Minggu, 08 Agustus 2010

Keluarkan Doktermu !


Bulan puasa sebentar lagi, entah untuk yang ke sekian puluh kalinya dalam hidup kita. 
Di akhir Ramadhan biasanya ada yang berkurang dan bertambah, sayangnya yang berkurang biasanya cuma berat badan (itupun sementara), dan yang bertambah juga cuma ... belanjaan. Padahal ritual puasa sebulan sering menaikkan alis bule-bule yang kukenal: "Wow, a whole month for collective training again? You people must be very very self-determined!"

"Bulan puasa sebentar lagi, dan sebaiknya engkau punya rencana", begitu 'dokter' dalam diriku berkata. Maka kuundang 'burung-burung kecilku' ke kamarku, dan kukatakan pada mereka tentang pentingnya menjadi diri yang berbeda di akhir puasa.

Dinda: "Apakah rencana ini merupakan harga yang harus kami bayar karena kami baru mendapat komputer baru?"
Dimas: "Apakah menurut Bunda adanya komputer baru membuat kami tidak produktif?"
Aku: "No, I'm just doing my job. I'm parenting. Memangnya berapa kali Bunda parenting tahun ini?"
Dimas: "Seingatku sih baru sekali"
(Baguslah. Parenting yang baik kukira tidak perlu terlihat sebagai parenting. Malah parenting lewat bodor-bodoran seringkali lebih sampai pesannya.)

Lalu aku cerita tentang perlunya membongkar dan membangun ulang, menyingkirkan yang tidak relevan dan menguatkan yang kita perlukan. Dan yang kumaksud akan dibongkar dan dibangun ulang itu bukan rak buku atau taman, melainkan ... kebiasaan.

Tak perlu mandi atau sarapan dulu untuk melakukannya. Pagi-pagi, dalam suasana ringan, aku minta anak-anakku menyusun daftar sepuluh kebiasaan yang merepotkan, karena 'mudah dimulai dan susah dihentikan'.
Lucunya, Dimas tidak menemukan satupun.
"Ada banyak hal yang memang mudah kumulai, misalnya main game. Tapi rasanya gak ada tuh yang sulit dihentikan!", katanya.
"Tapi kamu tidak pernah lepas dari komputer", kataku sambil mengenang betapa dia sudah menjadi pengguna aktif komputer sejak balita.
"Iya Bun. Dimas memang begitu. Kalau kita minta dia memberikan sesuatu yang membuatnya asyik, dia selalu menyerahkannya segera dan tanpa beban...", kata Dinda.
(Bagus sekali! Wow, darimana datangnya sifat seperti itu? Rasanya aku sama sekali tidak begitu.)

Dalam daftar Kaka ada hape, fesbuk, bermalas-malasan, main dengan teman, dan nonton televisi tanpa rencana.
Aku: "Kaka, kamu pasiennya, kamu juga dokternya. Coba sekarang keluarkan doktermu dan katakan sesuatu pada pasienmu."
Dokter Kaka: "Kaka, maneh teh goblog pisan jadi jalmi!" (Kaka, kamu tuh goblok banget jadi orang!)
Aku: "Halah, coba dokter Dinda dan dokter Dimas angkat suara. Katakan sesuatu pada pasiennya Kaka."

Dokter Dinda: "Kalau soal fesbuk, hentikan dululah sementara. Buat apa berinteraksi dengan orang yang sama tapi pakai semua media? Cukup pakai hape saja dulu. Kalau kamu sudah tahu rasanya berhenti sebentar, kamu akan lebih bisa mengendalikan kalau nanti memutuskan balik lagi. Itu pengalamanku."

Dokter Dimas: "Tentang bermalas-malasan, aku juga begitu kok. Kita memang suka perlu warming-up sebentar. Tapi kalau Kaka warming-upnya lamaaa banget, nanti tahu-tahu waktu dia untuk ngerjain tugas udah mepet."

"Kalau tentang teman, apa susahnya bilang 'maaf, aku sedang tidak ingin main'? Teman-temanku tahu aku orang macam apa, mereka tidak akan mengajakku ke mall atau ke tempat game. Tapi kalau bikin proyek presentasi, bikin video atau main kubik, pasti ke aku datangnya," kata dokter Dimas lagi.

Dokter Dinda: "Iya, Ka. Teman-teman kamu tuh posesif. Kalau teman udah sehati mah gak ada rasa takut ngecewain, apalagi ditinggalin."

Seperti biasa, Kaka hanya tersenyum-senyum mendapat kritik dari adik-adiknya.
(Baguslah. Menjadi kakak yang bodor dan berperan bloon memang keahliannya. Aku seringkali tidak tahu, apakah sikap bloonnya itu asli atau sedang role-playing, sebab dia juga suka teater seperti ... ibunya.)

