Jumat, 14 Januari 2011

Malam Terakhir Bobo


Ada dua kemungkinan mengapa rasa kehilanganmu cukup serius ketika menghadapi kematian hewan piaraan. Pertama, engkau berumur tak lebih dari sekitar 15 tahun. Kedua, namamu ... Tuty Yosenda. (It's me!) 
(Padahal... tahukah kau berapa umurnya?
Ia bahkan lebih tua dari 15 dikalikan tiga...) ;-)

Aku berumur 10 tahun ketika hewan piaraan pertamaku mati. Ada Bobi, seekor anjing tua dan sakit yang memilih pergi diam-diam ke tepi sungai di akhir hidupnya. Disusul Kukuk, seekor ayam kate yang suka dipeluk dan dibawa jalan-jalan. Belajar dari rasa kehilangan itu, aku sempat 'menjaga jarak' dengan hewan-hewan piaraan. Bahkan sebelum tanda-tanda kematian mereka semakin menguat, aku segera menyerahkannya pada Mama.
"Kutitipkan ia padamu, Ma. Terserah Mama bagaimana mengatasinya. Tapi tolong perlakukan ia sebaik-baiknya."

Itulah kenangan yang tiba-tiba muncul malam ini.

Mengapa kenangan itu muncul... sekarang?
Karena malam ini Bobo sedang melalui malam terakhirnya.

Bobo adalah seekor kelinci abu-abu yang suatu hari tiba-tiba hadir di ruang tamuku. Entah darimana ia datang, tapi kami menyambutnya dengan suka cita. Sebelum Bobo, ada Hairball, kucing hitam berbulu tebal yang juga datang entah darimana. Konon ada tetangga yang memelihara berbagai macam hewan, termasuk ular. Mungkin Hairball adalah kucing mereka yang menyelinap keluar, lalu merasa betah selama beberapa minggu di rumah kami. Ketika akhirnya ia tidak muncul lagi, kami selalu berpikir: "Mungkin ia menemukan rumah yang disukainya, atau malah sebuah rumah yang bisa ... mengurungnya." (Hal yang tak mungkin terjadi di rumahku, karena ruang yang terbuka di berbagai penjuru). Ya, sesekali kami merindukan Hairball yang tidak seperti kucing biasa. Ia tahu kapan waktunya mengajak bermain dan bermanja-manja, juga tahu kapan waktunya menjaga jarak... (It's so me!)

Kembali ke Bobo, kelinci abu-abu berhidung putih, dengan 'kaus kaki' yang juga putih itu.
Ia tak puas hanya dengan berkeliaran di halaman rumahku yang luas; ia bahkan merumput di taman tetangga. Dengan cemas kami mengamatinya melintasi sela-sela pagar rumah, takut kepolosannya akan dimanfaatkan oleh para tukang sol sepatu, tukang sayur, kucing liar dan lain-lain. Tapi anehnya, tiap sore kami mendapatinya pulang, berbaring manis di ruang makan, lalu mengejar siapa saja yang mendekat, mengendus jempol kaki kami, melompat ke pangkuan, dan hanya berhenti setelah mendapat upah wortel dan cracker kesukaannya. Esok paginya, ketika semua pintu rumah terbuka, ia berjemur santai di teras depan, bagaikan bapak-bapak yang sedang menunggu kopi dan koran pagi. Hanya pada minggu pertamanya saja ia suka main ke tetangga. Selama 2 bulan berikutnya ia ternyata memutuskan untuk menetap di rumah kami, dimana halamannya amat terbuka dan bisa dia tinggalkan sewaktu-waktu. Sungguh aneh melihat seekor kelinci yang merasa perlu memiliki aura kebebasan semacam itu ... (Just like me!)

Tapi akhirnya kepolosan dan kebebasan Bobo itu pada akhirnya terbukti menarik bahaya. Seekor kucing liar hampir berhasil melarikannya, dua kali pula! Walaupun Bobo selamat, ia sempat berubah menjadi layu dan pemurung. Sejak itu sebagian area kami beri pagar kawat. Kami bahkan memberikan pasangan padanya, seekor kelinci jantan berwarna coklat susu yang dinamai Choco. Sayangnya mereka gagal menjadi pasangan romantis, karena Bobo ternyata ..... jantan juga! Untungnya Bobo bisa bergembira setelah ada Choco. Mereka tidur dengan saling menyandarkan badan, saling mengenduskan mulut, dan berbagi wortel yang sama. Sungguh kelinci-kelinci yang menggemaskan. Mana ada kelinci yang lebih tergoda untuk masuk ke dalam rumah daripada bermain di halaman berumput?

Ya, kami memang mampu menjaga mereka dari incaran kucing liar. Tapi kami tidak dapat melindungi mereka dari penyakit ...

Kini Bobo sedang sendirian di dalam kardus; dan aku yang tak punya keberanian ini juga sedang sendirian di alam memoriku. Barangkali ini malam terakhirnya, itu sebabnya aku memutuskan untuk mengenang jejak-jejak kecilnya. Aku tidak akan lupa moncong putihnya yang imut, rasa amannya ketika berjemur di teras terbuka, dan tidur siangnya yang nyaman di atas batu di tepi kolam. Beberapa minggu lalu bahkan ada bajuku yang kusebut sebagai 'baju kelinci', yang sebenarnya merupakan baju jogging yang siap dicuci, sehingga tidak masalah jika dikotori lagi oleh seekor kelinci yang ingin dipangku. Entah kemana saja aku belakangan ini, karena ritual kelinci itu sudah lama kulupakan. Kalau saja aku tahu bahwa malam terakhirnya hari ini, barangkali beberapa hari ini aku akan membuat prioritas yang berbeda.

Bobo, engkau memang hanya seekor kelinci. Tapi engkau sendiri yang memilih datang kepada kami, dan membawa 'kehangatan lintas spesies' yang tak akan kulupakan. Engkau juga mengingatkanku tentang betapa singkatnya kehadiran kita di dunia ini. Kini engkau membuatku berbisik kepada Tuhan, sebagaimana aku dulu berbisik pada Mama setiap kali hewan kesayanganku menghadapi kematian.
"Kutitipkan ia kepadaMu, Tuhan. Terserah bagaimana Engkau melakukannya, tapi tolong perlakukan ia sebaik-baiknya."

Bobo, engkau telah membawa kenanganku kemana-mana, bahkan pada mendiang Mama.
Menjelang kepergiannya, di tengah perasaan tak berdaya itu aku hanya bisa berbisik di dalam hati:
"Mama, aku tidak akan pernah bisa membayar kebaikanmu. Aku hanya bisa berjanji: All my life, I will do anything in the best possible way".

Dan hanya beberapa saat lalu, ketika perasaan kehilangan dan helpless yang khas itu muncul lagi, kembali aku diingatkan betapa mustahilnya kita sembunyi dan lari, kecuali kepada Dia yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi dan mengambil kembali ...

"Ya Allah, demi Bobo yang kehadirannya membawa kegembiraan pada kami,
demi Bobo yang kuharap mendapatkan penjagaanMu...
I will live, work, play, speak...
and I will do all those thing in the best possible way..."

Baiklah Bobo, mungkin ini malam terakhirmu.
Tapi jejak kecilmu itu telah kuabadikan sebagai janji kepadaNya, dan akan kuupayakan sebaik-baiknya sepanjang hidupku.

Bobo, Choco dan Kaka