayakan kemenangan dan kesejahteraan 'burung-burung kecil' itu telah diambil alih oleh lambaian industri milik 'burung-burung besar' yang mengundang kita untuk memasuki sebuah 'ruang tertutup'. Yang disebut mainan itu kini adalah boneka buatan pabrik, mobil-mobilan, robot; bukan lagi ruang terbuka, batu kerikil, biji buah sawo, kain sarung, dan susunan kursi yang dijadikan kereta api. Yah, derap industri memang telah berjasa memudahkan semua urusan kita. Serahkan saja semua hiburan dan agenda pengasuhan itu pada barang-barang pabrik, jadi para orangtua bisa asyik dengan mainan mereka sendiri ...  (Kita terpaksa harus begitu bukan? Kalau tidak, mereka akan mengatai kita ketinggalan jaman ...;-))

Mereka bilang, rumput tetangga lebih hijau dari rumput halaman sendiri.
Tapi ternyata masih ada yang dianggap lebih hijau daripada tanaman dan berbagai irama alaminya itu. Sekarang, irama ekonomilah yang lebih ijo royo-royo di mata kita semua. Dan tragedi ini biasa terjadi, dimana irama alami yang tak berpihak itu selalu kalah oleh irama ekonomi yang memihak kepentingan segelintir orang. Anak-anak adalah korban yang paling rentan. Ketika anak-anak masa lalu merayakan padhang mbulan dan menyoraki datangnya pagi, anak-anak sekarang (termasuk orangtuanya..;-)) membiarkan irama hidup mereka dikendalikan oleh produk baru, game, Blackberry, dan segudang ... pe-er.

Tentu saja tidak semua hal tentang ritme ekonomi ini berdampak buruk. National Geographic mengisahkan tentang sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa anak-anak sekarang bisa mengingat 4000 logo yang dipaparkan lewat iklan dan televisi. Bukan main ! Mereka tahu logo Starbuck, Mc.D, barang-barang elektronik, juga tahu wajah-wajah selebriti (maksudnya para aktor dan pelawak). Kekurangan mereka tentu ada, yaitu... tak mampu menyebut 10 spesies tumbuhan yang ada di sekeliling rumah mereka.

Tapi 10 versus 4000 itu cuma kekurangan kecil bukan ?
Euh ... (menghibur diri ;-))

..........

Anak gembala, anak gembala
Tolong panjatkan pohon belimbing itu
Tolong panjatkan meskipun licin
(Jadikan buahnya) Untuk mencuci baju dodotmu

..........

Teman, jangan-jangan kitalah pewaris terakhir tembang ini.
Kitalah anak gembala, cah angon yang sedang digugah oleh Sunan Kalijaga, sang pencipta tembang ini.
Kita diminta memanjat sebuah pohon yang buahnya berbentuk bintang dengan lima sudut (whatever that means, it's your decision ! ;-)).
Kita didorong untuk berani dan tak menyerah, sekalipun pohonnya licin. Siapa tahu buah pendakian itu bisa digunakan untuk meluruskan ego dan melepaskan keterikatan kita pada irama palsu yang disimbolkan sebagai baju dodot, baju kebesaran ala bangsawan itu.
Lalu, dengan baju dodot yang telah diperbarui, kita bersiap untuk 'sebo', duduk bersimpuh untuk menerima ajaran kearifan. Atau bahkan menghadap Sang Raja.

Dasarnya cuma aji mumpung.
Mumpung masih terang bulan sang penyembuh itu.
Mumpung kita masih bangun, masih bisa merayakan, mengisi dan mempertahankan kemenangan.

..........

Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar

Bocah angon, bocah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro

Dodot iro, dodot iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono, rumatono
Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak'o surak hiyo




Ingin menyimak penafsiran tembang Ilir-Ilir yang lebih 'meriah' ?
Lihat : http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=395
juga http://www.youtube.com/watch?v=sgaYV77hK00

Kamis, 21 Mei 2009

Gretha Zahar, ‘Penyihir’ yang Menghubungkan Masa Lalu dan Masa Depan

Gunakan pengamatan berskala seluler terhadap mekanisme tubuh Anda, Anda akan melihat organ, jaringan, protein, sel dan sebagainya. Gunakan pengamatan berskala atomik, Anda akan menemukan bahwa di balik organ, jaringan dan sel itu terdapat atom karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, dan sebagainya. Selanjutnya gunakan pengamatan berskala sub-atomik, skala yang jauh lebih kecil daripada atomik. Apa yang akan Anda temukan? Ternyata di balik atom-atom penyusun tubuh Anda itu terdapat interplay yang tak putus di antara proton, netron dan elektron. Anda berada dalam ranah yang banyak dibicarakan oleh fisika modern, nuclear science, bahkan nanobiology. Demikian pelajaran yang saya peroleh dari Gretha Zahar, seorang pakar nuclear science yang mengelola klinik di beberapa kota dan Lembaga Peluruhan Radikal Bebas di Malang.