Selesai membahas kebiasaan buruk masing-masing sambil mendengar macam-macam opini dokter, berikutnya adalah sesi membangun kebiasaan produktif.
"Apakah yang sulit dimulai, tapi terlalu mudah dihentikan oleh alasan-alasan sepele?", tanyaku.
Rata-rata menyebutkan kesulitan menyangkut belajar teratur di rumah, sholat tepat waktu, dan olah raga. Mandi sukarela, membereskan kamar sukarela, tidur secara terencana (maksudnya tidak tergeletak dan tertidur di mana-mana), bahkan menyiapkan susu untuk diri-sendiri adalah hal-hal kecil yang masih dianggap sulit.

Aku: "Kaka, katakan pada pasienmu tentang sholat tepat waktu."
Dokter Kaka : "Woi, Kaka, sadar atuh"
Aku: "Apakah pasienmu bisa menerima pesan seperti itu?"
Dokter Kaka: "Enggak sih..."
Aku: "Kenapa?"
Dokter Kaka: "Dia bosan dinasihati terus."
Aku: "Bagaimana perasaan dokternya?"
Dokter Kaka: "Dia juga bosan karena gak didengerin.":-)
Aku: "Jadi gimana dong?"
Kaka: "Gatauuu."
Aku: "Ya udah. Gimana kalau mulai bulan puasa ini si dokter dan si pasien memperbarui hubungan? Belajar jadi teman aja, dekatkan jarak satu sama lain."

Selanjutnya aku gunakan kesempatan ini untuk menyampaikan pentingnya merencanakan alokasi waktu. Hidup adalah masa audisi untuk kepentingan placement di masa depan, dan yang kita miliki hanyalah durasi, bukan waktu. Jadi sehari dengan lima waktu sholat bagaikan seumur hidup dengan lima babak kehidupan.

Lima babak?
Sebentar, garis besar audisi biasanya hanya terdiri dari tiga bagian, yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Jika ada lima pembagian waktu, barangkali ada dua babak ekstra bagi kita untuk melakukan koreksi dan penyesuaian, entah berupa 'babak pendahuluan edisi revisi' atau 'babak isi versi diperbarui'.
Tentu saja kita tak bisa apa-apa terhadap babak penutup, ia tak mungkin direvisi dan diperbarui secara langsung (kecuali oleh mereka yang beruntung ... bangkit dari kuburnya ;-( )
Yang penting, ketika kita merevisi dan memperbarui babak-babak awal, sebenarnya revisi dan pembaruan itu akan meliputi babak penutupnya juga.

Kembali ke rapat persiapan bongkar-pasang .....
Aku: "Apa alasanmu memasukkan olah raga di catatanmu Dinda? Bukan karena ingin menyenangkan Bunda kan?"
Dinda: "Bukan. Karena aku tahu aku sering merasa lemah. Dan aku tahu kalau sedang bugar, aku lebih optimis dan lebih semangat. Cuma masih belum tahu bagaimana menyemangati diri untuk memulainya."

Aku: "Yah, kita memang mahluk aneh. Kita tahu olah raga itu penting, juga sholat. Lucunya, kita musti nyolong-nyolong waktu untuk melakukannya. Pertanyaannya, bagaimana sih cara menyemangati diri? Apa kata dokter Dimas?
Dimas: "Olah ragaku cukup di sekolah. Apalagi aku juga pendaki gunung. Kalau di rumah... kan Buya suka ngajak pingpong atau naik sepeda?"

Aku: "Hmm, jadi kamu cukup mengandalkan Buya untuk membuat langkah pertamanya ya. Sekarang dokter Bunda yang bicara.
Motivasi memang harus selalu diperbarui, apalagi kalau motivasi lama sudah tidak mempan. Misalnya, bayangin aja kamu ini dipinjami badan, dan badan ini sudah membantumu habis-habisan. Kalau suatu saat pinjaman harus dikembalikan, masa sih dikembalikannya dalam keadaan berantakan?"
(Hasilnya cukup bagus ternyata, karena membuat mereka termangu-mangu.)

"Tapi kenapa kamu gak suka mandi, Dimas? Apa kata doktermu sendiri?", tanyaku sambil memecah atmosfer serius sebelumnya.
Dimas: "Dokterku sih setuju-setuju aja. Menurut dia boleh-boleh aja kok."
Aku: "Apa iya doktermu yang bicara? Doktermu sakit kali..."
Kaka: "Gara-gara menyuruh dia mandi, dia membenciku seharian, Bun. Doktermu tuh yang gak bener." :-)
Dimas: "Enggak ah, dokterku baik-baik aja kok. Dia cuma eksentrik."
Aku: "Woi, eksentrik itu banyak macamnya, tapi kenapa milih gak suka mandi? Apa pernah kau pikirkan, kenapa kamu ditakdirkan jadi bungsu dengan dua kakak perempuan?"
Kaka: "Supaya ada yang bilang kamu bau dan musti keramas! Supaya ada yang mencetin komedo kamu!"
Dinda: "Ya supaya kamu diurus sama kita-kita! Bayangin Bun, dia masih belum bisa bikin susu sendiri!" :-)

Dimas: "Aku sebel sama orang yang mementingkan penampilan. Aku sebel karena Kaka suka lama di kamar mandi. Terserah aku mau naruh selotip, kawat, peniti, entah di kacamata atau bajuku. Aku jadi ogah minum susu, karena Dinda bilang susu buatanku tawar."

