Tampilkan postingan dengan label sutiman bambang sumitro. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sutiman bambang sumitro. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Mei 2011

Menambal Tikar dengan Kue Ketan


É ... mantèné teko ,  é ... bèbèrno kloso
É ... klosoné bedhah , é ... tambalen jadah
É ... jadhahé mambu,  é ... pakakno asu
É ... asuné mati, é ... buwak nang kali
É ... kaliné banjir , é ... buwak ning pinggir
....................................

(Pengantinnya datang, hamparkan tikar
Tikarnya koyak, tambal saja dengan kue ketan
Kue ketannya basi, berikan saja pada anjing
Anjingnya mati, buang saja ke kali
Kalinya banjir, buang saja ke pinggir)
______________________________

Lagu ini (jika boleh dibilang lagu) paling seru kalau dinyanyikan sambil menghentak atau memukul-mukul sesuatu, terutama bangku sekolah ...tentunya ketika guru sedang tidak hadir ;-).

Terbayang dalam kenangan, segerombol anak laki-laki (tentu anak-anak di tahun 70 - 80 an ;-)) menarik perhatian orang dengan mendendangkan lagu tersebut, entah ketika sedang berjalan bareng menuju sebuah tempat, atau bahkan di saat berbaris dan berkostum aneh dalam pawai Tujuh Belas Agustus. Kami anak perempuan biasanya cukup puas dengan ikut meneriakkan ééé nya saja. Seolah lengkingan bersama-sama itu memberikan semacam keberanian ekstra untuk berkata pada dunia: "INILAH KAMI !"

Sesungguhnya aku tidak yakin apakah ini merupakan semacam lagu.
Ini mungkin sejenis 'puisi jalanan' (kalau boleh disebut puisi) yang diciptakan entah oleh siapa.
Ya, pada masa itu hak cipta memang belum dikenal. Tapi sungguh merupakan godaan yang menarik untuk memikirkan siapa yang memulainya.

Kalau imajinasiku boleh berperan di sini, barangkali proses pembuatan puisi tersebut diawali oleh sekelompok pemuda yang sedang ronda malam, dan sedang dilanda keisengan untuk mengusik salah satu di antara mereka yang baru menjadi pengantin.
"É ... mantèné teko ,  é ... bèbèrno kloso", seorang dari mereka memulai.
(Ai... datang juga pengantinnya, ayo kita hamparkan tikar untuknya)

Saat itu suasananya pasti riuh sekali, lebih-lebih sang pengantin yang datang membawakan oleh-oleh jadah (kue ketan) itu tak ingin 'mati langkah'. Jadi si pengantin baru lalu melanjutkan puisi dadakan itu dengan meledek tikar yang dibicarakan, yang lucunya koyak di sana-sini.

"É ... klosoné bedhah", kata si pengantin.
"É... tambalen jadah", balas seorang rekannya sambil memungut sebuah kue ketan.
(Ai ...tikarnya koyak, tambal saja dengan jadah)

Barangkali saat itu mereka cukup bangga dengan irama serasi yang mereka temukan. Jadi pada hari berikutnya, keisengan yang memuaskan itu dilanjutkan, sehingga puisi itu kita kenal lengkap dalam versi yang membawa-bawa anjing mati dan sungai banjir segala.

Yah, sayangnya imajinasiku terpaksa harus berakhir di sini, teman. Selain tak ada kejelasan, susah diteruskan, juga tak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kurasa aku akan berhenti memikirkan siapa penciptanya. Karena ada yang jauh lebih penting untuk diketahui, yaitu ... siapa penggunanya ? Dan mengapa ?

..............................................................


Sempat terlintas di pikiranku, bagaimana kalau ternyata selama ini kita adalah pengguna puisi iseng tersebut, teman ?

Kita memang tidak lagi menyanyikannya, karena kita tahu cara yang lebih efektif untuk menyatakan : "INILAH AKU". Namun dengan cara yang lain, kita menyanyikannya juga.

Kitalah yang suka 'menambal-sulam tikar koyak dengan kue ketan", bukannya mengganti dengan tikar baru.

