Senin, 09 Mei 2011

Menambal Tikar dengan Kue Ketan


É ... mantèné teko ,  é ... bèbèrno kloso
É ... klosoné bedhah , é ... tambalen jadah
É ... jadhahé mambu,  é ... pakakno asu
É ... asuné mati, é ... buwak nang kali
É ... kaliné banjir , é ... buwak ning pinggir
....................................

(Pengantinnya datang, hamparkan tikar
Tikarnya koyak, tambal saja dengan kue ketan
Kue ketannya basi, berikan saja pada anjing
Anjingnya mati, buang saja ke kali
Kalinya banjir, buang saja ke pinggir)
______________________________

Lagu ini (jika boleh dibilang lagu) paling seru kalau dinyanyikan sambil menghentak atau memukul-mukul sesuatu, terutama bangku sekolah ...tentunya ketika guru sedang tidak hadir ;-).

Terbayang dalam kenangan, segerombol anak laki-laki (tentu anak-anak di tahun 70 - 80 an ;-)) menarik perhatian orang dengan mendendangkan lagu tersebut, entah ketika sedang berjalan bareng menuju sebuah tempat, atau bahkan di saat berbaris dan berkostum aneh dalam pawai Tujuh Belas Agustus. Kami anak perempuan biasanya cukup puas dengan ikut meneriakkan ééé nya saja. Seolah lengkingan bersama-sama itu memberikan semacam keberanian ekstra untuk berkata pada dunia: "INILAH KAMI !"

Sesungguhnya aku tidak yakin apakah ini merupakan semacam lagu.
Ini mungkin sejenis 'puisi jalanan' (kalau boleh disebut puisi) yang diciptakan entah oleh siapa.
Ya, pada masa itu hak cipta memang belum dikenal. Tapi sungguh merupakan godaan yang menarik untuk memikirkan siapa yang memulainya.

Kalau imajinasiku boleh berperan di sini, barangkali proses pembuatan puisi tersebut diawali oleh sekelompok pemuda yang sedang ronda malam, dan sedang dilanda keisengan untuk mengusik salah satu di antara mereka yang baru menjadi pengantin.
"É ... mantèné teko ,  é ... bèbèrno kloso", seorang dari mereka memulai.
(Ai... datang juga pengantinnya, ayo kita hamparkan tikar untuknya)

Saat itu suasananya pasti riuh sekali, lebih-lebih sang pengantin yang datang membawakan oleh-oleh jadah (kue ketan) itu tak ingin 'mati langkah'. Jadi si pengantin baru lalu melanjutkan puisi dadakan itu dengan meledek tikar yang dibicarakan, yang lucunya koyak di sana-sini.

"É ... klosoné bedhah", kata si pengantin.
"É... tambalen jadah", balas seorang rekannya sambil memungut sebuah kue ketan.
(Ai ...tikarnya koyak, tambal saja dengan jadah)

Barangkali saat itu mereka cukup bangga dengan irama serasi yang mereka temukan. Jadi pada hari berikutnya, keisengan yang memuaskan itu dilanjutkan, sehingga puisi itu kita kenal lengkap dalam versi yang membawa-bawa anjing mati dan sungai banjir segala.

Yah, sayangnya imajinasiku terpaksa harus berakhir di sini, teman. Selain tak ada kejelasan, susah diteruskan, juga tak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kurasa aku akan berhenti memikirkan siapa penciptanya. Karena ada yang jauh lebih penting untuk diketahui, yaitu ... siapa penggunanya ? Dan mengapa ?

..............................................................


Sempat terlintas di pikiranku, bagaimana kalau ternyata selama ini kita adalah pengguna puisi iseng tersebut, teman ?

Kita memang tidak lagi menyanyikannya, karena kita tahu cara yang lebih efektif untuk menyatakan : "INILAH AKU". Namun dengan cara yang lain, kita menyanyikannya juga.

Kitalah yang suka 'menambal-sulam tikar koyak dengan kue ketan", bukannya mengganti dengan tikar baru.

Kitalah yang memberi makan 'anjing peliharaan' yang berada di bawah tanggung jawab kita dengan makanan yang bahkan kitapun tak sudi memakannya. (Duh, menganggap orang kecil sebagai anjing saja sudah keterlaluan, apalagi memberinya makanan atau solusi basi ...)

Kita juga 'membuang anjing mati ke sungai' dalam banyak level , baik dalam arti sebenarnya maupun simbolik. Dalam arti sebenarnya, jelas sekali bahwa selama ini sungai memang menjadi tempat sampah kita.  Dalam level yang berbeda, membuang anjing mati ke sungai berarti menyerahkan urusan hukum alam yang satu pada hukum alam yang lain , misalnya kerusakan hutan yang dibiarkan menjadi kerusakan ekologis yang berkepanjangan.

Baiklah, salahkan saja para pemuda imajinerku yang sedang ronda malam itu. Terutama salahkan dulu si pengantin yang membawa jadah itu ...;-)  Merekalah penggagas kebodohan ini. Barangkali saja melanjutkan pola lama untuk menyalahkan generasi masa lalu itu memang menenangkan dan bisa ...euh...menghapus malu.
Persoalannya, di mana mereka yang kita perlukan untuk disalahkan itu sekarang ?

Yah, sayangnya (atau untungnya ?), jalan cerita ini sekarang sepenuhnya di tangan kita, saudara-saudara.

Dulu kita main-main menyanyikannya, tapi sangat serius ketika hati meneriakkan: "INILAH AKU !".

