Rabu, 18 Agustus 2010

Kolektor Satu Koleksi


Beberapa kali aku mendengar seorang suami atau istri berkata seperti ini tentang pasangannya:
"Dulu, dia yang melakukan pendekatan pertama padaku. Aku sih menerimanya karena kasihan."

Yaiks, dia sedang membicarakan siapa sih? Kok terdengar seperti membahas barang murah yang dijajakan dengan nekad ke rumah-rumah, karena ditawarkan dengan cara biasa tidak laku?
Tentu saja sekali-sekali kita boleh menaruh kasihan pada penjaja macam begini, selama yang dimintanya cuma senilai uang receh. Tapi kalau itu koin (baca: kesempatan mendapat pasangan) kita satu-satunya, dan 'dampak ikutan'nya berlangsung seumur hidup, masa sih 'dibelanjakan' sembarangan?

Jangan-jangan itu hanya dalih.
Sebenarnya itu pilihannya juga, tapi pilihan tidak cermat yang baru disesalinya kemudian. Persoalannya, dimana kerennya orang yang tidak cermat memilih?

Andai saja dia tahu, mereka yang  salah memilih masih bisa tetap keren, yaitu ketika ia diam dan tidak mengeluh.

Ah, berapa kali aku beruntung berjumpa dengan mereka yang menutup mulut atas 'ketidakberuntungan'nya itu.
Barangkali mereka memang memerlukan pengalaman ini (membuat istilah 'salah memilih' jadi ... salah ;-)), buktinya mereka  justru tampak berkilau karena ... penderitaannya (salah juga kayaknya. Siapa tahu jauh di dalam hati mereka bahagia? Buktinya -lagi-, mereka yang kukenal dalam posisi ini seringkali tampak amat sehat dan segar seperti rambut yang baru dikrimbat! ;-))

Lucu memang. Kadang-kadang orang mengira kekerenannya akan lebih bersinar jika dia cuek atau merendahkan kekerenan orang lain. Padahal sumpah enggak! Persis seperti gadis remaja yang merasa keren ketika bisa menunjukkan ekspresi siapa-sih-elu pada cowok-cowok yang memujanya. Padahal mana mungkin tatapan siapa-sih-elu itu menunjukkan siapa-gua, kecuali sisi-sisi yang menggelikan dan ... menyedihkan?

Tapi itulah masalahnya. Orang seringkali cuma bertambah tua, tapi tidak bertambah dewasa. Era dewasa melihat keren secara berbeda. Era dewasa membuat kita dengan bangga mengaku terpikat pada 'barang bagus', dan tidak malu memburunya habis-habisan kalau perlu... Lihatlah kolektor permata, lukisan, barang antik, betapa bangga mereka pada koleksinya! Harusnya semangat kolektor inilah yang mendasari pemilihan pasangan.
(Tapi tunggu ya saudara-saudara, koleksi yang satu ini cukup satu saja! Kami tidak melayani keberatan, protes, diskusi, atau surat menyurat tentang masalah ini! ;-))

"Aku yang menemukan dia lebih dulu. Aku langsung jatuh cinta dan bertekad akan berjuang untuk mendapatkannya!" ...
Kadang ucapan ini diikuti gerutu main-main seperti: "Yaah, walaupun setelah itu aku baru tahu, dia ternyata biasa-biasa aja siih..."

IYA-LAH, kenapa tidak? Hanya barang bagus yang layak diburu seperti itu! Dan kelak, ketika waktu semakin membuktikan bahwa pasanganmu memang benar-benar sekelas 'barang bagus' itu, engkau jugalah yang akan memanen kekaguman orang, lebih-lebih rasa hormat anak-anakmu.

"Busyet, jazik... Dia tahu aja ya dimana menemukan barang bagus. Seleranya memang bagus! Gimana sih dulu ceritanya?" ;-)

Tapi bagaimana kalau si doi ternyata tidak sebagus itu? Bagaimana kalau ternyata kita yang salah memilih?
Tentang ini, busyet ... eh selamat ... engkau terpilih, kawan! Sudah jadi tugasmu untuk menemukan dimana kerennya doi kamu. Jika engkau tidak ditakdirkan melalui jalan cermat dan sabar ketika memilih, berarti kecermatan dan kesabaranmu perlu dikerahkan ketika
1. 'membuka kemasan' (dan yang aku maksud di sini SISI BATINNYA, bukan lainnya!),
2. menemukan sisi-sisi kerennya yang masih tersembunyi, lalu
3. menceritakan pada dunia dengan bangga: "Busyet, ternyata jalan keluarnya ada di konsep 'daur ulang' euy!" ... Atau katakan apa sajalah terserah. Yang penting engkau menemukan semangat kolektor, dan yang kumaksud di sini sudah pasti kolektor satu koleksi! Huh.