Tidak mudah memahami penjelasan bu Gretha. Fisika modern, kimia nuklir, ditambah dengan nanoteknologi, ketika disatukan dalam uraian, menjadi menu yang lumayan berat untuk dicerna. Namun ternyata dalam praktek semuanya sangat sederhana. Obat segala penyakit itu ternyata ada di dapur kita sendiri: ada telur, kopi, garam, bawang, air kelapa, fermipan … Hanya satu obat yang tidak biasa: rokok! Rokok terapi ini diramu secara khusus, asapnya ditiupkan ke lubang telinga, hidung, dan mulut pasien melalui sebuah pipa. Pasien dibaringkan di atas papan tembaga, dibalur dengan 7 macam ramuan, sementara terapi asap dilakukan di sela-sela proses tersebut. Sungguh aneh melihat sebuah penemuan canggih dipraktekkan dengan begitu mudah dan sederhana, sesederhana pengobatan ala kampung jaman baheula.

“Alam sudah menyediakan semuanya”, kata Profesor Dr. Sutiman Bambang Sumitro, seorang pakar biologi sel dari Universitas Brawijaya Malang yang menjadi mitra kerja bu Gretha. “Orang cenderung mempercayai peralatan canggih, padahal peralatan itu bisa jadi digunakan untuk menutupi konsep yang tidak canggih. Sedangkan Alam selama ini bekerja berdasarkan konsep yang canggih. Telur, garam, bawang, kopi, tembakau dan sebagainya itu adalah hal-hal biasa yang ternyata merupakan peluruh radikal bebas yang luar biasa”, tambahnya.

Mengapa telur mentah?
“Karena telur mentah merupakan protein hidup. Telur mentah itu internally driven. Putihnya menangkap radikal bebas dalam tubuh kita, termasuk merkuri yang juga internally driven. Sedangkan merah telur mengandung bahan stem cell“, kata bu Gretha. “Tidak perlu takut pada bakteri salmonela atau virus yang mungkin ada pada telur mentah”, kata bu Gretha seolah membaca pikiran saya. “Karena dalam kopi ada karbon yang berfungsi seperti norit yang melumpuhkan racun.”

Tidak perlu takut pada bakteri dan virus?
Sungguh menyenangkan membayangkan dunia yang sedang disiapkan oleh bu Gretha dan kawan-kawan ini ! “Bakteri dan virus, semua itu hanyalah protein hidup yang mengalami mutagenik. Mereka menamainya bakteri, jika ukurannya 10 pangkat minus 5. Tapi ketika ukurannya nano, mereka menamainya virus”, kata bu Gretha sambil mempermainkan rokoknya. “Yang lebih penting untuk diselidiki adalah penyebab mutagenik protein tersebut, yaitu radikal bebas, terutama merkuri. Merkuri mempunyai 13 macam panjang gelombang yang bisa digunakan untuk mengacaukan dan menyesatkan codon dalam pembentukan protein (codon adalah kode genetik yang menentukan sintesa protein, penulis). Merkuri dalam tubuh akan menarik lebih banyak merkuri. Hebatnya, merkuri punya energi dinamika yang cukup besar untuk membantunya melakukan transisi elektron, sebuah cara baginya untuk ‘menyamar’ menjadi partikel lain”, katanya sambil meluruskan kakinya di lantai.

Sekarang menjadi jelas mengapa selama ini berbagai penelitian belum bisa ‘menangkap basah’ merkuri dan perilakunya di tubuh kita. “Merkuri hanya perlu tambahan 1 elektron untuk menjadi logam berat seperti thalium, atau 2 ekstra elektron untuk menjadi timbal. Padahal elektron-elektron itu tersedia dalam jumlah besar di Alam sebagai akibat dari melimpahnya jumlah radikal bebas “, tambahnya lagi.

“Jadi penyembuhan segala macam penyakit pada dasarnya hanyalah memperbaiki kemampuan tubuh dalam mengendalikan polutan. Detoksifikasi adalah yang paling relevan. Jika kita tahu caranya, tak ada penyakit yang perlu ditakuti, termasuk flu burung, flu babi dan sebagainya”, kata bu Gretha. Ia lalu memamerkan foto-foto klinis dan eksperimennya yang sangat menakjubkan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Kanker dan autisme merupakan persoalan sederhana di matanya, apalagi penyakit stroke, jantung dan sebagainya. Bu Gretha dan klinik-kliniknya telah membantu ratusan orang yang sudah tidak bisa ditangani oleh rumah sakit. Namun gaya hidupnya sangat bersahaja. Tempat duduk favoritnya adalah lantai, kosmetiknya hanyalah ramuan yang terbuat dari putih telur dan air kelapa. Tanda-tanda kemewahan ‘hanya’ terlihat pada matanya yang selalu polos namun energik, tubuh yang elastis, berotot, bugar, serta kulit wajah yang bersih. Tidurnya sedikit, namun ia masih mampu push-up 25 kali dan berenang 90 menit tanpa jeda di usianya yang menjelang 70. (Kami sering menggodanya dengan sebutan ‘nenek-nenek aneh’, karena bukannya membekali diri dengan minyak angin dan syal penghangat seperti nenek pada umumnya, ia malah membawa rokok dan berbagai ramuan kemana-mana untuk mengurus siapapun yang dijumpainya di jalan dan sedang bermasalah ! :-)