Kitalah yang memberi makan 'anjing peliharaan' yang berada di bawah tanggung jawab kita dengan makanan yang bahkan kitapun tak sudi memakannya. (Duh, menganggap orang kecil sebagai anjing saja sudah keterlaluan, apalagi memberinya makanan atau solusi basi ...)

Kita juga 'membuang anjing mati ke sungai' dalam banyak level , baik dalam arti sebenarnya maupun simbolik. Dalam arti sebenarnya, jelas sekali bahwa selama ini sungai memang menjadi tempat sampah kita.  Dalam level yang berbeda, membuang anjing mati ke sungai berarti menyerahkan urusan hukum alam yang satu pada hukum alam yang lain , misalnya kerusakan hutan yang dibiarkan menjadi kerusakan ekologis yang berkepanjangan.

Baiklah, salahkan saja para pemuda imajinerku yang sedang ronda malam itu. Terutama salahkan dulu si pengantin yang membawa jadah itu ...;-)  Merekalah penggagas kebodohan ini. Barangkali saja melanjutkan pola lama untuk menyalahkan generasi masa lalu itu memang menenangkan dan bisa ...euh...menghapus malu.
Persoalannya, di mana mereka yang kita perlukan untuk disalahkan itu sekarang ?

Yah, sayangnya (atau untungnya ?), jalan cerita ini sekarang sepenuhnya di tangan kita, saudara-saudara.

Dulu kita main-main menyanyikannya, tapi sangat serius ketika hati meneriakkan: "INILAH AKU !".

Dulu mereka mungkin pernah memulainya. Tapi kita yang telah menjadikan apa-apa yang tak jelas, bahkan yang salah itu sebagai budaya. Kita tahu bahwa budaya adalah sikap dan tindakan yang dilangsungkan secara kolektif.

Kita paham bahwa budaya atau shared belief  ini -walaupun tak sepenuhnya kita sadari- justru paling lantang menyuarakan: "INILAH KITA".

Sayangnya -lagi-, diri yang kita teriakkan dengan lantang tanpa self-awareness itu tidak akan membuat kita bangga. Karena ketika kita melanjutkan aktivitas 'menambal tikar koyak dengan kue ketan' itu sebagai budaya, artinya kita setuju pada berbagai hal yang dulu berasal dari keisengan yang tak sempat dipikirkan masak-masak itu.

Pada saat yang sama, kita juga setuju bahwa identitas kolektif kita berasal dari sebuah kecelakaan sejarah belaka ...


(diilhami oleh diskusi dengan Prof. Sutiman Bambang Sumitro, suatu hari di Malang, tahun 1998 an)

Pengantin jawa berbusana dodot.
picture source: http://archive.kaskus.us/thread/2229293/40

Selasa, 16 Juni 2009

Kamu Babi !


Babi adalah hewan kontroversial : dianggap haram dan menjijikkan, namun juga ... dimakan.

Orang tidak tersinggung disebut 'macan', bahkan juga 'ular'. Tapi menyebut seseorang sebagai babi adalah penghinaan yang tak termaafkan. Babi itu paduan antara bodoh dan kotor, padahal kotoran babi adalah pupuk kandang terbaik di antara semua hewan ternak, demikian kata Ir. Buya*)   ;-).

Sekarang babi kena wabah flu. Kerugian sudah pasti ditanggung oleh semua penggemar babi. Tapi bagaimana dengan para antibabi?

"Babi, juga anjing, adalah penyerap polutan terbaik", kata Dr. Gretha Zahar seminggu lalu.
"Tubuh babi mengandung magnifikasi logam", kata Prof. Sutiman Bambang Sumitro 10 tahun lalu.
"Babi adalah decomposer yang hebat, karena dia mengubah semua polutan dan logam dalam tubuhnya menjadi pupuk yang sangat hebat", pikir saya setelah memadukan pikiran orang-orang hebat itu.

Orang Jawa kuno pasti tahu tentang peran babi sebagai decomposer ini, karena mereka menyebut babi dalam kromo inggil sebagai 'tiyang handapan' atau mahluk rendahan. Rendah itu karena tugasnya melakukan penguraian material kompleks menjadi bentuk-bentuk sederhana, persis seperti pekerjaan para pemulung. Tapi apakah rendah kalau tugas tersebut memungkinkan siklus Bumi berlangsung, sehingga setiap material selalu bisa diserap dengan baik dan dimanfaatkan kembali oleh Bumi?

Babi sedang kena wabah flu, apa artinya?
Artinya, sebagai decomposer, ia merupakan indikator tentang kesehatan Alam yang bekerja di area daratan. Sebelumnya burung yang kena pilek; mereka juga indikator kesehatan Alam, namun dinasnya di wilayah atmosfer. Pesan-pesan sudah jelas: badan (baca: Bumi) sudah demam dan meriang, ingus sudah mengucur.... Jika semua indikator tidak digubris, kita tunggu saja berapa lama tubuh Bumi bisa bertahan untuk tidak menggigil hebat dan muntah-muntah.


(Bukankah hebat Tuhan kita itu? Menyebutnya haram, membuat kita terkecoh dan menghina si bagong sebagai najis dan tak berharga. Padahal mana mungkin Tuhan lupa atau salah?
Bersama semut, kelabang, kecoa, cacing dan sebagainya, babi dan 'teman-teman kotornya' itu bahu-membahu membersihkan Bumi. Babi memang haram dimakan, tapi mestinya tidak haram jika dimanfaatkan untuk kepentingan lain secara kreatif.

"Jika ada yang menyebutmu babi, ingatlah... mungkin artinya "Kamu mulia", kata Bambang, teman saya. Saya jadi berkhayal, sebagai penyerap polutan yang baik, mungkin saja di masa yang tidak terlalu jauh, orang akan memelihara seekor babi di halaman pojok belakang rumahnya sebagai bagian dari upaya memelihara kesehatan...)


*) Ir Buya : my hubby ...


Miss Piggy Mugshot
picture source: http://www.freakingnews.com/Miss-Piggy-Mugshot-Pictures-48534.asp


picture source: http://www.funnypics4all.com/pics/1/2/1283.jpg

Kamis, 21 Mei 2009

Gretha Zahar, ‘Penyihir’ yang Menghubungkan Masa Lalu dan Masa Depan

Gunakan pengamatan berskala seluler terhadap mekanisme tubuh Anda, Anda akan melihat organ, jaringan, protein, sel dan sebagainya. Gunakan pengamatan berskala atomik, Anda akan menemukan bahwa di balik organ, jaringan dan sel itu terdapat atom karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, dan sebagainya. Selanjutnya gunakan pengamatan berskala sub-atomik, skala yang jauh lebih kecil daripada atomik. Apa yang akan Anda temukan? Ternyata di balik atom-atom penyusun tubuh Anda itu terdapat interplay yang tak putus di antara proton, netron dan elektron. Anda berada dalam ranah yang banyak dibicarakan oleh fisika modern, nuclear science, bahkan nanobiology. Demikian pelajaran yang saya peroleh dari Gretha Zahar, seorang pakar nuclear science yang mengelola klinik di beberapa kota dan Lembaga Peluruhan Radikal Bebas di Malang.

Tidak mudah memahami penjelasan bu Gretha. Fisika modern, kimia nuklir, ditambah dengan nanoteknologi, ketika disatukan dalam uraian, menjadi menu yang lumayan berat untuk dicerna. Namun ternyata dalam praktek semuanya sangat sederhana. Obat segala penyakit itu ternyata ada di dapur kita sendiri: ada telur, kopi, garam, bawang, air kelapa, fermipan … Hanya satu obat yang tidak biasa: rokok! Rokok terapi ini diramu secara khusus, asapnya ditiupkan ke lubang telinga, hidung, dan mulut pasien melalui sebuah pipa. Pasien dibaringkan di atas papan tembaga, dibalur dengan 7 macam ramuan, sementara terapi asap dilakukan di sela-sela proses tersebut. Sungguh aneh melihat sebuah penemuan canggih dipraktekkan dengan begitu mudah dan sederhana, sesederhana pengobatan ala kampung jaman baheula.