Dulu mereka mungkin pernah memulainya. Tapi kita yang telah menjadikan apa-apa yang tak jelas, bahkan yang salah itu sebagai budaya. Kita tahu bahwa budaya adalah sikap dan tindakan yang dilangsungkan secara kolektif.

Kita paham bahwa budaya atau shared belief  ini -walaupun tak sepenuhnya kita sadari- justru paling lantang menyuarakan: "INILAH KITA".

Sayangnya -lagi-, diri yang kita teriakkan dengan lantang tanpa self-awareness itu tidak akan membuat kita bangga. Karena ketika kita melanjutkan aktivitas 'menambal tikar koyak dengan kue ketan' itu sebagai budaya, artinya kita setuju pada berbagai hal yang dulu berasal dari keisengan yang tak sempat dipikirkan masak-masak itu.

Pada saat yang sama, kita juga setuju bahwa identitas kolektif kita berasal dari sebuah kecelakaan sejarah belaka ...


(diilhami oleh diskusi dengan Prof. Sutiman Bambang Sumitro, suatu hari di Malang, tahun 1998 an)

Pengantin jawa berbusana dodot.
picture source: http://archive.kaskus.us/thread/2229293/40

Rabu, 13 April 2011

I Feel Pretty !

Feel stress ? Say a big NO ! 
Feel pretty instead ;-)





I feel pretty 
Oh so pretty 
I feel pretty and witty and bright 
And I pity 
Any girl who isn`t me tonight 

I feel charming 
Oh so charming 
It`s alarming how charming I feel 
And so pretty 
that I hardly can believe I`m real 

See the pretty girl in the mirror there? 
Who can that attractive girl be? 
Such a pretty face 
Such a pretty dress 
Such a pretty smile 
Such a pretty me 

I feel stunning 
And entrancing 
Feel like running 
And dancing for joy 

For I`m loved
By a pretty wonderful boy 



Somebody says you are not awesome ? Define and claim your prettiness, NOW ! ;-) 





Say outloud, show them that you really mean it !





Because you are the last one who always believe that you are pretty ...





Anything you like ? 
You can keep the video with the help of www.keepvid.com.

Sabtu, 09 April 2011

Tell him/her how you feel right now, but not to a married or a late person ;-)

10th grade 

As I sat there in English class, I stared at the girl next to me. She was my so called "best friend". I stared at her long, silky hair, and wished she was mine. But she didn't notice me like that, and I knew it. After class, she walked up to me and asked me for the notes she had missed the day before and handed them to her. She said "thanks" and gave me a kiss on the cheek. I wanted to tell her, I want her to know that I don't want to be just friends, I love her but I'm just too shy, and I don't know why.

11th grade 


The phone rang. On the other end, it was her. She was in tears, mumbling on and on about how her love had broke her heart. She asked me to come over because she didn't want to be alone, so I did. As I sat next to her on the sofa, I stared at her soft eyes, wishing she was mine. After 2 hours, one Drew Barrymore movie, and three bags of chips, she decided to go to sleep. She looked at me, said "thanks" and gave me a kiss on the cheek. I want to tell her, I want her to know that I don't want to be just friends, I love her but I'm just too shy, and I don't know why.

Senior year 


The day before prom she walked to my locker. My date is sick" she said; he's not going to go well, I didn't have a date, and in 7th grade, we made a promise that if neither of us had dates, we would go together just as "best friends". So we did. Prom night, after everything was over, I was standing at her front door step. I stared at her as she smiled at me and stared at me with her crystal eyes. I want her to be mine, but she isn't think of me like that, and I know it. Then she said "I had the best time, thanks!" and gave me a kiss on the cheek. I want to tell her, I want her to know that I don't want to be just friends, I love her but I'm just too shy, and I don't know why. 

Graduation Day 


A day passed, then a week, then a month. Before I could blink, it was graduation day. I watched as her perfect body floated like an angel up on stage to get her diploma. I wanted her to be mine, but she didn't notice me like that, and I knew it. Before everyone went home, she came to me in her smock and hat, and cried as I hugged her. Then she lifted her head from my shoulder and said, "you're my best friend, thanks" and gave me a kiss on the cheek. I want to tell her, I want her to know that I don't want to be just friends, I love her but I'm just too shy, and I don't know why.

A Few Years Later 


Now I sit in the pews of the church. That girl is getting married now. I watched her say "I do" and drive off to her new life, married to another man. I wanted her to be mine, but she didn't see me like that, and I knew it. But before she drove away, she came to me and said "you came!". She said "thanks" and kissed me on the cheek. I want to tell her, I want her to know that I don't want to be just friends, I love her but I'm just too shy, and I don't know why.

Funeral


Years passed, I looked down at the coffin of a girl who used to be my "best friend". At the service, they read a diary entry she had wrote in her high school years. This is what it read: I stare at him wishing he was mine, but he doesn't notice me like that, and I know it. I want to tell him, I want him to know that I don't want to be just friends, I love him but I'm just too shy, and I don't know why. I wish he would tell me he loved me! 



'I wish I did too...', I thought to my self. And I cried. 





quoted from http://www.boardofwisdom.com/default.asp?topic=1006



Kids Kissing Doll


picture source : http://www.vincentchow.net/images/funny-kiss.jpg

Selasa, 08 Maret 2011

Buatlah Aku Ternganga, Kawan !

A DELICIOUS CONVERSATION WITH MY ATHEIST FRIEND ;-)


"Atheists can be spiritual", kata teman baruku ini.

Ia mengakui betapa aneh dan kontradiktifnya pernyataan tersebut bagi para religius, seaneh anjing yang mengeong atau kubus yang bundar, katanya. Yang ia tidak tahu, sebenarnya ada saja orang religius (mmm ... siapa ya ? ;-)) yang tidak merasakan pernyataan semacam itu sebagai keanehan. Sepuluh tahun lalu aku pernah tergila-gila pada pemikiran para atheist (yang kadang menyebut diri mereka humanis) dan agnostic, bahkan sengaja mengoleksi setumpuk artikel mereka dari internet.

So, apakah spiritual?

Bagi mereka, spiritual adalah sebuah perasaan universal yang menyatukan semua manusia, dimana berbagai keajaiban kecil dalam keseharian, diwarnai atmosfer 'zona yang tak diketahui' (baca: misterius, tak terukur), semua bercampur-aduk dalam kompleksitas dan keindahan yang agung... (ehm, sepertinya begitu juga makna spiritual bagiku, my friend ...;-). Einstein menamai kondisi batin semacam ini sebagai Cosmic Religion. Dan ternyata 'agama ala Einstein' ini diterima, baik oleh para atheist maupun para theist (religius).

"The most beautiful experience we can have is the mysterious," demikian kata Einstein.

"Misteri adalah pengalaman emosi terdalam manusia yang paling penting; ia merupakan titik pertemuan antara seni sejati dan sains sejati. Barang siapa tidak mengalaminya, tak lagi terpesona, juga tak berhasrat untuk mencari tahu, mereka sama bagusnya dengan ... orang mati".

"Pengalaman dengan misteri -yang sesekali bercampur dengan rasa takut- itulah yang melahirkan dan menghidupkan agama. Karena seringkali pengetahuan itu tak dapat ditembus. Tapi melalui keindahan terdalam, kita dapat menyentuhnya. Keindahan terdalam itu hanya tersedia dalam bentuknya yang paling primitif, yaitu pengalaman dengan misteri", kata Einstein lagi ...

Berdasarkan pemahamannya yang amat menarik tentang pengalaman dengan misteri (yang amat kusetujui ;-) itulah Einstein -juga para atheist- mengaku diri mereka sebagai ... religius. Atau setidaknya spiritualis.
Mereka mengagumi berbagai jalinan mikroskopik yang membuat tanaman bertumbuh, mengeraskan sisa-sisa tubuh hewan laut menjadi bukit kapur, menyatukan uap air menjadi awan, juga membuat kita bergelimpangan gara-gara mikroba yang 'nakal'. Mereka terpesona pada bigbang yang telah memuntahkan samudera partikel, dimana material subatomik itu lalu membentuk milyaran galaksi, hingga terwujudlah 'sebutir pasir' yang kita sebut rumah (baca: Bumi).

Mereka masih menghela nafas mengenang bagaimana kehidupan Bumi dimulai oleh cyanobacteria purba yang bertransformasi menjadi mahluk multiseluler yang makin kompleks, hingga terbentuklah arthropod, ikan, tumbuhan, dan mamalia. Mereka juga ternganga mengingat betapa manusia telah bertumbuh menjadi spesies yang mampu berjuang menangani penyakit, kelaparan, gempa, pergi ke Bulan, juga mengirimkan pesawat ke planet-planet lainnya.

So, setuju sekali, my atheist friend. Semua ini memang very breathtaking, dan aku juga merasakan spiritualitas yang kau gambarkan ketika kubiarkan diriku tenggelam dalam keterpesonaan ini  ...

Jelas kita semua sama, dan persamaan ini merupakan sebuah permulaan yang baik (sebagaimana kau bilang).

Lalu bagaimana kita bisa berbeda ?

Well, kau bilang bahwa perbedaan antara theis dan atheis hanya terletak pada penafsiran belaka. Atheis menolak kehadiran Tuhan dalam realita (yang sama-sama membuat kita ternganga itu), lebih-lebih gagasan tentang Tuhan yang mengiming-imingi hadiah dan mengancam dengan hukuman itu tidak masuk akal bagi mereka. Mereka cukup puas dengan misteri tentang keabadian, juga dengan kesadaran akan jalinan kehidupan cerdas yang mampu menata diri sedemikian rupa. "Bukan roh jahat yang membuat kita sakit, tapi mikroba. Bukan Poseidon yang memulai gempa, tapi gerakan lempeng tanah. Bukan sihir yang membuat kita saling terhubung, tapi ... internet ;-)", begitu pembelaanmu (yang terjemahannya sengaja kupilin sedikit. Biar pembacaku gak terlalu serius menanggapinya ;-)).

Well, tidakkah pemahamanmu tentang semua ini cenderung berbasis memori, kawan ?

Jangankan engkau, para theist yang memory based pun banyak yang terjebak dalam penjara yang sama.

Engkau marah pada gereja (riwayatmu duluuu) yang mengingkari sains dan membakar Galileo. Tapi kau sudah lihat akhirnya bukan? Tak ada yang bisa membendung tumbuhnya ilmu pengetahuan.

Engkau benci pada keyakinan akan roh jahat, sihir dan Poseidon. Tapi lihatlah di mana mereka yang masih jadul oriented ini berdiri ? Di tempat kumuh dan gelap, bahkan di alam ... kubur.

Engkau juga muak pada Tuhan yang berorientasi reward dan punishment, padahal gambaran Tuhan semacam ini hanyalah interpretasi subjektif yang kita pilih sendiri.

Yah, kita bisa saja terjebak dalam perdebatan tentang Tuhan yang ingin kita percayai. Tapi ketahuilah kawan, Tuhan yang dibicarakan dan diperdebatkan itu hanya ada di wilayah interpretasi. 

Remember what they say about "the map is not a territory", my friend ?

Bahkan dengan sesama Muslim dalam satu perguruan, peta dan interpretasi kami tak akan benar-benar sama. Dan memang seharusnya demikian. Setiap peta perjalanan haruslah personal, karena ia dibangun oleh pengalaman dengan emosi terdalam kita masing-masing (sebagaimana kau yakini sebagai pengalaman dengan misteri).

Ketika sesama pengembara -dengan petanya masing-masing itu- akhirnya bertemu di Teritori yang sama, tak ada lagi Tuhan yang perlu diperdebatkan, apalagi dipertentangkan. Karena perdebatan itu selalu mengenai peta ... atau interpretasi. Padahal di tempat tujuan yang bernama Teritori itu, di antara sesama pengembara itu hanya akan terjadi satu urusan 'bodoh' ;-), yaitu ... saling membenarkan. Mereka mungkin akan saling mempelajari macam-macam peta yang telah membuat mereka saling dipertemukan, hingga terjadi satu hal 'bodoh' yang lain lagi, yaitu : Wooow ! (dan mulut mereka menganga lagi dan lagi) ;-)

Sejujurnya, mengapa aku menyukaimu, karena aku melihat ada diriku dalam dirimu, kawan.

Engkau sendiri menyetujui bahwa existence doesn't pick a side.
Kalau saja engkau tahu, bahwa para theist pun sesungguhnya diharuskan belajar untuk tidak memihak, lebih-lebih jika mereka meyakini bahwa Tuhan itu 'tidak di Timur maupun di Barat'.

Yah, engkau belajar begitu banyak, kawan, bahkan kepalamu dipenuhi berbagai pertanyaan mendasar yang bodoh (sebagaimana diriku selama ini, hingga aku seringkali dianggap aneh oleh sesama theist di negeriku sendiri ;-)). Jadi tampaknya aku tidak akan keberatan untuk bergabung dalam Cosmic Religion ala Einsteinmu itu. Karena aku setuju, bahwa tidak terpesona dan tidak mencari tahu hanyalah perilaku para ... carcasses (ups! jadi ingat 'wong mati ora obah' dalam sluku-sluku bathok ;-)).

Aku juga suka petamu, kawan. Bahkan sudah lama gambaran yang kau kisahkan itu ada dalam peta pribadiku.
Engkau bilang, spiritual adalah tentang mengakui bahwa kita tidak selalu tahu. (Bagi orang yang tidak tahu dimana enaknya ternganga, pasti tidak tahu apa maksudnya kalimat konyol ini...;-)).
Tapi hari ini aku tersenyum melihat sebuah hal baru: Bahwa sebanyak apapun fakta yang kau masukkan dalam petamu, semua hanya semakin meyakinkanmu bahwa Tuhan tidak mungkin ada, termasuk berbagai paket religius lainnya yang meliputi angel, afterlife dan sebagainya.
Tidakkah aneh jika fakta dan bukti yang sama banyaknya justru membuat orang lain memiliki keyakinan yang berlawanan denganmu, yaitu ... semakin yakin bahwa Tuhan itu sangat ada, sangat mengintervensi, bahkan hadir di mana-mana ?

Jadi apakah sebenarnya yang membuat kita berbeda, kawan ?

.......

Yang kutahu, Tuhan adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan zona yang kita tidak tahu.
Zona itu begitu luasnya, bahkan yang disebut bukti tentang zona itu hanya mungkin dicapai melalui penyatuan antara diri kecil kita dengan zona yang tak terhingga itu.
Tentu saja engkau bisa menyatukan diri kecilmu dengan zona itu, tapi itupun hanya terjadi jika engkau meyakininya. Jelas tak cukup hanya dengan percaya, karena percaya itu selalu menuntut bukti (yang datang kepada kita).

Yang kutahu -lagi- adalah bahwa : Bukti itu tak cukup hanya dipetakan dan diinginkan. Ia harus didatangi dengan melibatkan diri utuh, sebagaimana kau gambarkan sebagai pengalaman emosi terdalam.

Jadi my atheist friend, bagaimana kalau berikutnya kita akan berbagi pengalaman terdalam tentang proses penjelajahan bukti dan Teritori tersebut ?

Aku sudah terpesona melihat petamu, berikutnya aku ingin ternganga mengagumi kisah perjalanan batinmu dalam memvalidasi kebenaran petamu ...;-)

Salam Cosmic Religion !

"There is God ?"
picture source: http://www.funnypics4all.com/pics/3/1/3115_12.html

Senin, 21 Februari 2011

Aji Mumpung ala Anak Gembala

picture source: http://www.funnypics4all.com/pics/2/9/2934.jpg


Sayup-sayup bangun tidur
Tanaman melambai
Begitu hijau dan segar
Seperti pengantin baru

Anak gembala, anak gembala
Tolong panjatkan pohon belimbing itu
Tolong panjatkan meskipun licin
(Jadikan buahnya) Untuk mencuci baju dodotmu

Baju dodotmu sobek di pinggir
Jahitlah, benahilah
Supaya bisa dipakai 'sebo' nanti sore

Mumpung terang bulannya
Mumpung luang waktumu

Mari bersorak, mari bergembira

(terjemahan bebas tembang dolanan Lir-Ilir)
___________________________________


Teman, jika engkau pernah menjalani masa kanak-kanak di daerah perkotaan Jawa sekitar tahun 70 an, jangan-jangan engkau termasuk generasi terakhir yang  pernah mendengar dan menyanyikan tembang tersebut.

Waktu itu televisi masih hitam-putih. Tak ada iklan, tapi kekayaan lokal -termasuk lagu-lagu daerah- mengalun hampir setiap sore.  Pak Toni, guru kesenian kami saat itu memaksa kami untuk memperbarui lagu-lagu daerah. Dan kami terpaksa senang, karena perlombaan demi perlombaan yang kami ikuti membuat kami boleh membolos beberapa jam pelajaran sehari. Apalagi ditambah kesempatan berkostum cantik dan tampil di panggung yang sama dengan penyanyi beneran... Wah, dipaksa sering-sering pun tak apa, Pak !

Tahun-tahun itu, ijo royo-royo masih melambai dimana-mana. Jadi meskipun televisi mulai berwarna-warni, ijo royo-royonya lapangan terbuka  dan sorak-sorai bersama teman-teman masih amat mempesona. Memang bukan Lir-ilir lagi yang kami nyanyikan (kecuali di panggung perlombaan folk song), tapi Lir-ilir di televisi yang sayup-sayup terdengar selagi mandi sore masih bisa menggoyang dan menggerakkan irama internal kami.

Kini, entah kemana sekarang ijo royo-royo itu. Ia sudah digantikan oleh mall dan pertokoan yang beku. Lambaian ijo royo-royo yang merayakan kemenangan dan kesejahteraan 'burung-burung kecil' itu telah diambil alih oleh lambaian industri milik 'burung-burung besar' yang mengundang kita untuk memasuki sebuah 'ruang tertutup'. Yang disebut mainan itu kini adalah boneka buatan pabrik, mobil-mobilan, robot; bukan lagi ruang terbuka, batu kerikil, biji buah sawo, kain sarung, dan susunan kursi yang dijadikan kereta api. Yah, derap industri memang telah berjasa memudahkan semua urusan kita. Serahkan saja semua hiburan dan agenda pengasuhan itu pada barang-barang pabrik, jadi para orangtua bisa asyik dengan mainan mereka sendiri ...  (Kita terpaksa harus begitu bukan? Kalau tidak, mereka akan mengatai kita ketinggalan jaman ...;-))

Mereka bilang, rumput tetangga lebih hijau dari rumput halaman sendiri.
Tapi ternyata masih ada yang dianggap lebih hijau daripada tanaman dan berbagai irama alaminya itu. Sekarang, irama ekonomilah yang lebih ijo royo-royo di mata kita semua. Dan tragedi ini biasa terjadi, dimana irama alami yang tak berpihak itu selalu kalah oleh irama ekonomi yang memihak kepentingan segelintir orang. Anak-anak adalah korban yang paling rentan. Ketika anak-anak masa lalu merayakan padhang mbulan dan menyoraki datangnya pagi, anak-anak sekarang (termasuk orangtuanya..;-)) membiarkan irama hidup mereka dikendalikan oleh produk baru, game, Blackberry, dan segudang ... pe-er.

Tentu saja tidak semua hal tentang ritme ekonomi ini berdampak buruk. National Geographic mengisahkan tentang sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa anak-anak sekarang bisa mengingat 4000 logo yang dipaparkan lewat iklan dan televisi. Bukan main ! Mereka tahu logo Starbuck, Mc.D, barang-barang elektronik, juga tahu wajah-wajah selebriti (maksudnya para aktor dan pelawak). Kekurangan mereka tentu ada, yaitu... tak mampu menyebut 10 spesies tumbuhan yang ada di sekeliling rumah mereka.

Tapi 10 versus 4000 itu cuma kekurangan kecil bukan ?
Euh ... (menghibur diri ;-))

..........

Anak gembala, anak gembala
Tolong panjatkan pohon belimbing itu
Tolong panjatkan meskipun licin
(Jadikan buahnya) Untuk mencuci baju dodotmu

..........

Teman, jangan-jangan kitalah pewaris terakhir tembang ini.
Kitalah anak gembala, cah angon yang sedang digugah oleh Sunan Kalijaga, sang pencipta tembang ini.
Kita diminta memanjat sebuah pohon yang buahnya berbentuk bintang dengan lima sudut (whatever that means, it's your decision ! ;-)).
Kita didorong untuk berani dan tak menyerah, sekalipun pohonnya licin. Siapa tahu buah pendakian itu bisa digunakan untuk meluruskan ego dan melepaskan keterikatan kita pada irama palsu yang disimbolkan sebagai baju dodot, baju kebesaran ala bangsawan itu.
Lalu, dengan baju dodot yang telah diperbarui, kita bersiap untuk 'sebo', duduk bersimpuh untuk menerima ajaran kearifan. Atau bahkan menghadap Sang Raja.

Dasarnya cuma aji mumpung.
Mumpung masih terang bulan sang penyembuh itu.
Mumpung kita masih bangun, masih bisa merayakan, mengisi dan mempertahankan kemenangan.

..........

Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar

Bocah angon, bocah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro

Dodot iro, dodot iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono, rumatono
Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak'o surak hiyo




Ingin menyimak penafsiran tembang Ilir-Ilir yang lebih 'meriah' ?
Lihat : http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=395
juga http://www.youtube.com/watch?v=sgaYV77hK00

Kamis, 03 Februari 2011

Buaya dan Gayus Juga Ada Pelindungnya ...



Hari ini tahun kelinci sudah dimulai, saudara-saudara. Dan seperti biasa, sebuah permulaan selalu membuatku terkenang pada ...sebuah akhir.