Restless and fearless, itulah yang saya lihat pada bu Gretha. Dalam pencariannya yang tak kenal menyerah, ia sempat mengalami berbagai hinaan dan pengusiran oleh ilmuwan-ilmuwan lain. Namun dengan gigih ia terus berjuang, salah satunya dengan mencoba membuktikan hipotesanya lewat pengabdian di sebuah rumah sakit swasta dan beberapa panti asuhan. Dukungan dari kalangan universitas dan dari kalangan medis akhirnya mengalir. Tapi ia belum puas juga. “Alam sedang sedih karena banyak dimanipulasi oleh manusia”, katanya suatu hari, dengan nada sedih yang tak berhasil disembunyikan. “Kita mengambil terlalu banyak dari Alam, ini menyulitkan Alam dalam melakukan recycling terhadap beratus-ratus ton radikal bebas yang berkeliaran di sekitar kita. Sementara itu hutan dan lautan yang menjadi mesin pendaur-ulang utama itu mengalami kerusakan yang amat parah,” katanya lagi. Pak Sutiman lalu menambahkan: ”Alam sekarang mengalami kesulitan dalam melakukan siklus berbagai material. Manusia sebagai bagian dari Alam pun mengalaminya.” Lalu, setelah menyalakan rokok yang entah ke sekian, pak Sutiman -yang sebelumnya sama sekali bukan perokok itu- melanjutkan: ”Kerusakan Alam kini menempatkan manusia pada posisi degeneratif, artinya manusia menghadapi ancaman kegagalan dalam menjalankan kemampuan normal. Itu sebabnya penyakit manusia bergeser ke arah difficult diseases.

Tapi bu Gretha tidak pernah membiarkan dirinya sedih berlama-lama. Intuisinya yang liar dan tajam membuatnya segera sibuk memikirkan gagasan-gagasan baru. Alur pikirannya melompat-lompat dengan lincah, tak banyak orang yang memiliki kemampuan untuk mengimbanginya. Ketika pak Sutiman pada suatu kesempatan resmi menguraikan pemikiran bu Gretha dalam bahasa yang lebih runut, bu Gretha tercengang-cengang sendiri: “Benarkah itu hasil pemikiranku? Aku tidak mengira akan seindah itu…”, katanya dengan ekspresi yang lucu.

Keindahan itu juga terlihat dalam proses pengobatan ala bu Gretha. Sebelumnya, dalam sebuah eksperimen, bu Gretha mencoba melepaskan radikal bebas dari sebuah protein buatan. Radikal bebas itu baru terlepas sesudah dihantam dengan beban sebesar … 8 ton ! Namun ketika protein yang mengandung radikal bebas itu ditepuknya dengan ‘mengaktifkan rasa kasih-sayang’, radikal bebas itupun terlepas. Artinya, beban 8 ton itu kurang lebih setara dengan tepukan penuh kasih-sayang ! Itu sebabnya pelayanan penuh kasih-sayang menjadi bagian yang paling penting dalam terapi yang dikembangkannya. Itu sebabnya pula, di papan tembaga, pasien anak-anak dibaringkan di atas tubuh ayah atau ibunya, agar terjadi ikatan batin yang lebih dalam di antara keduanya. Ikatan kasih-sayang ini sangat berguna untuk mendorong kesembuhan. Dalam klinik-klinik asuhan bu Gretha dan kawan-kawan selalu ditekankan pentingnya partisipasi keluarga dalam proses penyembuhan. Kesembuhan seorang pasien dipengaruhi oleh kesehatan anggota keluarganya. “Bahkan menyehatkan diri sendiri itu sama dengan menyehatkan lingkungan”, demikian kata pak Sutiman.

Keindahan yang lain juga diperlihatkan di akhir terapi. Berbagai ramuan yang sudah dibalurkan ke tubuh pasien itu ditampung, sebagian dibiarkan tersisa di papan tembaga, sebagian diteteskan pada cawan petri. Hasilnya sungguh menakjubkan! Hanya beberapa menit dijemur di bawah matahari, kita akan segera melihat kristal yang bisa mengisahkan ’siapa kita’. Jika Anda sehat, pada papan tembaga maupun cawan petri itu akan terlihat lukisan kristal yang penuh, simetris, fraktal, dan memiliki pola yang sangat indah. “Tubuh manusia itu merupakan pabrik nano material yang paling hebat. Ketika cairan nano dari tubuh kita memperlihatkan keteraturan dan keindahan, itu menunjukkan bahwa tubuh kita memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan keteraturan dan harmoni”, demikian pak Sutiman menjelaskan sambil mengepulkan asap rokoknya.

Dua tahun terakhir ini, rokok merupakan bagian yang sangat penting dalam klinik binaan bu Gretha dan kawan-kawan -yang sebelumnya tidak satupun yang perokok. Rokok yang dinamai Divine Kretek itu mengandung asam amino, diproses sedemikian rupa sehingga bebas dari radikal bebas, dan menghasilkan partikel yang berukuran jauh lebih kecil. “Dengan terapi asap, radikal bebas yang keluar dari tubuh akan berukuran kecil, sehingga pasien tidak perlu mengalami siksaan seperti luka-luka yang besar dan basah atau aroma tubuh yang sangat mengganggu”, kata bu Gretha. Proses penyembuhan menjadi jauh lebih cepat, bahkan selama proses pengobatan pasien bisa tetap menjalani kehidupan normal tanpa diet khusus, asalkan ia bersedia secara teratur ….. merokok!