(Maaf saudara-saudara, jaman sekarang memang orang bisa menyumpah busyet dan macam-macam untuk menyatakan kekaguman yang besar. Maaf.)

[marriage_shoes.jpg]
"HELP ME"
picture source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicP7ryE5zGabfcFmILC2U5ZL9Otz4QZgRoLq-3OEbYWUwX-uWYf-zHMvOlB9upPd_9370hLICZR2DNgAMclS3nL1q3-HmpuclA9KxmH_Pwzq6h-cIsG-Ibi4chs1uAS2XhLpfbIxIHYkI/s1600-h/marriage_shoes.jpg

Minggu, 15 Agustus 2010

Kisah Pemburu Gula-Gula


Barangkali engkau punya teman seperti Mas Doni, seorang penata rambut yang belum lama menjadi temanku.
Dulu ia hanyalah seorang yang -kupikir- terlalu gagah hanya dengan 'senjata' gunting di tangan, dan terlalu sedikit bicara untuk pekerjaan yang berurusan dengan perempuan. Tapi sekarang kami sering terlibat dalam obrolan menarik, dimana pembahasan tentang rambut hanyalah sekilas info. Sisanya tentang serba-serbi kecantikan batin, yang lucunya kami lakukan di tengah-tengah perkakas kecantikan fisik. Aku tidak pernah bosan mendengar kisah tentang perjalanan spiritualnya, nasihat-nasihat gurunya, dan betapa ia telah menjadi diri yang berbeda sejak belajar ini-itu. Tentu saja aku tidak bosan, karena setelah sekian menit berjumpa dengannya, pasti ada yang baru pada diriku. Jika bukan pengalaman batin, setidaknya potongan rambutku! ;-)

Barangkali engkau juga punya semacam antena seperti aku, antena internal yang tiba-tiba saja siaga tanpa diminta seperti kuping kucing atau kuping highlander. I really don't know what to expect; aku hanya menatap mulut Mas Doni yang tahu-tahu tertangkap mataku sebagai gerak amat lambat, seolah waktu terhenti beberapa detik.
"Janganlah kamu menjadi pemburu hadiah. Malulah kamu kepada Allah karena beribadah demi pahala. Allah tidak butuh pahala yang kau kumpulkan. Bulan puasa ini, tunjukkan padaNya bahwa kamu meninggalkan kebiasaan buruk dan berubah menjadi diri yang diperbarui", demikian Mas Doni menyampaikan pesan gurunya.
(Selalu begitu datangnya pesan-pesan 'aneh' ini. Pesannya selalu biasa, hanya cara datangnya yang tidak biasa. Tapi aku tahu, pasti aku memerlukannya dalam waktu dekat...)

Barangkali dalam hidupmu ada seseorang yang lucu seperti yang akan kukisahkan berikut ini.
Si Lucu ini rajin mengunjungimu, tapi -lucunya- ia tidak datang karena dirimu. Ia tahu bahwa ia akan disambut, dan ia menyukaimu karena padamu ada banyak kue dan gula-gula.  Engkau lalu menjadikan gula-gulamu sebagai iming-iming agar dia belajar dan mengembangkan diri, tapi ternyata itu hanya membuatnya semakin pintar memilih kata-kata yang kau sukai. Engkau tahu, di belakangmu ia tetap seorang dekil ... eh, lucu... yang tak malu-malu melakukan hal-hal yang ... eh... mempermalukan dirinya.

Engkau tak tahu dengan pasti, apakah ia akan tetap datang jika engkau menahan gula-gulamu.
Kadang engkau ingin menjauhinya, karena engkau takut kemurahanmu membuatnya makin ceroboh, makin malas belajar, dan makin ... lucu (yeah, itu maksudku ;-)). Tapi engkau tak tahan melihatnya menyakiti kiri-kanan ketika ia kehabisan -atau bahkan kebanyakan- gula-gula. Ia lucu, karena siksaan tak mengubahnya; lucunya ... kenikmatan pun tidak. Ia habiskan gula-gula yang ada padanya secepat kilat, dan secepat itu pula ia menghambur padaku untuk mengadukan semua 'kemalangan' lamanya (... yak, benar-benar semua, karena semua takdirnya memang tidak berubah!). Namun dengan pintar ia akan segera mengingat kata-kataku dulu: "Rumahku bukan tempat perlindungan para korban. Kalau engkau seorang pejuang, walau pejuang yang kelelahan, engkau boleh memulihkan energimu di sini". Lalu, dengan lihai pula ia mengubah perannya menjadi anak manis yang -seakan-akan- siap berubah demi menyenangkanku.
(Selalu begitu, lagi dan lagi. Membuat harapanku padanya makin lama makin menurun saja. Baiklah, jika ia memang sulit mengubah diri, setidaknya ia masih lari ke arahku setiap ia dalam masalah. Di sini adalah tempat aman baginya, karena di daerah kekuasaanku ia tidak akan mempermalukan diri dan tidak akan berani mencari kesulitan. Adanya dia di sini juga akan melindungi pihak-pihak lain yang tak punya daya menghadapi 'kelucuan'nya).

Hai, ternyata kelucuan itu menular!
Si Lucu itu sesekali membuat kami lucu, karena kami jadi sibuk menganalisis, bersiasat, bertipu-tipu, padahal dia ada di luar kendali. Mengeluh tentang kelucuannya adalah kebiasaan yang akan kami tinggalkan, karena tampaknya tertawa dan menertawakan diri sendiri lebih menarik ;-). Sekarang aku bahkan lebih tahu mengapa si Lucu ini harus hadir dalam hidupku. Lihatlah, ia selalu habis-habisan merapikan rumahku, tamanku, kamar mandiku, dan tumpukan kardus... (ya ampun, rumahku jorok sekali yah!). Kalau perlu semua itu dilakukannya di waktu-waktu yang 'ajaib' seperti dini hari dan malam yang sepi, atau siang hari yang panas bukan main.
"Hai, hai, kau tidak perlu melakukannya! Aku tidak butuh semua ini. Lakukan saja latihan-latihan yang kuajarkan, karena itu bisa membuatmu kuat lahir-batin dan fokus!", begitu teriakanku selalu. Tapi ia hanya mengangguk dan melanjutkan kerja-baktinya, karena dia mengira BEGITULAH CARA MENYENANGKAN BUNDA...

(Ah, apa yang dia tahu tentang menyenangkan aku! Aku seringkali dibuatnya gembira dan optimis melihatnya sedikit lebih baik setiap kali, sekalipun kemajuan yang kulihat itu ternyata mengandung ... tipu-daya. Tidak apalah, setidaknya ada hiburan sedikit di antara kekonyolan dan hari-hariku yang padat. Ia pasti masternya lucu, karena ia yang membuat kami-kami jadi bodoh dan lucu.)

Barangkali juga kita selucu itu di mata Allah, karena sering habis-habisan memperlihatkan diri sebagai orang taat dan baik, padahal sebenarnya kita cuma 'pemburu gula-gula' dan berbagai hadiah ... eh pahala. Ya, kita pasti lucu sekali, karena mengira bisa menyogokNya sekali setahun. Padahal mana mungkin Yang Maha Kaya butuh sogokan?

Sesungguhnya Dia menunggu kita berubah, memperbaiki dan memperbarui diri. Bagi Pencipta sistem kecerdasan yang menitipkan ciptaanNya pada kita, perubahan itulah yang terpenting.

Minggu, 08 Agustus 2010

Keluarkan Doktermu !


Bulan puasa sebentar lagi, entah untuk yang ke sekian puluh kalinya dalam hidup kita. 
Di akhir Ramadhan biasanya ada yang berkurang dan bertambah, sayangnya yang berkurang biasanya cuma berat badan (itupun sementara), dan yang bertambah juga cuma ... belanjaan. Padahal ritual puasa sebulan sering menaikkan alis bule-bule yang kukenal: "Wow, a whole month for collective training again? You people must be very very self-determined!"

"Bulan puasa sebentar lagi, dan sebaiknya engkau punya rencana", begitu 'dokter' dalam diriku berkata. Maka kuundang 'burung-burung kecilku' ke kamarku, dan kukatakan pada mereka tentang pentingnya menjadi diri yang berbeda di akhir puasa.

Dinda: "Apakah rencana ini merupakan harga yang harus kami bayar karena kami baru mendapat komputer baru?"
Dimas: "Apakah menurut Bunda adanya komputer baru membuat kami tidak produktif?"
Aku: "No, I'm just doing my job. I'm parenting. Memangnya berapa kali Bunda parenting tahun ini?"
Dimas: "Seingatku sih baru sekali"
(Baguslah. Parenting yang baik kukira tidak perlu terlihat sebagai parenting. Malah parenting lewat bodor-bodoran seringkali lebih sampai pesannya.)

Lalu aku cerita tentang perlunya membongkar dan membangun ulang, menyingkirkan yang tidak relevan dan menguatkan yang kita perlukan. Dan yang kumaksud akan dibongkar dan dibangun ulang itu bukan rak buku atau taman, melainkan ... kebiasaan.

Tak perlu mandi atau sarapan dulu untuk melakukannya. Pagi-pagi, dalam suasana ringan, aku minta anak-anakku menyusun daftar sepuluh kebiasaan yang merepotkan, karena 'mudah dimulai dan susah dihentikan'.
Lucunya, Dimas tidak menemukan satupun.
"Ada banyak hal yang memang mudah kumulai, misalnya main game. Tapi rasanya gak ada tuh yang sulit dihentikan!", katanya.
"Tapi kamu tidak pernah lepas dari komputer", kataku sambil mengenang betapa dia sudah menjadi pengguna aktif komputer sejak balita.
"Iya Bun. Dimas memang begitu. Kalau kita minta dia memberikan sesuatu yang membuatnya asyik, dia selalu menyerahkannya segera dan tanpa beban...", kata Dinda.
(Bagus sekali! Wow, darimana datangnya sifat seperti itu? Rasanya aku sama sekali tidak begitu.)

Dalam daftar Kaka ada hape, fesbuk, bermalas-malasan, main dengan teman, dan nonton televisi tanpa rencana.
Aku: "Kaka, kamu pasiennya, kamu juga dokternya. Coba sekarang keluarkan doktermu dan katakan sesuatu pada pasienmu."
Dokter Kaka: "Kaka, maneh teh goblog pisan jadi jalmi!" (Kaka, kamu tuh goblok banget jadi orang!)
Aku: "Halah, coba dokter Dinda dan dokter Dimas angkat suara. Katakan sesuatu pada pasiennya Kaka."

Dokter Dinda: "Kalau soal fesbuk, hentikan dululah sementara. Buat apa berinteraksi dengan orang yang sama tapi pakai semua media? Cukup pakai hape saja dulu. Kalau kamu sudah tahu rasanya berhenti sebentar, kamu akan lebih bisa mengendalikan kalau nanti memutuskan balik lagi. Itu pengalamanku."

Dokter Dimas: "Tentang bermalas-malasan, aku juga begitu kok. Kita memang suka perlu warming-up sebentar. Tapi kalau Kaka warming-upnya lamaaa banget, nanti tahu-tahu waktu dia untuk ngerjain tugas udah mepet."

"Kalau tentang teman, apa susahnya bilang 'maaf, aku sedang tidak ingin main'? Teman-temanku tahu aku orang macam apa, mereka tidak akan mengajakku ke mall atau ke tempat game. Tapi kalau bikin proyek presentasi, bikin video atau main kubik, pasti ke aku datangnya," kata dokter Dimas lagi.

Dokter Dinda: "Iya, Ka. Teman-teman kamu tuh posesif. Kalau teman udah sehati mah gak ada rasa takut ngecewain, apalagi ditinggalin."

Seperti biasa, Kaka hanya tersenyum-senyum mendapat kritik dari adik-adiknya.
(Baguslah. Menjadi kakak yang bodor dan berperan bloon memang keahliannya. Aku seringkali tidak tahu, apakah sikap bloonnya itu asli atau sedang role-playing, sebab dia juga suka teater seperti ... ibunya.)

Selesai membahas kebiasaan buruk masing-masing sambil mendengar macam-macam opini dokter, berikutnya adalah sesi membangun kebiasaan produktif.
"Apakah yang sulit dimulai, tapi terlalu mudah dihentikan oleh alasan-alasan sepele?", tanyaku.
Rata-rata menyebutkan kesulitan menyangkut belajar teratur di rumah, sholat tepat waktu, dan olah raga. Mandi sukarela, membereskan kamar sukarela, tidur secara terencana (maksudnya tidak tergeletak dan tertidur di mana-mana), bahkan menyiapkan susu untuk diri-sendiri adalah hal-hal kecil yang masih dianggap sulit.

Aku: "Kaka, katakan pada pasienmu tentang sholat tepat waktu."
Dokter Kaka : "Woi, Kaka, sadar atuh"
Aku: "Apakah pasienmu bisa menerima pesan seperti itu?"
Dokter Kaka: "Enggak sih..."
Aku: "Kenapa?"
Dokter Kaka: "Dia bosan dinasihati terus."
Aku: "Bagaimana perasaan dokternya?"
Dokter Kaka: "Dia juga bosan karena gak didengerin.":-)
Aku: "Jadi gimana dong?"
Kaka: "Gatauuu."
Aku: "Ya udah. Gimana kalau mulai bulan puasa ini si dokter dan si pasien memperbarui hubungan? Belajar jadi teman aja, dekatkan jarak satu sama lain."

Selanjutnya aku gunakan kesempatan ini untuk menyampaikan pentingnya merencanakan alokasi waktu. Hidup adalah masa audisi untuk kepentingan placement di masa depan, dan yang kita miliki hanyalah durasi, bukan waktu. Jadi sehari dengan lima waktu sholat bagaikan seumur hidup dengan lima babak kehidupan.

Lima babak?
Sebentar, garis besar audisi biasanya hanya terdiri dari tiga bagian, yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Jika ada lima pembagian waktu, barangkali ada dua babak ekstra bagi kita untuk melakukan koreksi dan penyesuaian, entah berupa 'babak pendahuluan edisi revisi' atau 'babak isi versi diperbarui'.
Tentu saja kita tak bisa apa-apa terhadap babak penutup, ia tak mungkin direvisi dan diperbarui secara langsung (kecuali oleh mereka yang beruntung ... bangkit dari kuburnya ;-( )
Yang penting, ketika kita merevisi dan memperbarui babak-babak awal, sebenarnya revisi dan pembaruan itu akan meliputi babak penutupnya juga.

Kembali ke rapat persiapan bongkar-pasang .....
Aku: "Apa alasanmu memasukkan olah raga di catatanmu Dinda? Bukan karena ingin menyenangkan Bunda kan?"
Dinda: "Bukan. Karena aku tahu aku sering merasa lemah. Dan aku tahu kalau sedang bugar, aku lebih optimis dan lebih semangat. Cuma masih belum tahu bagaimana menyemangati diri untuk memulainya."

Aku: "Yah, kita memang mahluk aneh. Kita tahu olah raga itu penting, juga sholat. Lucunya, kita musti nyolong-nyolong waktu untuk melakukannya. Pertanyaannya, bagaimana sih cara menyemangati diri? Apa kata dokter Dimas?
Dimas: "Olah ragaku cukup di sekolah. Apalagi aku juga pendaki gunung. Kalau di rumah... kan Buya suka ngajak pingpong atau naik sepeda?"

Aku: "Hmm, jadi kamu cukup mengandalkan Buya untuk membuat langkah pertamanya ya. Sekarang dokter Bunda yang bicara.
Motivasi memang harus selalu diperbarui, apalagi kalau motivasi lama sudah tidak mempan. Misalnya, bayangin aja kamu ini dipinjami badan, dan badan ini sudah membantumu habis-habisan. Kalau suatu saat pinjaman harus dikembalikan, masa sih dikembalikannya dalam keadaan berantakan?"
(Hasilnya cukup bagus ternyata, karena membuat mereka termangu-mangu.)

"Tapi kenapa kamu gak suka mandi, Dimas? Apa kata doktermu sendiri?", tanyaku sambil memecah atmosfer serius sebelumnya.
Dimas: "Dokterku sih setuju-setuju aja. Menurut dia boleh-boleh aja kok."
Aku: "Apa iya doktermu yang bicara? Doktermu sakit kali..."
Kaka: "Gara-gara menyuruh dia mandi, dia membenciku seharian, Bun. Doktermu tuh yang gak bener." :-)
Dimas: "Enggak ah, dokterku baik-baik aja kok. Dia cuma eksentrik."
Aku: "Woi, eksentrik itu banyak macamnya, tapi kenapa milih gak suka mandi? Apa pernah kau pikirkan, kenapa kamu ditakdirkan jadi bungsu dengan dua kakak perempuan?"
Kaka: "Supaya ada yang bilang kamu bau dan musti keramas! Supaya ada yang mencetin komedo kamu!"
Dinda: "Ya supaya kamu diurus sama kita-kita! Bayangin Bun, dia masih belum bisa bikin susu sendiri!" :-)

Dimas: "Aku sebel sama orang yang mementingkan penampilan. Aku sebel karena Kaka suka lama di kamar mandi. Terserah aku mau naruh selotip, kawat, peniti, entah di kacamata atau bajuku. Aku jadi ogah minum susu, karena Dinda bilang susu buatanku tawar."

Aku: "Woi Dimas, orang punya alasan macam-macam untuk memperhatikan penampilan, untuk mandi lama, untuk suka susu manis; tapi masa iya alasan dan selera mereka yang tidak kamu setujui membuat kamu kehilangan selera terhadap penampilan, mandi dan susu tawarmu? Woi, itu kan artinya kamu menaruh tombol pengendali dirimu di luar, sehingga tombol kamu bisa dipencet orang seenak perutnya? Tentukan alasan dan seleramu sendiri dong."

Barangkali ini adalah salah satu diskusi kami yang paling produktif dan penuh gelak tawa. Ada rencana mereka untuk 'bikin teh buat Bunda". Wow, kalau sampai ditulis, pasti ini rencana yang sangat berat! ;-)
"Aku memang gak tahu cara bikin teh. Airnya panas atau dingin, aku gak tau," kata Dimas.

Ada juga rencana Kaka untuk mengajari Dimas main piano, membuat Dimas sendiri heran dan bertanya: "Why me?"
"Karena kamu hebat Dimas. Kamu sering tidak tahu kalau kamu hebat. Ingat nggak aku ajari kamu lagu Yesterday sekali, besoknya kamu sudah tampil dengan bagus di sekolahmu?", jawab Kaka.
(Yang dimaksud lagu Yesterday ini pasti lagu aslinya. Soalnya di rumah kami ada versi pelesetan ala Buya yang dicampur dengan lagu Betawi lama, dimana syairnya (juga nadanya) berubah jadi: "Yesterday, mangga pisang jambu...." ;-) )

Namun yang paling menarik adalah catatan mereka bertiga untuk mengajak nonton bioskop saudara angkat mereka, Hana. Adanya Hana dalam catatan itu sudah merupakan hal yang amat menyenangkan, karena setidaknya Hana sudah diperhitungkan sebagai bagian penting dari mereka.
Aku: "Kenapa menonton bersama Hana masih merupakan hal yang sulit dimulai bagi kalian?"
Kaka: "Kami sangat suka kalau pergi bertiga aja. Diskusi di antara kami itu seringkali bodoh tapi penting. Kalau ada Hana, kami jadi kurang bebas, dan dia juga tidak bisa mengimbangi."

Aku: "Ya, Bunda tahu rasanya. Tapi kalian tidak akan selamanya bertiga. Kalian harus mengenal pergaulan yang berbeda. Percayalah, kadang-kadang teman setara itu harus kita bentuk sejak awal, dan Hana memiliki bahan yang memadai. Dia memang dibesarkan di desa, tapi dia suka membaca dan belajar kan?"

Aku lalu menambahkan: "Lakukan role-playing. Perankan diri yang bodoh, supaya Hana berpikir: 'Oooh, ternyata Kaka ada bodoh- bodohnya juga seperti aku!'. Dengan begitu dia merasa tak berjarak denganmu. Ajukan juga umpan-umpan pertanyaan di antara kalian yang bisa dia ikuti, sekalipun jawabannya sudah kalian ketahui. Begitulah cara parenting kami selama ini, yaitu: role-playing. Kalian tidak menyadarinya, kan?"
"Belakangan aku tahu Bunda-Buya menggunakan cara itu", kata Dimas sambil mengangguk-angguk.

Begitulah, rencana sudah ditetapkan.
Saatnya melatih self-discipline sepanjang Ramadhan, sehingga bulan-bulan berikutnya kami berharap bisa mencapai self-governance yang lebih baik.
Adanya rencana ini membuat 'collective training days' itu kami tunggu-tunggu dengan debar-debar yang menyenangkan. Lebih-lebih para role player, juga dokter-dokter pribadi kami -termasuk yang eksentrik dan bodor, pasti akan ikut berjaga selama 24 jam sehari!
Jadi .... "Siaaaap!"

..........

Selamat menyambut puasa.


Tuty Yosenda

Kaka: 20 tahun, belajar psikologi di Maranatha Bandung
Dinda: 18 tahun, belajar biologi di ITB, Bandung
Dimas: 16 tahun, belajar video, pidato dan manjat gunung di SMA Muthahhari, Bandung
Hana: 17 tahun, belajar bahasa Inggris, literasi, komputer dan memasak, di Bandung


Minggu, 18 Juli 2010

Bod Bod Tung *)


Pagi ini aku berbuat bodoh lagi.
Seorang anak menghentikan lari pagiku, karena ia memainkan dua utas benang dan memutar-mutarnya, padahal ada dua ekor burung kecil di ujung lain benang itu. Burung kecil dengan dada jingga itu adalah penghisap madu bunga kupu-kupu di sepanjang jalan rumahku. Setiap aku melihatnya, aku putuskan saja bahwa aku sudah menemukan satu keberuntungan hari itu. Barangkali aku bodoh karena memutuskan untuk merasa beruntung karena hal-hal kecil. Habis bagaimana? Mereka sudah tersedia, dan rasanya lucu kalau disia-siakan. Keberuntungan yang besar tak usahlah dipikirkan, apalagi dikejar. Malah kadang-kadang burung-burung kecil itu yang membuka mataku, membebaskan sesuatu yang masih keriting di dalam, dan memperlihatkan jalinan kisah yang tadinya terpelintir. Lalu dengan bodohnya aku ge-er: "Wooo, ternyata selama ini aku beruntung besar..."

Ya, barangkali aku memang bodoh. Atau tidak usah pakai barangkalilah, aku akui saja kebodohanku ini. Karena pagi tadi jogingku terhenti sejenak, dan aku menghardik anak kecil yang memutar-mutar burung-burung kesukaanku itu.
"Kamu dapat dari mana burung-burung itu?"
Dia terperangah.
"Tahu nggak, dia bisa mati karena kau putar-putar begitu! Mau kamu diikat sebelah kakimu dan diputar-putar seperti itu?"
Dia lalu berusaha memperbaiki posisi burung malang itu. Dan seorang laki-laki dewasa yang sedang menggendong bayi membantunya dengan agak ketakutan (yes!). Barangkali itu ayahnya, tapi aku sedang tidak peduli. Aku sedang bodoh soalnya.
"Kamu tahu, dia mungkin punya ayah ibu seperti kamu, dia mungkin punya anak yang harus diberi makan seperti kamu", kataku, kali ini dengan nada lebih rendah.
Mulutnya masih menganga.
"Apa kamu juga belum tahu, semua burung-burung ini Allah yang punya?"
Nah nah nah, sudah memuncak ternyata goblokku. Aku sudahi saja omelanku, aku lanjutkan jogingku, namun kali ini diiringi haru-biru (ugh!).

Sempat terpikir untuk membeli saja semua burung yang dijajakan di gerbang kompleks perumahan kami. Ini membuatku merasakan adanya sedikit kemajuan, karena gagasan tersebut tidak terlalu bodoh dibanding gagasan sebelumnya, yaitu ‘mengadopsi semua hewan liar yang dijajakan di pusat kota’ (ugh!). Atau gagasan bodoh untuk menjerat pemburu liar di kebun karet kami; benar-benar menjerat dalam arti yang sebenarnya: pakai lubang jebakan dan tali-temali. Barangkali yang satu ini tergolong BB alias bodoh berat, akibat putus asa karena ide-ide bodohku hanya membuat orang mengangguk-angguk seperti boneka pegas, tak pernah berhasil membawa mereka kemana-mana. Lebih bodoh lagi, ide-ide bodoh ini seringkali mengganggu liburan yang mestinya menyenangkan. Habis bagaimana caranya melupakan seekor burung hijau yang ada dalam genggaman pemburu liar? Bagaimana mungkin kita memergoki mereka, lalu berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa? Bagaimana engkau bisa menjadi penguasa atas sebuah lahan luas, tapi tak bisa melindungi mereka?
(Ah, penguasa apa. Kita ini cuma tamu yang berhutang di sini. Tak jelas apakah kita bisa membayar semua jamuan mewah dalam kunjungan ini. Kadang kita dititipi sesuatu yang mungkin bisa dijadikan cicilan hutang tersebut, namun kita juga tak pernah tahu apakah itu semua sudah sepadan.)

Liburan kami juga agak menggelikan di Ujung Genteng, Sukabumi Selatan. Untuk sejenak, anak-anak kecil itu sempat terlihat seperti ... monster (maaf kalau aku merasa begitu, dik, aku sedang bodoh berat saat itu), karena mereka harus diteriaki supaya tidak menginjak dan menjatuhkan tukik-tukik itu. Kami lebih sibuk mewaspadai tangan dan kaki yang gegabah daripada menikmati perjuangan tukik menuju lautan. Ada para ayah dan ibu di antara mereka, tapi yah... barangkali mereka memang lebih tahu cara bersenang-senang. Kebanyakan orang lebih menyukai foto yang bisa dipamerkan, bukannya pengalaman batin seperti melihat keberanian bayi-bayi penyu dalam menyongsong medan tak terukur di hadapannya, segera sesudah dilahirkan. Sedangkan kami, orang-orang bodoh ini, kami mengaku bahwa kadang-kadang kami bersenang-senang dengan cara aneh. Salah satunya yang sudah kugambarkan tadi, yaitu... meneriaki orang. Atau setidaknya berbisik dengan nada galak seperti ini:
"Cah ayu, kita tamu di sini. Penyu itu sedang bertelur, dan tak ada ibu-ibu manapun yang senang dijadikan tontonan. Dia dua kali umurmu, dan dia melihat dunia yang lebih luas daripada kamu. Jadi sebaiknya rendahkan suaramu."

Barangkali memang lebih enak menjadi orang pintar, karena tidurnya tak akan terganggu oleh hal-hal kecil tadi. Pintar artinya tak perlu membuang-buang waktu untuk memikirkan hal-hal yang mustahil. Ya pasti mustahillah, apa sih gunanya memikirkan nasib seekor dua ekor burung dan tukik-tukik, sementara di banyak tempat, terlalu banyak nasib buruk yang mustahil dihentikan?

Tapi mungkin ini bukan mengenai seekor dua ekor burung dan tukik-tukik. Ini mengenai harkat kemanusiaan kita sendiri. Kepintaran membuat manusia mengubah wajah dunia, sembari mengancam dan memporak-porandakan kehidupan lain. Kepintaran membuat kita menjaga jarak, padahal seberapa jaraknya kita dengan burung-burung kecil itu? Mereka hadir untuk mengendalikan penyebaran tumbuhan, hama, nyamuk, juga menyentuh hati-hati yang peka akan adanya harmoni Ilahiah. Hati yang peka (dan mungkin juga bodoh) tahu, bahwa kita dan burung itu cuma berbeda casingnya, cangkang luarnya. "Dan tidak ada seekor hewanpun yang ada di bumi dan hewan-hewan yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya itu umat juga seperti kamu," (QS, 6:38). Hati yang peka juga tahu, mereka pasti diciptakan dengan keseriusan yang sama dengan ciptaan hebat (ugh!) seperti kita.

Aku ingat, di masa kecilku, ada kicauan burung-burung liar di pepohonan yang kini tak kutemukan lagi. Jadi barangkali burung-burung itu juga akan hilang suatu hari, sekuat apapun kita mencegahnya. Jangan-jangan bukanlah pelestarian mereka itu yang terpenting, demikian pikiran bodohku berargumen. Mereka 'cuma' burung (dan kita 'cuma' bodoh), ditambah lagi ini juga bukan proyek besar (atau terlalu besar dan terlalu mustahil?). Kemanusiaan kitalah yang sesungguhnya perlu diselamatkan dan dilestarikan. Burung-burung dan hewan kecil 'tak penting' lainnya itu hanya melintas sejenak untuk membangunkan kita: "Wahai para orang bodoh, apakah artinya besar kalau tak bermakna? Apakah artinya besar jika itu tidak menyentuh hatimu, lalu menggerakkanmu untuk memperbarui diri dan peduli?"

Ya, jangan-jangan kemanusiaan kita memang sedang terancam punah. Kita tak tahu lagi apa artinya besar dan kecil. Besar tahu-tahu dihubungkan dengan kekuasaan dan kemenangan, kecil entah bagaimana dikaitkan dengan kekalahan. Tapi pagi ini pikiran bodohku melihat, bahwa burung-burung itu patuh pada hukum harmoni terbesar. Dan pikiran bodohku jugalah yang menuntunku untuk menemukan tulisan bodoh di sebuah buku bodoh: "Jika engkau ragu, lakukan perbuatan besar dan bodoh seperti Nabi Nuh melakukannya!"**)

Jadi aku merasa makin bodoh saja. Tak tahu harus bagaimana, kecuali hanya merasa ... ehm... beruntung.


*) Bodoh-Bodoh Beruntung gituloh maksudnya ;-)
**) Kata-kata Rumi, seorang sufi dan penyair.


Tukik umur sehari berjuang sendirian menuju laut lepas yang sama sekali tidak pernah dikenalnya.