Tampilkan postingan dengan label tembang jawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tembang jawa. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Mei 2011

Menambal Tikar dengan Kue Ketan


É ... mantèné teko ,  é ... bèbèrno kloso
É ... klosoné bedhah , é ... tambalen jadah
É ... jadhahé mambu,  é ... pakakno asu
É ... asuné mati, é ... buwak nang kali
É ... kaliné banjir , é ... buwak ning pinggir
....................................

(Pengantinnya datang, hamparkan tikar
Tikarnya koyak, tambal saja dengan kue ketan
Kue ketannya basi, berikan saja pada anjing
Anjingnya mati, buang saja ke kali
Kalinya banjir, buang saja ke pinggir)
______________________________

Lagu ini (jika boleh dibilang lagu) paling seru kalau dinyanyikan sambil menghentak atau memukul-mukul sesuatu, terutama bangku sekolah ...tentunya ketika guru sedang tidak hadir ;-).

Terbayang dalam kenangan, segerombol anak laki-laki (tentu anak-anak di tahun 70 - 80 an ;-)) menarik perhatian orang dengan mendendangkan lagu tersebut, entah ketika sedang berjalan bareng menuju sebuah tempat, atau bahkan di saat berbaris dan berkostum aneh dalam pawai Tujuh Belas Agustus. Kami anak perempuan biasanya cukup puas dengan ikut meneriakkan ééé nya saja. Seolah lengkingan bersama-sama itu memberikan semacam keberanian ekstra untuk berkata pada dunia: "INILAH KAMI !"

Sesungguhnya aku tidak yakin apakah ini merupakan semacam lagu.
Ini mungkin sejenis 'puisi jalanan' (kalau boleh disebut puisi) yang diciptakan entah oleh siapa.
Ya, pada masa itu hak cipta memang belum dikenal. Tapi sungguh merupakan godaan yang menarik untuk memikirkan siapa yang memulainya.

Kalau imajinasiku boleh berperan di sini, barangkali proses pembuatan puisi tersebut diawali oleh sekelompok pemuda yang sedang ronda malam, dan sedang dilanda keisengan untuk mengusik salah satu di antara mereka yang baru menjadi pengantin.
"É ... mantèné teko ,  é ... bèbèrno kloso", seorang dari mereka memulai.
(Ai... datang juga pengantinnya, ayo kita hamparkan tikar untuknya)

Saat itu suasananya pasti riuh sekali, lebih-lebih sang pengantin yang datang membawakan oleh-oleh jadah (kue ketan) itu tak ingin 'mati langkah'. Jadi si pengantin baru lalu melanjutkan puisi dadakan itu dengan meledek tikar yang dibicarakan, yang lucunya koyak di sana-sini.

"É ... klosoné bedhah", kata si pengantin.
"É... tambalen jadah", balas seorang rekannya sambil memungut sebuah kue ketan.
(Ai ...tikarnya koyak, tambal saja dengan jadah)

Barangkali saat itu mereka cukup bangga dengan irama serasi yang mereka temukan. Jadi pada hari berikutnya, keisengan yang memuaskan itu dilanjutkan, sehingga puisi itu kita kenal lengkap dalam versi yang membawa-bawa anjing mati dan sungai banjir segala.

Yah, sayangnya imajinasiku terpaksa harus berakhir di sini, teman. Selain tak ada kejelasan, susah diteruskan, juga tak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kurasa aku akan berhenti memikirkan siapa penciptanya. Karena ada yang jauh lebih penting untuk diketahui, yaitu ... siapa penggunanya ? Dan mengapa ?

..............................................................


Sempat terlintas di pikiranku, bagaimana kalau ternyata selama ini kita adalah pengguna puisi iseng tersebut, teman ?

Kita memang tidak lagi menyanyikannya, karena kita tahu cara yang lebih efektif untuk menyatakan : "INILAH AKU". Namun dengan cara yang lain, kita menyanyikannya juga.

Kitalah yang suka 'menambal-sulam tikar koyak dengan kue ketan", bukannya mengganti dengan tikar baru.

Kitalah yang memberi makan 'anjing peliharaan' yang berada di bawah tanggung jawab kita dengan makanan yang bahkan kitapun tak sudi memakannya. (Duh, menganggap orang kecil sebagai anjing saja sudah keterlaluan, apalagi memberinya makanan atau solusi basi ...)