Aku: "Woi Dimas, orang punya alasan macam-macam untuk memperhatikan penampilan, untuk mandi lama, untuk suka susu manis; tapi masa iya alasan dan selera mereka yang tidak kamu setujui membuat kamu kehilangan selera terhadap penampilan, mandi dan susu tawarmu? Woi, itu kan artinya kamu menaruh tombol pengendali dirimu di luar, sehingga tombol kamu bisa dipencet orang seenak perutnya? Tentukan alasan dan seleramu sendiri dong."

Barangkali ini adalah salah satu diskusi kami yang paling produktif dan penuh gelak tawa. Ada rencana mereka untuk 'bikin teh buat Bunda". Wow, kalau sampai ditulis, pasti ini rencana yang sangat berat! ;-)
"Aku memang gak tahu cara bikin teh. Airnya panas atau dingin, aku gak tau," kata Dimas.

Ada juga rencana Kaka untuk mengajari Dimas main piano, membuat Dimas sendiri heran dan bertanya: "Why me?"
"Karena kamu hebat Dimas. Kamu sering tidak tahu kalau kamu hebat. Ingat nggak aku ajari kamu lagu Yesterday sekali, besoknya kamu sudah tampil dengan bagus di sekolahmu?", jawab Kaka.
(Yang dimaksud lagu Yesterday ini pasti lagu aslinya. Soalnya di rumah kami ada versi pelesetan ala Buya yang dicampur dengan lagu Betawi lama, dimana syairnya (juga nadanya) berubah jadi: "Yesterday, mangga pisang jambu...." ;-) )

Namun yang paling menarik adalah catatan mereka bertiga untuk mengajak nonton bioskop saudara angkat mereka, Hana. Adanya Hana dalam catatan itu sudah merupakan hal yang amat menyenangkan, karena setidaknya Hana sudah diperhitungkan sebagai bagian penting dari mereka.
Aku: "Kenapa menonton bersama Hana masih merupakan hal yang sulit dimulai bagi kalian?"
Kaka: "Kami sangat suka kalau pergi bertiga aja. Diskusi di antara kami itu seringkali bodoh tapi penting. Kalau ada Hana, kami jadi kurang bebas, dan dia juga tidak bisa mengimbangi."

Aku: "Ya, Bunda tahu rasanya. Tapi kalian tidak akan selamanya bertiga. Kalian harus mengenal pergaulan yang berbeda. Percayalah, kadang-kadang teman setara itu harus kita bentuk sejak awal, dan Hana memiliki bahan yang memadai. Dia memang dibesarkan di desa, tapi dia suka membaca dan belajar kan?"

Aku lalu menambahkan: "Lakukan role-playing. Perankan diri yang bodoh, supaya Hana berpikir: 'Oooh, ternyata Kaka ada bodoh- bodohnya juga seperti aku!'. Dengan begitu dia merasa tak berjarak denganmu. Ajukan juga umpan-umpan pertanyaan di antara kalian yang bisa dia ikuti, sekalipun jawabannya sudah kalian ketahui. Begitulah cara parenting kami selama ini, yaitu: role-playing. Kalian tidak menyadarinya, kan?"
"Belakangan aku tahu Bunda-Buya menggunakan cara itu", kata Dimas sambil mengangguk-angguk.

Begitulah, rencana sudah ditetapkan.
Saatnya melatih self-discipline sepanjang Ramadhan, sehingga bulan-bulan berikutnya kami berharap bisa mencapai self-governance yang lebih baik.
Adanya rencana ini membuat 'collective training days' itu kami tunggu-tunggu dengan debar-debar yang menyenangkan. Lebih-lebih para role player, juga dokter-dokter pribadi kami -termasuk yang eksentrik dan bodor, pasti akan ikut berjaga selama 24 jam sehari!
Jadi .... "Siaaaap!"

..........

Selamat menyambut puasa.


Tuty Yosenda

Kaka: 20 tahun, belajar psikologi di Maranatha Bandung
Dinda: 18 tahun, belajar biologi di ITB, Bandung
Dimas: 16 tahun, belajar video, pidato dan manjat gunung di SMA Muthahhari, Bandung
Hana: 17 tahun, belajar bahasa Inggris, literasi, komputer dan memasak, di Bandung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar