Minggu, 18 Juli 2010

Bod Bod Tung *)


Pagi ini aku berbuat bodoh lagi.
Seorang anak menghentikan lari pagiku, karena ia memainkan dua utas benang dan memutar-mutarnya, padahal ada dua ekor burung kecil di ujung lain benang itu. Burung kecil dengan dada jingga itu adalah penghisap madu bunga kupu-kupu di sepanjang jalan rumahku. Setiap aku melihatnya, aku putuskan saja bahwa aku sudah menemukan satu keberuntungan hari itu. Barangkali aku bodoh karena memutuskan untuk merasa beruntung karena hal-hal kecil. Habis bagaimana? Mereka sudah tersedia, dan rasanya lucu kalau disia-siakan. Keberuntungan yang besar tak usahlah dipikirkan, apalagi dikejar. Malah kadang-kadang burung-burung kecil itu yang membuka mataku, membebaskan sesuatu yang masih keriting di dalam, dan memperlihatkan jalinan kisah yang tadinya terpelintir. Lalu dengan bodohnya aku ge-er: "Wooo, ternyata selama ini aku beruntung besar..."

Ya, barangkali aku memang bodoh. Atau tidak usah pakai barangkalilah, aku akui saja kebodohanku ini. Karena pagi tadi jogingku terhenti sejenak, dan aku menghardik anak kecil yang memutar-mutar burung-burung kesukaanku itu.
"Kamu dapat dari mana burung-burung itu?"
Dia terperangah.
"Tahu nggak, dia bisa mati karena kau putar-putar begitu! Mau kamu diikat sebelah kakimu dan diputar-putar seperti itu?"
Dia lalu berusaha memperbaiki posisi burung malang itu. Dan seorang laki-laki dewasa yang sedang menggendong bayi membantunya dengan agak ketakutan (yes!). Barangkali itu ayahnya, tapi aku sedang tidak peduli. Aku sedang bodoh soalnya.
"Kamu tahu, dia mungkin punya ayah ibu seperti kamu, dia mungkin punya anak yang harus diberi makan seperti kamu", kataku, kali ini dengan nada lebih rendah.
Mulutnya masih menganga.
"Apa kamu juga belum tahu, semua burung-burung ini Allah yang punya?"
Nah nah nah, sudah memuncak ternyata goblokku. Aku sudahi saja omelanku, aku lanjutkan jogingku, namun kali ini diiringi haru-biru (ugh!).

Sempat terpikir untuk membeli saja semua burung yang dijajakan di gerbang kompleks perumahan kami. Ini membuatku merasakan adanya sedikit kemajuan, karena gagasan tersebut tidak terlalu bodoh dibanding gagasan sebelumnya, yaitu ‘mengadopsi semua hewan liar yang dijajakan di pusat kota’ (ugh!). Atau gagasan bodoh untuk menjerat pemburu liar di kebun karet kami; benar-benar menjerat dalam arti yang sebenarnya: pakai lubang jebakan dan tali-temali. Barangkali yang satu ini tergolong BB alias bodoh berat, akibat putus asa karena ide-ide bodohku hanya membuat orang mengangguk-angguk seperti boneka pegas, tak pernah berhasil membawa mereka kemana-mana. Lebih bodoh lagi, ide-ide bodoh ini seringkali mengganggu liburan yang mestinya menyenangkan. Habis bagaimana caranya melupakan seekor burung hijau yang ada dalam genggaman pemburu liar? Bagaimana mungkin kita memergoki mereka, lalu berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa? Bagaimana engkau bisa menjadi penguasa atas sebuah lahan luas, tapi tak bisa melindungi mereka?
(Ah, penguasa apa. Kita ini cuma tamu yang berhutang di sini. Tak jelas apakah kita bisa membayar semua jamuan mewah dalam kunjungan ini. Kadang kita dititipi sesuatu yang mungkin bisa dijadikan cicilan hutang tersebut, namun kita juga tak pernah tahu apakah itu semua sudah sepadan.)

Liburan kami juga agak menggelikan di Ujung Genteng, Sukabumi Selatan. Untuk sejenak, anak-anak kecil itu sempat terlihat seperti ... monster (maaf kalau aku merasa begitu, dik, aku sedang bodoh berat saat itu), karena mereka harus diteriaki supaya tidak menginjak dan menjatuhkan tukik-tukik itu. Kami lebih sibuk mewaspadai tangan dan kaki yang gegabah daripada menikmati perjuangan tukik menuju lautan. Ada para ayah dan ibu di antara mereka, tapi yah... barangkali mereka memang lebih tahu cara bersenang-senang. Kebanyakan orang lebih menyukai foto yang bisa dipamerkan, bukannya pengalaman batin seperti melihat keberanian bayi-bayi penyu dalam menyongsong medan tak terukur di hadapannya, segera sesudah dilahirkan. Sedangkan kami, orang-orang bodoh ini, kami mengaku bahwa kadang-kadang kami bersenang-senang dengan cara aneh. Salah satunya yang sudah kugambarkan tadi, yaitu... meneriaki orang. Atau setidaknya berbisik dengan nada galak seperti ini:
"Cah ayu, kita tamu di sini. Penyu itu sedang bertelur, dan tak ada ibu-ibu manapun yang senang dijadikan tontonan. Dia dua kali umurmu, dan dia melihat dunia yang lebih luas daripada kamu. Jadi sebaiknya rendahkan suaramu."

Barangkali memang lebih enak menjadi orang pintar, karena tidurnya tak akan terganggu oleh hal-hal kecil tadi. Pintar artinya tak perlu membuang-buang waktu untuk memikirkan hal-hal yang mustahil. Ya pasti mustahillah, apa sih gunanya memikirkan nasib seekor dua ekor burung dan tukik-tukik, sementara di banyak tempat, terlalu banyak nasib buruk yang mustahil dihentikan?

Tapi mungkin ini bukan mengenai seekor dua ekor burung dan tukik-tukik. Ini mengenai harkat kemanusiaan kita sendiri. Kepintaran membuat manusia mengubah wajah dunia, sembari mengancam dan memporak-porandakan kehidupan lain. Kepintaran membuat kita menjaga jarak, padahal seberapa jaraknya kita dengan burung-burung kecil itu? Mereka hadir untuk mengendalikan penyebaran tumbuhan, hama, nyamuk, juga menyentuh hati-hati yang peka akan adanya harmoni Ilahiah. Hati yang peka (dan mungkin juga bodoh) tahu, bahwa kita dan burung itu cuma berbeda casingnya, cangkang luarnya. "Dan tidak ada seekor hewanpun yang ada di bumi dan hewan-hewan yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya itu umat juga seperti kamu," (QS, 6:38). Hati yang peka juga tahu, mereka pasti diciptakan dengan keseriusan yang sama dengan ciptaan hebat (ugh!) seperti kita.

Aku ingat, di masa kecilku, ada kicauan burung-burung liar di pepohonan yang kini tak kutemukan lagi. Jadi barangkali burung-burung itu juga akan hilang suatu hari, sekuat apapun kita mencegahnya. Jangan-jangan bukanlah pelestarian mereka itu yang terpenting, demikian pikiran bodohku berargumen. Mereka 'cuma' burung (dan kita 'cuma' bodoh), ditambah lagi ini juga bukan proyek besar (atau terlalu besar dan terlalu mustahil?). Kemanusiaan kitalah yang sesungguhnya perlu diselamatkan dan dilestarikan. Burung-burung dan hewan kecil 'tak penting' lainnya itu hanya melintas sejenak untuk membangunkan kita: "Wahai para orang bodoh, apakah artinya besar kalau tak bermakna? Apakah artinya besar jika itu tidak menyentuh hatimu, lalu menggerakkanmu untuk memperbarui diri dan peduli?"

Ya, jangan-jangan kemanusiaan kita memang sedang terancam punah. Kita tak tahu lagi apa artinya besar dan kecil. Besar tahu-tahu dihubungkan dengan kekuasaan dan kemenangan, kecil entah bagaimana dikaitkan dengan kekalahan. Tapi pagi ini pikiran bodohku melihat, bahwa burung-burung itu patuh pada hukum harmoni terbesar. Dan pikiran bodohku jugalah yang menuntunku untuk menemukan tulisan bodoh di sebuah buku bodoh: "Jika engkau ragu, lakukan perbuatan besar dan bodoh seperti Nabi Nuh melakukannya!"**)

Jadi aku merasa makin bodoh saja. Tak tahu harus bagaimana, kecuali hanya merasa ... ehm... beruntung.


*) Bodoh-Bodoh Beruntung gituloh maksudnya ;-)
**) Kata-kata Rumi, seorang sufi dan penyair.


Tukik umur sehari berjuang sendirian menuju laut lepas yang sama sekali tidak pernah dikenalnya.