Kita juga 'membuang anjing mati ke sungai' dalam banyak level , baik dalam arti sebenarnya maupun simbolik. Dalam arti sebenarnya, jelas sekali bahwa selama ini sungai memang menjadi tempat sampah kita.  Dalam level yang berbeda, membuang anjing mati ke sungai berarti menyerahkan urusan hukum alam yang satu pada hukum alam yang lain , misalnya kerusakan hutan yang dibiarkan menjadi kerusakan ekologis yang berkepanjangan.

Baiklah, salahkan saja para pemuda imajinerku yang sedang ronda malam itu. Terutama salahkan dulu si pengantin yang membawa jadah itu ...;-)  Merekalah penggagas kebodohan ini. Barangkali saja melanjutkan pola lama untuk menyalahkan generasi masa lalu itu memang menenangkan dan bisa ...euh...menghapus malu.
Persoalannya, di mana mereka yang kita perlukan untuk disalahkan itu sekarang ?

Yah, sayangnya (atau untungnya ?), jalan cerita ini sekarang sepenuhnya di tangan kita, saudara-saudara.

Dulu kita main-main menyanyikannya, tapi sangat serius ketika hati meneriakkan: "INILAH AKU !".

Dulu mereka mungkin pernah memulainya. Tapi kita yang telah menjadikan apa-apa yang tak jelas, bahkan yang salah itu sebagai budaya. Kita tahu bahwa budaya adalah sikap dan tindakan yang dilangsungkan secara kolektif.

Kita paham bahwa budaya atau shared belief  ini -walaupun tak sepenuhnya kita sadari- justru paling lantang menyuarakan: "INILAH KITA".

Sayangnya -lagi-, diri yang kita teriakkan dengan lantang tanpa self-awareness itu tidak akan membuat kita bangga. Karena ketika kita melanjutkan aktivitas 'menambal tikar koyak dengan kue ketan' itu sebagai budaya, artinya kita setuju pada berbagai hal yang dulu berasal dari keisengan yang tak sempat dipikirkan masak-masak itu.

Pada saat yang sama, kita juga setuju bahwa identitas kolektif kita berasal dari sebuah kecelakaan sejarah belaka ...


(diilhami oleh diskusi dengan Prof. Sutiman Bambang Sumitro, suatu hari di Malang, tahun 1998 an)

Pengantin jawa berbusana dodot.
picture source: http://archive.kaskus.us/thread/2229293/40

Senin, 21 Februari 2011

Aji Mumpung ala Anak Gembala

picture source: http://www.funnypics4all.com/pics/2/9/2934.jpg


Sayup-sayup bangun tidur
Tanaman melambai
Begitu hijau dan segar
Seperti pengantin baru

Anak gembala, anak gembala
Tolong panjatkan pohon belimbing itu
Tolong panjatkan meskipun licin
(Jadikan buahnya) Untuk mencuci baju dodotmu

Baju dodotmu sobek di pinggir
Jahitlah, benahilah
Supaya bisa dipakai 'sebo' nanti sore

Mumpung terang bulannya
Mumpung luang waktumu

Mari bersorak, mari bergembira

(terjemahan bebas tembang dolanan Lir-Ilir)
___________________________________


Teman, jika engkau pernah menjalani masa kanak-kanak di daerah perkotaan Jawa sekitar tahun 70 an, jangan-jangan engkau termasuk generasi terakhir yang  pernah mendengar dan menyanyikan tembang tersebut.

Waktu itu televisi masih hitam-putih. Tak ada iklan, tapi kekayaan lokal -termasuk lagu-lagu daerah- mengalun hampir setiap sore.  Pak Toni, guru kesenian kami saat itu memaksa kami untuk memperbarui lagu-lagu daerah. Dan kami terpaksa senang, karena perlombaan demi perlombaan yang kami ikuti membuat kami boleh membolos beberapa jam pelajaran sehari. Apalagi ditambah kesempatan berkostum cantik dan tampil di panggung yang sama dengan penyanyi beneran... Wah, dipaksa sering-sering pun tak apa, Pak !

Tahun-tahun itu, ijo royo-royo masih melambai dimana-mana. Jadi meskipun televisi mulai berwarna-warni, ijo royo-royonya lapangan terbuka  dan sorak-sorai bersama teman-teman masih amat mempesona. Memang bukan Lir-ilir lagi yang kami nyanyikan (kecuali di panggung perlombaan folk song), tapi Lir-ilir di televisi yang sayup-sayup terdengar selagi mandi sore masih bisa menggoyang dan menggerakkan irama internal kami.

Kini, entah kemana sekarang ijo royo-royo itu. Ia sudah digantikan oleh mall dan pertokoan yang beku. Lambaian ijo royo-royo yang merayakan kemenangan dan kesejahteraan 'burung-burung kecil' itu telah diambil alih oleh lambaian industri milik 'burung-burung besar' yang mengundang kita untuk memasuki sebuah 'ruang tertutup'. Yang disebut mainan itu kini adalah boneka buatan pabrik, mobil-mobilan, robot; bukan lagi ruang terbuka, batu kerikil, biji buah sawo, kain sarung, dan susunan kursi yang dijadikan kereta api. Yah, derap industri memang telah berjasa memudahkan semua urusan kita. Serahkan saja semua hiburan dan agenda pengasuhan itu pada barang-barang pabrik, jadi para orangtua bisa asyik dengan mainan mereka sendiri ...  (Kita terpaksa harus begitu bukan? Kalau tidak, mereka akan mengatai kita ketinggalan jaman ...;-))

Mereka bilang, rumput tetangga lebih hijau dari rumput halaman sendiri.
Tapi ternyata masih ada yang dianggap lebih hijau daripada tanaman dan berbagai irama alaminya itu. Sekarang, irama ekonomilah yang lebih ijo royo-royo di mata kita semua. Dan tragedi ini biasa terjadi, dimana irama alami yang tak berpihak itu selalu kalah oleh irama ekonomi yang memihak kepentingan segelintir orang. Anak-anak adalah korban yang paling rentan. Ketika anak-anak masa lalu merayakan padhang mbulan dan menyoraki datangnya pagi, anak-anak sekarang (termasuk orangtuanya..;-)) membiarkan irama hidup mereka dikendalikan oleh produk baru, game, Blackberry, dan segudang ... pe-er.

Tentu saja tidak semua hal tentang ritme ekonomi ini berdampak buruk. National Geographic mengisahkan tentang sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa anak-anak sekarang bisa mengingat 4000 logo yang dipaparkan lewat iklan dan televisi. Bukan main ! Mereka tahu logo Starbuck, Mc.D, barang-barang elektronik, juga tahu wajah-wajah selebriti (maksudnya para aktor dan pelawak). Kekurangan mereka tentu ada, yaitu... tak mampu menyebut 10 spesies tumbuhan yang ada di sekeliling rumah mereka.

Tapi 10 versus 4000 itu cuma kekurangan kecil bukan ?
Euh ... (menghibur diri ;-))

..........

Anak gembala, anak gembala
Tolong panjatkan pohon belimbing itu
Tolong panjatkan meskipun licin
(Jadikan buahnya) Untuk mencuci baju dodotmu

..........

Teman, jangan-jangan kitalah pewaris terakhir tembang ini.
Kitalah anak gembala, cah angon yang sedang digugah oleh Sunan Kalijaga, sang pencipta tembang ini.
Kita diminta memanjat sebuah pohon yang buahnya berbentuk bintang dengan lima sudut (whatever that means, it's your decision ! ;-)).
Kita didorong untuk berani dan tak menyerah, sekalipun pohonnya licin. Siapa tahu buah pendakian itu bisa digunakan untuk meluruskan ego dan melepaskan keterikatan kita pada irama palsu yang disimbolkan sebagai baju dodot, baju kebesaran ala bangsawan itu.
Lalu, dengan baju dodot yang telah diperbarui, kita bersiap untuk 'sebo', duduk bersimpuh untuk menerima ajaran kearifan. Atau bahkan menghadap Sang Raja.

Dasarnya cuma aji mumpung.
Mumpung masih terang bulan sang penyembuh itu.
Mumpung kita masih bangun, masih bisa merayakan, mengisi dan mempertahankan kemenangan.

..........

Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar

Bocah angon, bocah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro

Dodot iro, dodot iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono, rumatono
Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak'o surak hiyo




Ingin menyimak penafsiran tembang Ilir-Ilir yang lebih 'meriah' ?
Lihat : http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=395
juga http://www.youtube.com/watch?v=sgaYV77hK00