Adalah Edward dan Carter (diperankan oleh Jack Nicholson dan Morgan Freeman), dua orang sahabat yang disatukan oleh kanker dan kematian yang makin mendekat.  Alih-alih menyerah pada kesakitan dan ketakberdayaan, mereka sepakat untuk membuat daftar tentang 'things to do before you die' dan bertekad untuk mewujudkannya. Dalam bucket list*)  mereka itu tercatat terjun payung, bersafari di Afrika, mendaki Himalaya, kebut-kebutan ala pembalap muda, juga ...mencium gadis tercantik di dunia. Percayalah, tak perlu ada gadis-gadis berbikini untuk menyegarkan film ini, karena aksi dua sahabat penyakitan yang sudah kakek-kakek itu cukup memikat, berkat daya hidup, pertengkaran sengit dan 'humor asam-manis' yang terserak di sana-sini.

Well, jadi apa yang ada dalam bucket list-mu, Tuty?
What things you want to do before you ... die?
Sepertinya yang kubayangkan hanyalah ... bersenang-senang, walau bukan semacam terjun payung atau kebut-kebutan. Bayangkan bagaimana rasanya menjadi ...euh...belly dancer? Bagaimana rasanya menyanyi sampai tubuhmu ringan, ekspansif, merinding, bahkan... plong? Pasti menyenangkan juga bisa menari ngremo, memainkan rampak kendang, juga bermain drama seperti dulu bersama teman-teman sekolah...

Lalu angan-anganku melayang pada sebuah taman bermain, dilengkapi dengan kolam, rumah pohon dan perpustakaan mungil. Anak-anak berdatangan, entah untuk sekedar bermain, menyepi, membaca buku, dan mengerjakan pe-er.  Ada dapur kecil untuk eksperimen memasak di sebuah ruang serba guna, juga panggung kecil dan properti buatan sendiri untuk mendongeng.  Bagian terbaik dalam gambaran ini adalah....ternyata ada aku di antara semua kesibukan itu ! (Maunya!) Yah, siapa tahu ada malaikat yang sedang lewat yang sudi mengamini harapan konyol ini. Siapa tahu keberuntunganku masih ada, yaitu ketika dulu aku mimpi punya rumah yang disukai burung, dan sekarang beberapa perkutut liar dan tekukur liar malah membangun sarang di halaman rumahku.

Bersenang-senang? Woi, banyak orang susah di dunia ini, dan sekarang kau hanya memikirkan kesenangan ?
Entahlah. Aku sedang berpikir, jangan-jangan susah itu merupakan pilihan. Jadi kalau memang kita bisa memilih, mengapa bukan bersenang-senang saja? Lebih-lebih bersenang-senang itu tidak selalu mudah, ...euh..., setidaknya begitu pengalamanku. Jadi kalau susah dan senang itu sama-sulitnya, mengapa tidak bersulit-sulit dalam kesenangan aja? (Nah, kalau kalimat muter-muter ini mulai muncul, percayalah, ini salah satu kesenanganku juga. Dan kalau kalimat muter bisa bikin kalian bingung, tambah besar saja kesenanganku!)

Halo? Kenapa mendongeng?
Yah, karena sejarah perkenalan itu seringkali lucu. Pada mulanya dongeng adalah pelarian bagi orang-orang yang tidak puas, tempat dimana engkau bisa sembunyi di dunia ciptaan yang penuh sihir dan kebaikan yang selalu menang. Lama-lama engkau menyukai drama dan intrik-intriknya.  Engkau mulai mengagumi martir, tokoh yang bangkit dari kekalahan, juga tokoh cerdik yang penuh strategi, sekalipun dia antagonis. Selanjutnya engkau tertarik pada tokoh tidak sempurna -macam kita-kita ini- yang dengan gagah berani mengatasi kegelapan batinnya sendiri. Tidak lama lagi engkau akan mulai menaruh perhatian pada tokoh kikuk yang selalu canggung dalam usahanya untuk 'fit in' dengan lingkungannya. Bahkan tokoh yang sial, dangkal, atau sembronopun bisa jadi amat menarik, berkat kemasan cerita yang menggemaskan! Inilah awal dari kesukaanmu pada cerita, proses kreatifnya, dan tentu saja pada para penciptanya !

Tapi ...seperti yang sudah kukatakan, sejarah perkenalan memang banyak lucunya.
Engkau mengira mendongeng adalah tentang segala hal yang bukan dirimu, atau setidaknya sedikit sajalah yang mengandung dirimu. Padahal makin lama engkau akan melihat bahwa ...engkaulah yang hidup dalam dongeng itu. Pada suatu hari engkau adalah itik yang buruk rupa, dan kehadiranmu ditolak oleh para kucing karena engkau tak bisa bergulung dan mendengkur seperti mereka. Engkau lalu menjadi Mulan yang terpaksa menyamar menjadi laki-laki, karena perempuan pada masa itu tak boleh bicara, dan perempuan yang tanpa sengaja menjadi pahlawan itu sama jahatnya dengan seorang kriminal. Atau engkau tumbuh menjadi Midas, tapi sentuhan emasmu ternyata merupakan sentuhan yang mematikan (persahabatan, misalnya). Atau jangan-jangan engkau adalah singa muda Kovu dalam Lion King yang terpaksa 'menanggung kaluputan' (istilah Ahmad Tohari dalam Bekisar Merah) karena dosa warisan, atau bahkan dosa titipan yang sering menimpa para negarawan kita.

Ya, engkau bisa melihat dirimu dalam berbagai kisah-kisah itu. Andai saja kita boleh berharap untuk memerankan Merlin, Arthur, atau Bima, bahkan Bisma dalam kisah pewayangan. Bisakah kita menolak peran Mordred yang mengkhianati Arthur yang telah membesarkannya ? Bisakah kita membebaskan diri dari peran Karna, sang kesatria yang terluka itu? Sebagian diriku berkata: "Tidak tahu". Karena untuk kesuksesan cerita, pemeran antagonis itu perlu dimainkan oleh pemeran terbaik, dan efek paling dramatis hanya mungkin terjadi jika pemeran terbaik itu dimainkan oleh ...orang-orang yang kau cintai. Tapi bagian lain dari diriku berkata: "Bisa !" Engkau hanya perlu menjaga jarak dari segalanya ! Mainkan saja bagianmu, toh dunia ini cuma panggung sandiwara. Tak ada gunanya memaki Karna, karena siapa tahu engkau juga tokoh antagonis seperti itu dalam kisah versi orang lain. Juga tak ada gunanya menyumpahi Mordred, karena di balik kostum gelapnya itu ada ...saudaramu...

Jadi tampaknya engkau perlu mengalami semua peran itu, lebih-lebih jika engkau seorang pendongeng.  Engkau harus merasakan semua rasa nano-nanonya, karena tugasmu adalah membuat perasaan itu believable bagi audiensmu. Ini juga merupakan sebuah tahap belajar untuk memastikanmu menjadi pengendali nano-nano yang tidak enak itu, bukan sebaliknya.  Engkau belajar mengenali mengapa ada Merlin di sini, Arthur di sana, juga Mordred, naga galak, pocong, suster ngesot, bahkan ...Gayus...di mana-mana. (Ya ampun, tampaknya kita harus segera memikirkan bagaimana caranya menjadikan dogol...eh...bumbu-bumbu ini sebagai penyedap dalam versi kisah yang diperbarui.) Lagi pula, sudah lama aku curiga, bahwa Tuhan tampaknya tidak berpihak pada si baik Merlin ataupun Arthur, juga tidak antipati pada Mordred, Kurawa dan antagonis lainnya. Tuhan melindungi semuanya, termasuk buaya bodoh yang membunuhi ribuan migran (maksudku para satwa seperti zebra, wildebeast dan kijang) yang imut dan tak berdosa itu. Semua adalah alat peraga, semacam alat bantu buat para pendongeng untuk menciptakan kisah serunya sendiri.

"He saved my life", kata Edward dalam pidato pemakaman Carter, seorang 'musuh' yang juga sahabat terbaiknya dalam tiga bulan terakhir kehidupan Carter. Yang telah diselamatkan itu sudah pasti bukan umur atau durasi biologis Edward, karena Edward juga meninggal tak lama kemudian. Sesungguhnya mereka saling menyelamatkan kisah hidup masing-masing, memperbarui versinya sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mereka bisa 'menutup mata dengan hati terbuka', demikian istilah Carter.

Jadi saudara-saudara... selamat memulai hari baru di tahun kelinci, selamat memperbarui sesuatu di tahun perdamaian ini. (Ngomong-ngomong, mereka bilang tahun ini tahun 'agak tenang', karena adanya unsur logam membawa hawa galak. Juga semacam 'tenang sejenak', karena tahun ini diapit oleh tahun-tahun galak;-)).
Semoga sukses.


*) daftar keinginan yang harus dilakukan sebelum mati

picture source: http://vicestyle.com/en/news/today/post/crocodile-bag-doll-friends

Jumat, 14 Januari 2011

Malam Terakhir Bobo


Ada dua kemungkinan mengapa rasa kehilanganmu cukup serius ketika menghadapi kematian hewan piaraan. Pertama, engkau berumur tak lebih dari sekitar 15 tahun. Kedua, namamu ... Tuty Yosenda. (It's me!) 
(Padahal... tahukah kau berapa umurnya?
Ia bahkan lebih tua dari 15 dikalikan tiga...) ;-)

Aku berumur 10 tahun ketika hewan piaraan pertamaku mati. Ada Bobi, seekor anjing tua dan sakit yang memilih pergi diam-diam ke tepi sungai di akhir hidupnya. Disusul Kukuk, seekor ayam kate yang suka dipeluk dan dibawa jalan-jalan. Belajar dari rasa kehilangan itu, aku sempat 'menjaga jarak' dengan hewan-hewan piaraan. Bahkan sebelum tanda-tanda kematian mereka semakin menguat, aku segera menyerahkannya pada Mama.
"Kutitipkan ia padamu, Ma. Terserah Mama bagaimana mengatasinya. Tapi tolong perlakukan ia sebaik-baiknya."

Itulah kenangan yang tiba-tiba muncul malam ini.

Mengapa kenangan itu muncul... sekarang?
Karena malam ini Bobo sedang melalui malam terakhirnya.

Bobo adalah seekor kelinci abu-abu yang suatu hari tiba-tiba hadir di ruang tamuku. Entah darimana ia datang, tapi kami menyambutnya dengan suka cita. Sebelum Bobo, ada Hairball, kucing hitam berbulu tebal yang juga datang entah darimana. Konon ada tetangga yang memelihara berbagai macam hewan, termasuk ular. Mungkin Hairball adalah kucing mereka yang menyelinap keluar, lalu merasa betah selama beberapa minggu di rumah kami. Ketika akhirnya ia tidak muncul lagi, kami selalu berpikir: "Mungkin ia menemukan rumah yang disukainya, atau malah sebuah rumah yang bisa ... mengurungnya." (Hal yang tak mungkin terjadi di rumahku, karena ruang yang terbuka di berbagai penjuru). Ya, sesekali kami merindukan Hairball yang tidak seperti kucing biasa. Ia tahu kapan waktunya mengajak bermain dan bermanja-manja, juga tahu kapan waktunya menjaga jarak... (It's so me!)

Kembali ke Bobo, kelinci abu-abu berhidung putih, dengan 'kaus kaki' yang juga putih itu.
Ia tak puas hanya dengan berkeliaran di halaman rumahku yang luas; ia bahkan merumput di taman tetangga. Dengan cemas kami mengamatinya melintasi sela-sela pagar rumah, takut kepolosannya akan dimanfaatkan oleh para tukang sol sepatu, tukang sayur, kucing liar dan lain-lain. Tapi anehnya, tiap sore kami mendapatinya pulang, berbaring manis di ruang makan, lalu mengejar siapa saja yang mendekat, mengendus jempol kaki kami, melompat ke pangkuan, dan hanya berhenti setelah mendapat upah wortel dan cracker kesukaannya. Esok paginya, ketika semua pintu rumah terbuka, ia berjemur santai di teras depan, bagaikan bapak-bapak yang sedang menunggu kopi dan koran pagi. Hanya pada minggu pertamanya saja ia suka main ke tetangga. Selama 2 bulan berikutnya ia ternyata memutuskan untuk menetap di rumah kami, dimana halamannya amat terbuka dan bisa dia tinggalkan sewaktu-waktu. Sungguh aneh melihat seekor kelinci yang merasa perlu memiliki aura kebebasan semacam itu ... (Just like me!)

Tapi akhirnya kepolosan dan kebebasan Bobo itu pada akhirnya terbukti menarik bahaya. Seekor kucing liar hampir berhasil melarikannya, dua kali pula! Walaupun Bobo selamat, ia sempat berubah menjadi layu dan pemurung. Sejak itu sebagian area kami beri pagar kawat. Kami bahkan memberikan pasangan padanya, seekor kelinci jantan berwarna coklat susu yang dinamai Choco. Sayangnya mereka gagal menjadi pasangan romantis, karena Bobo ternyata ..... jantan juga! Untungnya Bobo bisa bergembira setelah ada Choco. Mereka tidur dengan saling menyandarkan badan, saling mengenduskan mulut, dan berbagi wortel yang sama. Sungguh kelinci-kelinci yang menggemaskan. Mana ada kelinci yang lebih tergoda untuk masuk ke dalam rumah daripada bermain di halaman berumput?

Ya, kami memang mampu menjaga mereka dari incaran kucing liar. Tapi kami tidak dapat melindungi mereka dari penyakit ...

Kini Bobo sedang sendirian di dalam kardus; dan aku yang tak punya keberanian ini juga sedang sendirian di alam memoriku. Barangkali ini malam terakhirnya, itu sebabnya aku memutuskan untuk mengenang jejak-jejak kecilnya. Aku tidak akan lupa moncong putihnya yang imut, rasa amannya ketika berjemur di teras terbuka, dan tidur siangnya yang nyaman di atas batu di tepi kolam. Beberapa minggu lalu bahkan ada bajuku yang kusebut sebagai 'baju kelinci', yang sebenarnya merupakan baju jogging yang siap dicuci, sehingga tidak masalah jika dikotori lagi oleh seekor kelinci yang ingin dipangku. Entah kemana saja aku belakangan ini, karena ritual kelinci itu sudah lama kulupakan. Kalau saja aku tahu bahwa malam terakhirnya hari ini, barangkali beberapa hari ini aku akan membuat prioritas yang berbeda.

Bobo, engkau memang hanya seekor kelinci. Tapi engkau sendiri yang memilih datang kepada kami, dan membawa 'kehangatan lintas spesies' yang tak akan kulupakan. Engkau juga mengingatkanku tentang betapa singkatnya kehadiran kita di dunia ini. Kini engkau membuatku berbisik kepada Tuhan, sebagaimana aku dulu berbisik pada Mama setiap kali hewan kesayanganku menghadapi kematian.
"Kutitipkan ia kepadaMu, Tuhan. Terserah bagaimana Engkau melakukannya, tapi tolong perlakukan ia sebaik-baiknya."

Bobo, engkau telah membawa kenanganku kemana-mana, bahkan pada mendiang Mama.
Menjelang kepergiannya, di tengah perasaan tak berdaya itu aku hanya bisa berbisik di dalam hati:
"Mama, aku tidak akan pernah bisa membayar kebaikanmu. Aku hanya bisa berjanji: All my life, I will do anything in the best possible way".

Dan hanya beberapa saat lalu, ketika perasaan kehilangan dan helpless yang khas itu muncul lagi, kembali aku diingatkan betapa mustahilnya kita sembunyi dan lari, kecuali kepada Dia yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi dan mengambil kembali ...

"Ya Allah, demi Bobo yang kehadirannya membawa kegembiraan pada kami,
demi Bobo yang kuharap mendapatkan penjagaanMu...
I will live, work, play, speak...
and I will do all those thing in the best possible way..."

Baiklah Bobo, mungkin ini malam terakhirmu.
Tapi jejak kecilmu itu telah kuabadikan sebagai janji kepadaNya, dan akan kuupayakan sebaik-baiknya sepanjang hidupku.

Bobo, Choco dan Kaka