Sungguh sebuah paradoks yang mengesankan. Limbah ramuan balur bisa menjadi kristal yang bercerita, dan rokok yang sekarang sedang dihujat telah dimuliakan menjadi obat! “Tidak ada yang baru pada tembakau dan nikotin. Ratusan tahun yang lalu, bangsa Indian telah menggunakannya sebagai obat; mereka bahkan menamai tembakau sebagai tanaman dewa. Nikotin juga telah lama diteliti dan diakui mengandung banyak manfaat, bahkan ia dijuluki ‘gold nicotine’. Unsur kimianya yang berjumlah 11000 macam itu membuatnya sangat istimewa. Jika dilihat secara parsial, unsur-unsur kimia itu memperlihatkan ‘kejahatan’nya. Tapi jika partikel-partikel tersebut dilihat secara utuh, rokok memperlihatkan adanya potensi untuk menyelenggarakan keteraturan dan harmoni. Rokok tidak membahayakan generasi terdahulu, juga tidak generasi sekarang. Yang berbahaya itu radikal bebasnya, dan radikal bebas ada dimana-mana”, jelas pak Sutiman panjang lebar. Bu Gretha lalu menimpali: “Dengan menggunakan cetakan nano pada filter, densitas elektron meningkat, sehingga kandungan merkuri pada tembakau akan siap melepaskan elektron. Dan ketika merkuri kehilangan 1 elektron, ia bukan lagi merkuri. Ia merupakan partikel emas atau aurum, tepatnya artificial aurum.” Saya jadi ingat sebuah artikel tentang partikel aurum. Dalam ukuran nano, ia sudah lama dikenal sebagai nanomaterial yang efektif membunuh sel kanker tanpa merusak sel lainnya.

Bu Gretha lalu menunjukkan selembar kertas yang ia katakan sebagai ‘penemuan yang sangat mengagumkan’, yaitu tabel periodik kimia, tabel ciptaan Mendeleyev yang pernah kita pelajari di SMA. Ia menjelaskan, bahwa merkuri dengan nomor atom 80 bisa dengan mudah ‘menyamar’ menjadi thalium dan timbal hanya dengan tambahan 1-2 elektron. Merkuri juga bisa berubah menjadi artificial aurum atau emas -yang bernomor atom 79- hanya dengan mendonasikan elektronnya … Pernyataan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pembuktian. Bersama teman-teman, saya menguji pengaruh Divine Kretek terhadap aura. Dengan menggunakan aurameter milik bu Gretha, saya dan teman-teman menyaksikan, bahwa terapi asap lambat-laun akan membentuk aura berwarna emas di tubuh kita. “Sungguh terobosan yang hebat”, kata Kang Aas Rukasa, seorang guru senam pernafasan dan meditasi. “Aura emas hanya mungkin diperoleh melalui latihan pernafasan yang intensif yang disertai pengerasan tubuh. Aura emas mencerminkan kematangan di chakra jantung, chakra yang berhubungan dengan kasih sayang, kelenturan, keterbukaan, dan respon seni”, kata Kang Aas. “Aura emas merupakan jembatan tercepat antara tubuh dan pikiran; artinya seseorang dengan aura emas akan memiliki kecerdasan tubuh dalam menerjemahkan dimensi pikiran. Aura emas bukan hanya mencerminkan kesehatan yang prima dan kelenturan tubuh dalam menghadapi gangguan, aura emas ini juga berbicara tentang potensi untuk menyembuhkan orang lain”, demikian ia menambahkan.

Saya jadi teringat kisah-kisah klasik tentang para alkemis yang selalu terobsesi untuk mengubah apapun menjadi emas. Tidak disangka bahwa rahasia alchemy itu tak jauh-jauh dari kita, dan tampaknya tidak terlalu sulit bagi kita untuk mempelajarinya. Siapa tahu kita bisa menjadi the alchemy berikutnya?

Dasar-dasar bagi tumbuhnya future science itu telah disiapkan oleh bu Gretha dan kawan-kawan. Ini adalah sains multidisiplin yang tak hanya yang holistik, tapi juga unik, karena membawa dan mewujudkan mimpi terdalam umat manusia sejak masa klasik. Saya dan teman-teman tidak henti-hentinya kagum melihat seorang ilmuwan yang sekaligus ‘tabib’, seorang yang sesaat berbicara tentang ilmu-ilmu canggih dalam bahasa campuran Indonesia dan Inggris, lalu ia membalur dan meniupi pasien dengan bertelanjang kaki, tanpa sarung tangan dan penutup hidung. Di waktu pagi, senja dan tengah malam, ‘tabib’ ini menyempatkan dirinya membalur diri dengan kopi, ramuan kelapa dan putih telur, atau garam. Di waktu senggangnya ia hanya memerlukan lantai untuk sekedar membaringkan tubuhnya, sambil meniupkan asap Divine Kretek ke dalam telinganya. “Lantai baik untuk kesehatan, karena Bumi menetralisir kelebihan arus listrik yang menyebabkan adanya ritme tidak harmonis di tubuh kita. Garam bagus untuk menangkap radikal bebas yang ada di tubuh kita. Pengobatan terbaik adalah menggunakan tangan telanjang, bukan tangan bersarung, apalagi mesin, karena… tahukah engkau, bahwa tubuh manusia adalah cetakan nano terhebat di dunia?”, begitu katanya sambil tersenyum, seolah membenarkan ritual para tabib tradisional kita yang sudah lama menggunakan garam, telur, tangan telanjang, juga lantai dalam praktek pengobatan mereka. Sungguh sangat sesuai dengan namanya: Gretha artinya mutiara, Zahar itu brightness, revealed, grounded.

“Ibu kok seperti penyihir, ya…”
“Atau seperti Merlin…”
“Atau Nostradamus, Leonardo da Vinci…”
Begitu komentar teman-teman setiap berjumpa dengan ibu Gretha Zahar yang tak habis-habisnya mengherankan kami.





Rabu, 11 Februari 2009

Abunawas dan Ketololan Kreatif













A Little Thought about Paradox

Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana penulis novel dan pembuat film menggunakan paradoks dalam menghidupkan tokoh-tokohnya?
Dalam cerita-cerita tersebut, entah pahlawan ataupun penjahatnya sering dilukiskan sebagai sosok yang susah-payah mengarahkan segenap upaya perlawanannya justru bukan kepada musuhnya, melainkan pada sisi gelap yang ada di dalam dirinya sendiri. Kegelapan di dalam diri mereka itu penting untuk dikenali dan ditundukkan, karena pengalaman ini akan menjadi bekal bagi mereka dalam menghadapi kegelapan serupa ‘di luar sana’.

Jadi paradoks tampaknya bukan hanya sekedar bumbu penting dalam cerita. Paradoks bagaikan lampu yang tak hanya memberikan terang pada sebuah sisi, tapi juga menyisakan bayang-bayang gelap pada sisi kemanusiaan kita secara ... estetis. Paradoks jugalah yang membuat kita bertanya-tanya, kegelapan macam apa yang mungkin masih tersembunyi di dalam diri kita? 

"Engkau mengacau, tapi mengacau dengan cara yang sangat spesial."
"Engkau melakukan ketololan, tapi kau melakukannya dengan sangat gaya."
Siapa sangka suatu hari saya akan mencatat dialog-dialog semacam ini dari beberapa film?
Barangkali saya tidak akan pernah menyadari ada kalimat paradoks seperti itu, jika saya tidak pernah mengenal seorang ‘Abunawas’... eh teman ;-), yang sengaja mengkombinasikan kekacauan dengan ke-spesial-an, dan menyatukan kekonyolan dengan style. Sungguh aneh mendapati bahwa kesan mendalam justru terletak pada gabungan antara dua hal yang sangat bertentangan seperti itu.



Suatu hari Abunawas pergi ke pasar dan membeli sepotong daging. Di jalan pulang, ia berpapasan dengan seorang teman yang memberinya resep istimewa untuk memasak daging tersebut. Senangnya hati Abunawas! Membaca resep itu saja sudah membuatnya asyik membayangkan hidangan yang sangat lezat. 







Tak disangka, baru beberapa langkah kaki Abunawas menginjak halaman rumahnya, seekor gagak besar menyambar daging tersebut dari tangan Abunawas, lalu kabur.
"Hei, kamu pencuri!", teriak Abunawas marah.
"Kau memang punya dagingnya. Tapi tahu tidak?  Kau tidak akan menikmatinya. Karena resepnya ada padaku!"



Apakah paradoks itu?
Secara filosofis, literatur melukiskan paradoks sebagai 'pelintiran mendadak' yang memperlihatkan pada kita apa yang tadinya tersembunyi (dalam diri kita sendiri). Paradoks berpotensi untuk 'memperdaya proses berpikir kita' dengan cara memainkan ketegangan yang terjadi antara dua kerangka yang kontradiktif. Sejenak kontradiksi itu menghentikan proses berpikir linear kita. Namun terhentinya pikiran linear tersebut  justru memungkinkan kita mengalami semacam 'cognitive shift'. Cognitive shift inilah yang menyadarkan kita akan adanya rute berpikir yang lain sama sekali. Kejutan akan adanya rute berpikir lain ini seringkali terasa membebaskan, bahkan menyenangkan. Humor pada umumnya bekerja dengan memanfaatkan paradoks semacam ini.


Alkisah di mulut sebuah hutan ada sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang saudara kembar yang tak bisa dibedakan oleh siapapun. Orang mengenal mereka sebagai pribadi-pribadi yang sangat berlawanan: yang satu selalu berkata jujur, yang lainnya selalu berbohong. Tapi mereka punya kesamaan unik -selain tampilan fisik sebagai pasangan kembar identik tentunya-, yaitu: tak suka bercakap-cakap, dan hanya mau menjawab satu pertanyaan saja. 

Suatu hari rumah si Kembar kedatangan rombongan turis. Rombongan ini ingin berekreasi ke hutan wisata, tetapi di tengah jalan mereka menemukan persimpangan yang membingungkan. Konon hutan wisata tersebut bertetangga dengan hutan liar yang dihuni hewan buas. Tak ingin keliru memasuki hutan liar, turis-turis ini memutuskan untuk bertanya pada satu-satunya penghuni kawasan hutan tersebut, yaitu si Kembar. Pemimpin rombongan sudah mendengar tentang keunikan si Kembar, terutama tentang aturan 'satu pertanyaan' itu. Itu sebabnya ia menyertakan si cerdik Abunawas dalam rombongan ini.

Abunawas mengetuk pintu rumah si Kembar. Dari kejauhan, teman-temannya dapat melihat bahwa salah seorang dari si Kembar itu -entah yang mana- membuka pintu, lalu berkata dengan tegas: "Hanya satu pertanyaan, ya!" 

Abunawas mendekatkan dirinya pada salah satu dari si Kembar itu, berbisik-bisik, dan si penghuni rumah pun menjawabnya dengan bisik-bisik pula. Percakapan bisik-bisik itu terlalu singkat, dan pintu rumah si Kembar itu tampaknya juga terlalu cepat ditutup kembali. Namun Abunawas tampak terlalu mantap untuk mengatakan pada teman-temannya bahwa 'hutan wisata ada di jalur sebelah kanan'. Tentu saja semua orang bertanya-tanya, bagaimana Abunawas bisa begitu yakin bahwa tujuan mereka benar-benar ada di jalur kanan?

"Aku yakin kita harus menempuh jalur kanan, karena orang yang kutanya tadi menunjukkan jalan sebelah kiri", jawab Abunawas.
"Bagaimana kau begitu yakin? Bukankah engkau tidak tahu si Kembar yang jujur atau pembohongkah yang tadi kau jumpai, lebih-lebih kesempatanmu hanya satu pertanyaan?",  mereka bertanya lagi.

"Sebenarnya satu pertanyaan yang bagus itu sangat cukup," jawab Abunawas.
"Aku tadi bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku tanyakan padanya jalan mana yang menuju hutan wisata?”, kata Abunawas. Ia lalu melanjutkan:
 “Bila jalan yang benar adalah jalur kanan, dan yang kujumpai tadi adalah si Jujur, ia akan berkata "jalur kiri", karena itulah yang akan dikatakan saudaranya yang pembohong. Tapi bila ia adalah si Pembohong, ia pun akan menjawab "jalur kiri", sebagai kebalikan dari jawaban saudaranya yang jujur. Dengan begitu kita tahu bahwa jalan yang ingin ditunjukkan si Jujur adalah yang kanan."


Paradoks sering digunakan oleh para bijak dalam menyampaikan pesan-pesan spiritualnya. Kisah Abunawas ini mengingatkan kita, bahwa 'kiri dan kanan' itu saling melengkapi, bahwa pertentangan dan kontradiksi yang sering kita temukan itu hanyalah produk dari penglihatan yang tidak menyeluruh. Kiri-kanan, tinggi-rendah, benar-salah dan sebagainya itu bukanlah kutub-kutub yang saling terpisah. Mereka berhubungan, walau hubungan itu mungkin bersifat ‘eksentrik’. Saat kita berhasil menemukan koneksitas dan menyatukan kedua ‘kutub’ tersebut, sifat paradoksikalnya akan berakhir bagi kita. Mata yang tajam dan jiwa yang tenang akan menangkap-basah paradoks sebagai masalah sudut pandang belaka. Dalam ajaran Zen, tema paradoks dikemas khusus dan dikenal dengan istilah koan. Tujuan koan adalah menghentikan proses berpikir linear demi mengaktifkan proses berpikir non linear.

Pertanyaannya, apa salahnya dengan berpikir linear?
Karena berpikir linear itu mendasarkan diri pada pengukuran dan perbandingan, dua aktivitas yang paling disukai ego. Jika kita menghentikan proses berpikir linear ini, lalu mengalihkan kesempatan tersebut pada intuisi, artinya kita meninggalkan batas-batas wilayah ego sembari bergerak menuju area egoless atau selfless.  Inilah saat dimana kita memfasilitasi terjadinya cognitive shift untuk melihat hal-hal yang formless, incomparable, bahkan immeasurable
Begitulah rencananya.

Tapi area egoless dan intuitif itu tidak mudah untuk dikisahkan, malah cenderung membosankan! Bagaimana mungkin menarik minat orang untuk menuju ke sana (baca : kearifan) kalau ceritanya saja membosankan? Untuk mengatasi hal tersebut, orang lalu mulai bermain-main dengan ‘cermin paradoks’. Artinya, tonjolkan sisi ego dan pikiran linear yang suka mengukur dan membanding-bandingkan itu, lalu ‘pelintir’ sudut pandangnya sedemikian rupa. Dengan cara begitu, orang justru akan melihat sisi kebalikan yang diharapkan.  
Begitulah rencananya.


"Aku tidak bahagia, Abu. Rumah kami terlalu sempit untuk menampungku, istriku dan delapan anakku", keluh seorang teman Abunawas.
Abunawas memandanginya beberapa saat, lalu bertanya: "Kau punya domba?"
"Tidak. Tapi aku bisa membelinya", jawab si Teman dengan pandangan tidak mengerti.
"Belilah seekor, dan tempatkan dalam rumahmu", kata Abunawas.
Tanpa ragu, orang itu mematuhi Abunawas. Namun beberapa hari kemudian ia mengeluh lagi, malah ia merasa rumahnya semakin sempit.
 "Kalau begitu belilah beberapa ekor ayam. Taruh dalam rumahmu", kata Abunawas.
Si Teman tidak membantah. Namun beberapa ekor ayam ditambah seekor domba ternyata membuat rumahnya makin sesak saja.
"Kali ini peliharalah seekor anak unta dalam rumahmu", kata Abunawas ketika berjumpa lagi dengan wajah yang makin muram itu.
Namun semua saran ini tidak ada yang berhasil membawa bahagia!
"Rumahku seperti neraka, Abu. Kami tidak tahan tinggal serumah dengan hewan-hewan itu", kata si Teman.
"Kalau begitu juallah anak unta itu", kata Abunawas.

Sekian hari berlalu, Abunawas mulai melihat senyum di wajah temannya.
"Kami merasa lebih baik tanpa anak unta itu, Abu", katanya.
"Begitukah? Bagaimana kalau sekarang kau jual ayam-ayammu?", kata Abunawas.
"Kami juga merasa lebih senang tanpa ayam-ayam itu, Abu", kata si Teman dengan sumringah beberapa hari berselang.
"O ya? Berarti sekarang kau bisa menjual dombamu kalau kau mau", kata Abunawas.

Beberapa hari kemudian Abunawas mengunjungi si Teman, ia menyambutnya dengan wajah berseri-seri.
"Sekarang kami merasa bahagia karena rumah kami terasa lapang, Abu!"


Mengukur dan membanding-bandingkan, pekerjaan pikiran linear itu, sungguh merupakan sumber pertentangan dan ketegangan yang tak habis-habis. Menariknya, bagi para ‘Abunawas’, ‘sumber ketegangan’ itu terdengar sama merdunya dengan ‘sumber humor’. Malah ini merupakan sumber humor yang paling bagus!

Ya, Abunawas memang sering membuat kita tertawa. Tapi saya kira para ‘Abunawas’lah  yang  lebih banyak tertawa, bahkan mungkin terpaksa menahan tawa ketika mengamati ... kita! Siapa lagi? Kita lucu, karena sering dengan sengaja membebat diri-sendiri dengan persepsi yang membelenggu dan kebiasaan yang mekanistik. Kita kerepotan karenanya, tapi tetap saja melakukannya. Kita berkata: 'Jangan menilai buku dari sampul luarnya, jangan menilai parfum dari bentuk botolnya'. Namun kita jugalah yang selalu tergoda untuk mengoleksi berbagai sampul dan botol itu.  

Karena itu, sebuah pesan, lebih-lebih pesan kearifan, haruslah disajikan secara kreatif, demikian kata para ‘Abunawas’.. Kemas pesannya dengan menggunakan paradoks dan ‘pelintiran’. ‘Pelintir’ itu artinya membuat lompatan kecil secara tiba-tiba ke arah sudut pandang yang berlawanan. ‘Pelintiran’ ini akan membuat orang justru melihat pola yang tak terduga sama sekali, bahkan menangkap dengan jelas apa-apa yang tidak terucap dan tidak ditampilkan.
Begitulah memang rencananya ! 


Tetangga Abunawas baru pulang melancong dari negeri-negeri yang jauh. Dengan antusias, ia mengisahkan hal-hal aneh yang dilihatnya sepanjang perjalanan.
"Kau tahu", katanya pada Abunawas, "Ada sebuah negeri yang aneh. Udaranya luar biasa panas, sehingga tak seorangpun mau memakai pakaian di sana."
Sejenak Abunawas tampak terheran-heran.
"Pasti sulit", kata Abunawas dengan wajah serius, "Tanpa pakaian, bagaimana cara kita membedakan mana lelaki dan mana perempuan?"


Apa jadinya kalau dunia ini tak mengenal para ‘Abunawas’? Pasti melelahkan dan membosankan, karena tak akan ada ‘pelintiran’ yang menghasilkan humor dan kreativitas. Tanpa ‘Abunawas’, dunia akan dipenuhi ketegangan, karena orang-orang hanya mau mengakui kebenaran individualnya sendiri. Ideologi dominan menguasai, ideologi resesif menyembunyikan diri. Tapi hipotesa inipun paradoks. Karena begitu ada banyak ketegangan, akan lahir orang kreatif yang berusaha ‘memulung ketegangan’ tersebut dan memanfaatkannya. Si Kreatif ini akan bermain-main dengan ketegangan tersebut dengan menggunakan berbagai teknik ‘pelintiran’. Siapa lagi dia kalau bukan si iseng ‘Abunawas’ ?    

Di tangan para ‘Abunawas’ , paradoks dan pertentangan akan menjadi alat yang efektif untuk menunjukkan ketololan dan kelalaian manusia. Bahkan kemasan pesan ala Abunawas sering menjadi kritik yang tak hanya menghibur, juga berkesan. Tapi ingat, harus humor, bukan kritik dan nasihat! Nasihat baik jarang dibutuhkan dalam cuaca cerah. Tapi dalam cuaca buruk, orang malah terlalu panik untuk mendengarnya.


Abunawas menumpang sebuah kapal besar. Cuaca sedang cerah, tapi ia malah semangat berkisah pada penumpang lain tentang cuaca buruk di laut dan berbagai bahaya yang menyertainya. Tentu saja tak ada orang yang mendengarkan!
Tak dinyana, cuaca buruk itu benar-benar datang. Situasi sangat tak terkendali, badai besar mengombang-ambingkan dan nyaris menenggelamkan kapal. Para penumpang panik, mereka menangis, menjerit sejadi-jadinya kepada Tuhan. Berlomba-lomba mereka membuat janji akan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, jika Tuhan sudi menolong tentunya.
"Teman-teman", teriak Abunawas. "Jangan boros dengan janji-janji indah. 
Aku melihat daratan!"


Apakah artinya tertawa ?
Tawa adalah sebentuk penghargaan yang timbul karena adanya pemahaman terhadap sesuatu yang bernilai dalam diri kita. Kita mungkin melihatnya melalui peragaan ketololan dan ketidaksempurnaan yang diramu secara cerdas dan kreatif.  Tawa menunjukkan kemampuan kita menerima, bahkan menikmati hal-hal yang kurang ideal ini. Sikap tidak terlalu serius terhadap harapan dan idealisasi ini merupakan awal yang baik untuk membina kerendahan hati dan kepedulian pada orang lain. 
(Ya ampun, saya mulai serius ya?  Baiklah, saya akan memperbaikinya dengan kata-kata:
"Tertawa sajalah, guys! Enjoy your own madness. You have more than you thought!") 


Siapa yang tak kenal Abunawas, sufi cerdik yang 'nakal', namun tahu semua jawaban? Semua orang di penjuru negeri mengenalnya, termasuk Raja. Popularitas Abunawas menanjak karena ia selalu lolos dari jebakan yang dibuat oleh Raja. Ini membuat Raja semakin bernafsu untuk menjatuhkan Abunawas. Berkat dukungan dan kerja-keras para cendekiawan istana, Raja akhirnya berhasil juga mengalahkan kecerdikan Abunawas dalam sebuah kompetisi yang telah direkayasa. Abunawas kini mendekam dalam penjara, menunggu hukuman mati.

Pada hari eksekusi yang telah ditetapkan, Raja melakukan prosedur standar terhadap terpidana mati Abunawas di depan ribuan rakyatnya.
"Adakah permintaan terakhir?", tanya Raja. Ini adalah pertanyaan yang paling ditunggu-tunggu oleh Abunawas.
"Ada Yang Mulia. Perkenankan hamba memilih sendiri hukuman mati yang hamba kehendaki."
"Baiklah", jawab Raja.
"Paduka, hamba minta, bila pilihan hamba benar, hamba bersedia dihukum pancung. Tapi bila pilihan hamba salah, hamba dihukum gantung saja", kata Abunawas.
"Baiklah. Bila kau benar, pancung. Bila kau salah, gantung. Permintaanmu dikabulkan", Raja mengulangi kata-kata Abunawas sambil berusaha menahan tawa. Ternyata terali besi telah membuat kelakar Abunawas menjadi kering, demikian pikir sang Raja. 

Belum habis Raja menertawakan hal tersebut, tiba-tiba Abunawas berteriak:
"HAMBA AKAN DIHUKUM GANTUNG!"
Orang-orang terkejut, Rajapun terpana. Ia mulai mencium adanya muslihat. Tapi Raja harus bertindak hati-hati, kata-kata yang terucap tak mungkin ditarik kembali. Ribuan rakyat -yang sebagian besar merupakan pengagum Abunawas itu- mendengarkan semua pembicaraan pada hari itu. Raja tak ingin memberi kesan buruk pada rakyat.

Mendapati situasi sudah berubah menjadi agak membingungkan, Abunawas lalu menggunakan kesempatannya.
"Baginda, hamba tadi sudah memilih hukuman gantung. Jika pilihan hamba benar, hamba seharusnya dihukum pancung. Tapi di manakah letak kesalahan hamba sehingga harus dihukum pancung, padahal hamba memilih hukuman gantung?"    
  
Raja dan seluruh rakyat kini terpana. Tak ada yang menyangka Abunawas bisa saja menemukan lubang jarum pada kesempatan sekecil itu. 


Akhir kata, pasti seru memiliki mata ala Abunawas! Baginya, dunia ini tampak sempurna dengan berbagai ketidaksempurnaannya. Bahkan kata-kata cerdas pun bisa dia permainkan menjadi ... entah tolol, entah bijak, entah jenius, apa bedanya? Selama ada ketololan ... eh manusia, berarti akan selalu ada bahan-bahan humor dan paradoks ... Itu juga berarti akan selalu ada pekerjaan yang bisa dilakukan, bukan ?

Saya mungkin tidak cukup bagus mengungkapkan gambaran tentang ‘Abunawas’ yang saya kenal. Ia berada di luar gambaran baik-buruk, benar-salah, pintar-bodoh, menyenangkan-menyebalkan  dan sebagainya. Yang pasti, ketika orang memiliki mata ala ‘Abunawas’, berarti ia punya mata yang bagus dalam menikmati dan menciptakan humor. Dan ketika ia punya selera humor yang bagus, berarti ia juga punya rasa estetika yang bagus dalam hal apapun, yang membuat kehadirannya tampak bagus dan membaguskan di manapun ia berada!  

Percayalah, Anda sangat beruntung jika bisa menemukan satu saja ‘Abunawas’ dalam hidup Anda. Tapi jika Anda tidak seberuntung itu, Anda tetap bisa ‘mengundangnya’ dengan cara ... kurangi sedikitlah keseriusan Anda dalam menghadapi hidup ini. Serius! ;-).  Siapa tahu sudut pandang Anda akan terpilin sedikit, lalu cognitive shift itu terjadi, dan Anda melihat ‘sesuatu’ yang sebenarnya sudah ada di sana sekian lama...