“Alam sudah menyediakan semuanya”, kata Profesor Dr. Sutiman Bambang Sumitro, seorang pakar biologi sel dari Universitas Brawijaya Malang yang menjadi mitra kerja bu Gretha. “Orang cenderung mempercayai peralatan canggih, padahal peralatan itu bisa jadi digunakan untuk menutupi konsep yang tidak canggih. Sedangkan Alam selama ini bekerja berdasarkan konsep yang canggih. Telur, garam, bawang, kopi, tembakau dan sebagainya itu adalah hal-hal biasa yang ternyata merupakan peluruh radikal bebas yang luar biasa”, tambahnya.

Mengapa telur mentah?
“Karena telur mentah merupakan protein hidup. Telur mentah itu internally driven. Putihnya menangkap radikal bebas dalam tubuh kita, termasuk merkuri yang juga internally driven. Sedangkan merah telur mengandung bahan stem cell“, kata bu Gretha. “Tidak perlu takut pada bakteri salmonela atau virus yang mungkin ada pada telur mentah”, kata bu Gretha seolah membaca pikiran saya. “Karena dalam kopi ada karbon yang berfungsi seperti norit yang melumpuhkan racun.”

Tidak perlu takut pada bakteri dan virus?
Sungguh menyenangkan membayangkan dunia yang sedang disiapkan oleh bu Gretha dan kawan-kawan ini ! “Bakteri dan virus, semua itu hanyalah protein hidup yang mengalami mutagenik. Mereka menamainya bakteri, jika ukurannya 10 pangkat minus 5. Tapi ketika ukurannya nano, mereka menamainya virus”, kata bu Gretha sambil mempermainkan rokoknya. “Yang lebih penting untuk diselidiki adalah penyebab mutagenik protein tersebut, yaitu radikal bebas, terutama merkuri. Merkuri mempunyai 13 macam panjang gelombang yang bisa digunakan untuk mengacaukan dan menyesatkan codon dalam pembentukan protein (codon adalah kode genetik yang menentukan sintesa protein, penulis). Merkuri dalam tubuh akan menarik lebih banyak merkuri. Hebatnya, merkuri punya energi dinamika yang cukup besar untuk membantunya melakukan transisi elektron, sebuah cara baginya untuk ‘menyamar’ menjadi partikel lain”, katanya sambil meluruskan kakinya di lantai.

Sekarang menjadi jelas mengapa selama ini berbagai penelitian belum bisa ‘menangkap basah’ merkuri dan perilakunya di tubuh kita. “Merkuri hanya perlu tambahan 1 elektron untuk menjadi logam berat seperti thalium, atau 2 ekstra elektron untuk menjadi timbal. Padahal elektron-elektron itu tersedia dalam jumlah besar di Alam sebagai akibat dari melimpahnya jumlah radikal bebas “, tambahnya lagi.

“Jadi penyembuhan segala macam penyakit pada dasarnya hanyalah memperbaiki kemampuan tubuh dalam mengendalikan polutan. Detoksifikasi adalah yang paling relevan. Jika kita tahu caranya, tak ada penyakit yang perlu ditakuti, termasuk flu burung, flu babi dan sebagainya”, kata bu Gretha. Ia lalu memamerkan foto-foto klinis dan eksperimennya yang sangat menakjubkan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Kanker dan autisme merupakan persoalan sederhana di matanya, apalagi penyakit stroke, jantung dan sebagainya. Bu Gretha dan klinik-kliniknya telah membantu ratusan orang yang sudah tidak bisa ditangani oleh rumah sakit. Namun gaya hidupnya sangat bersahaja. Tempat duduk favoritnya adalah lantai, kosmetiknya hanyalah ramuan yang terbuat dari putih telur dan air kelapa. Tanda-tanda kemewahan ‘hanya’ terlihat pada matanya yang selalu polos namun energik, tubuh yang elastis, berotot, bugar, serta kulit wajah yang bersih. Tidurnya sedikit, namun ia masih mampu push-up 25 kali dan berenang 90 menit tanpa jeda di usianya yang menjelang 70. (Kami sering menggodanya dengan sebutan ‘nenek-nenek aneh’, karena bukannya membekali diri dengan minyak angin dan syal penghangat seperti nenek pada umumnya, ia malah membawa rokok dan berbagai ramuan kemana-mana untuk mengurus siapapun yang dijumpainya di jalan dan sedang bermasalah ! :-)

Restless and fearless, itulah yang saya lihat pada bu Gretha. Dalam pencariannya yang tak kenal menyerah, ia sempat mengalami berbagai hinaan dan pengusiran oleh ilmuwan-ilmuwan lain. Namun dengan gigih ia terus berjuang, salah satunya dengan mencoba membuktikan hipotesanya lewat pengabdian di sebuah rumah sakit swasta dan beberapa panti asuhan. Dukungan dari kalangan universitas dan dari kalangan medis akhirnya mengalir. Tapi ia belum puas juga. “Alam sedang sedih karena banyak dimanipulasi oleh manusia”, katanya suatu hari, dengan nada sedih yang tak berhasil disembunyikan. “Kita mengambil terlalu banyak dari Alam, ini menyulitkan Alam dalam melakukan recycling terhadap beratus-ratus ton radikal bebas yang berkeliaran di sekitar kita. Sementara itu hutan dan lautan yang menjadi mesin pendaur-ulang utama itu mengalami kerusakan yang amat parah,” katanya lagi. Pak Sutiman lalu menambahkan: ”Alam sekarang mengalami kesulitan dalam melakukan siklus berbagai material. Manusia sebagai bagian dari Alam pun mengalaminya.” Lalu, setelah menyalakan rokok yang entah ke sekian, pak Sutiman -yang sebelumnya sama sekali bukan perokok itu- melanjutkan: ”Kerusakan Alam kini menempatkan manusia pada posisi degeneratif, artinya manusia menghadapi ancaman kegagalan dalam menjalankan kemampuan normal. Itu sebabnya penyakit manusia bergeser ke arah difficult diseases.

Tapi bu Gretha tidak pernah membiarkan dirinya sedih berlama-lama. Intuisinya yang liar dan tajam membuatnya segera sibuk memikirkan gagasan-gagasan baru. Alur pikirannya melompat-lompat dengan lincah, tak banyak orang yang memiliki kemampuan untuk mengimbanginya. Ketika pak Sutiman pada suatu kesempatan resmi menguraikan pemikiran bu Gretha dalam bahasa yang lebih runut, bu Gretha tercengang-cengang sendiri: “Benarkah itu hasil pemikiranku? Aku tidak mengira akan seindah itu…”, katanya dengan ekspresi yang lucu.

Keindahan itu juga terlihat dalam proses pengobatan ala bu Gretha. Sebelumnya, dalam sebuah eksperimen, bu Gretha mencoba melepaskan radikal bebas dari sebuah protein buatan. Radikal bebas itu baru terlepas sesudah dihantam dengan beban sebesar … 8 ton ! Namun ketika protein yang mengandung radikal bebas itu ditepuknya dengan ‘mengaktifkan rasa kasih-sayang’, radikal bebas itupun terlepas. Artinya, beban 8 ton itu kurang lebih setara dengan tepukan penuh kasih-sayang ! Itu sebabnya pelayanan penuh kasih-sayang menjadi bagian yang paling penting dalam terapi yang dikembangkannya. Itu sebabnya pula, di papan tembaga, pasien anak-anak dibaringkan di atas tubuh ayah atau ibunya, agar terjadi ikatan batin yang lebih dalam di antara keduanya. Ikatan kasih-sayang ini sangat berguna untuk mendorong kesembuhan. Dalam klinik-klinik asuhan bu Gretha dan kawan-kawan selalu ditekankan pentingnya partisipasi keluarga dalam proses penyembuhan. Kesembuhan seorang pasien dipengaruhi oleh kesehatan anggota keluarganya. “Bahkan menyehatkan diri sendiri itu sama dengan menyehatkan lingkungan”, demikian kata pak Sutiman.

Keindahan yang lain juga diperlihatkan di akhir terapi. Berbagai ramuan yang sudah dibalurkan ke tubuh pasien itu ditampung, sebagian dibiarkan tersisa di papan tembaga, sebagian diteteskan pada cawan petri. Hasilnya sungguh menakjubkan! Hanya beberapa menit dijemur di bawah matahari, kita akan segera melihat kristal yang bisa mengisahkan ’siapa kita’. Jika Anda sehat, pada papan tembaga maupun cawan petri itu akan terlihat lukisan kristal yang penuh, simetris, fraktal, dan memiliki pola yang sangat indah. “Tubuh manusia itu merupakan pabrik nano material yang paling hebat. Ketika cairan nano dari tubuh kita memperlihatkan keteraturan dan keindahan, itu menunjukkan bahwa tubuh kita memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan keteraturan dan harmoni”, demikian pak Sutiman menjelaskan sambil mengepulkan asap rokoknya.

Dua tahun terakhir ini, rokok merupakan bagian yang sangat penting dalam klinik binaan bu Gretha dan kawan-kawan -yang sebelumnya tidak satupun yang perokok. Rokok yang dinamai Divine Kretek itu mengandung asam amino, diproses sedemikian rupa sehingga bebas dari radikal bebas, dan menghasilkan partikel yang berukuran jauh lebih kecil. “Dengan terapi asap, radikal bebas yang keluar dari tubuh akan berukuran kecil, sehingga pasien tidak perlu mengalami siksaan seperti luka-luka yang besar dan basah atau aroma tubuh yang sangat mengganggu”, kata bu Gretha. Proses penyembuhan menjadi jauh lebih cepat, bahkan selama proses pengobatan pasien bisa tetap menjalani kehidupan normal tanpa diet khusus, asalkan ia bersedia secara teratur ….. merokok!

Sungguh sebuah paradoks yang mengesankan. Limbah ramuan balur bisa menjadi kristal yang bercerita, dan rokok yang sekarang sedang dihujat telah dimuliakan menjadi obat! “Tidak ada yang baru pada tembakau dan nikotin. Ratusan tahun yang lalu, bangsa Indian telah menggunakannya sebagai obat; mereka bahkan menamai tembakau sebagai tanaman dewa. Nikotin juga telah lama diteliti dan diakui mengandung banyak manfaat, bahkan ia dijuluki ‘gold nicotine’. Unsur kimianya yang berjumlah 11000 macam itu membuatnya sangat istimewa. Jika dilihat secara parsial, unsur-unsur kimia itu memperlihatkan ‘kejahatan’nya. Tapi jika partikel-partikel tersebut dilihat secara utuh, rokok memperlihatkan adanya potensi untuk menyelenggarakan keteraturan dan harmoni. Rokok tidak membahayakan generasi terdahulu, juga tidak generasi sekarang. Yang berbahaya itu radikal bebasnya, dan radikal bebas ada dimana-mana”, jelas pak Sutiman panjang lebar. Bu Gretha lalu menimpali: “Dengan menggunakan cetakan nano pada filter, densitas elektron meningkat, sehingga kandungan merkuri pada tembakau akan siap melepaskan elektron. Dan ketika merkuri kehilangan 1 elektron, ia bukan lagi merkuri. Ia merupakan partikel emas atau aurum, tepatnya artificial aurum.” Saya jadi ingat sebuah artikel tentang partikel aurum. Dalam ukuran nano, ia sudah lama dikenal sebagai nanomaterial yang efektif membunuh sel kanker tanpa merusak sel lainnya.

Bu Gretha lalu menunjukkan selembar kertas yang ia katakan sebagai ‘penemuan yang sangat mengagumkan’, yaitu tabel periodik kimia, tabel ciptaan Mendeleyev yang pernah kita pelajari di SMA. Ia menjelaskan, bahwa merkuri dengan nomor atom 80 bisa dengan mudah ‘menyamar’ menjadi thalium dan timbal hanya dengan tambahan 1-2 elektron. Merkuri juga bisa berubah menjadi artificial aurum atau emas -yang bernomor atom 79- hanya dengan mendonasikan elektronnya … Pernyataan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pembuktian. Bersama teman-teman, saya menguji pengaruh Divine Kretek terhadap aura. Dengan menggunakan aurameter milik bu Gretha, saya dan teman-teman menyaksikan, bahwa terapi asap lambat-laun akan membentuk aura berwarna emas di tubuh kita. “Sungguh terobosan yang hebat”, kata Kang Aas Rukasa, seorang guru senam pernafasan dan meditasi. “Aura emas hanya mungkin diperoleh melalui latihan pernafasan yang intensif yang disertai pengerasan tubuh. Aura emas mencerminkan kematangan di chakra jantung, chakra yang berhubungan dengan kasih sayang, kelenturan, keterbukaan, dan respon seni”, kata Kang Aas. “Aura emas merupakan jembatan tercepat antara tubuh dan pikiran; artinya seseorang dengan aura emas akan memiliki kecerdasan tubuh dalam menerjemahkan dimensi pikiran. Aura emas bukan hanya mencerminkan kesehatan yang prima dan kelenturan tubuh dalam menghadapi gangguan, aura emas ini juga berbicara tentang potensi untuk menyembuhkan orang lain”, demikian ia menambahkan.

Saya jadi teringat kisah-kisah klasik tentang para alkemis yang selalu terobsesi untuk mengubah apapun menjadi emas. Tidak disangka bahwa rahasia alchemy itu tak jauh-jauh dari kita, dan tampaknya tidak terlalu sulit bagi kita untuk mempelajarinya. Siapa tahu kita bisa menjadi the alchemy berikutnya?

Dasar-dasar bagi tumbuhnya future science itu telah disiapkan oleh bu Gretha dan kawan-kawan. Ini adalah sains multidisiplin yang tak hanya yang holistik, tapi juga unik, karena membawa dan mewujudkan mimpi terdalam umat manusia sejak masa klasik. Saya dan teman-teman tidak henti-hentinya kagum melihat seorang ilmuwan yang sekaligus ‘tabib’, seorang yang sesaat berbicara tentang ilmu-ilmu canggih dalam bahasa campuran Indonesia dan Inggris, lalu ia membalur dan meniupi pasien dengan bertelanjang kaki, tanpa sarung tangan dan penutup hidung. Di waktu pagi, senja dan tengah malam, ‘tabib’ ini menyempatkan dirinya membalur diri dengan kopi, ramuan kelapa dan putih telur, atau garam. Di waktu senggangnya ia hanya memerlukan lantai untuk sekedar membaringkan tubuhnya, sambil meniupkan asap Divine Kretek ke dalam telinganya. “Lantai baik untuk kesehatan, karena Bumi menetralisir kelebihan arus listrik yang menyebabkan adanya ritme tidak harmonis di tubuh kita. Garam bagus untuk menangkap radikal bebas yang ada di tubuh kita. Pengobatan terbaik adalah menggunakan tangan telanjang, bukan tangan bersarung, apalagi mesin, karena… tahukah engkau, bahwa tubuh manusia adalah cetakan nano terhebat di dunia?”, begitu katanya sambil tersenyum, seolah membenarkan ritual para tabib tradisional kita yang sudah lama menggunakan garam, telur, tangan telanjang, juga lantai dalam praktek pengobatan mereka. Sungguh sangat sesuai dengan namanya: Gretha artinya mutiara, Zahar itu brightness, revealed, grounded.

“Ibu kok seperti penyihir, ya…”
“Atau seperti Merlin…”
“Atau Nostradamus, Leonardo da Vinci…”
Begitu komentar teman-teman setiap berjumpa dengan ibu Gretha Zahar yang tak habis-habisnya mengherankan kami.