É ... mantèné teko , é ... bèbèrno kloso
É ... klosoné bedhah , é ... tambalen jadah
É ... jadhahé mambu, é ... pakakno asu
É ... asuné mati, é ... buwak nang kali
É ... kaliné banjir , é ... buwak ning pinggir
....................................
(Pengantinnya datang, hamparkan tikar
Tikarnya koyak, tambal saja dengan kue ketan
Kue ketannya basi, berikan saja pada anjing
Anjingnya mati, buang saja ke kali
Kalinya banjir, buang saja ke pinggir)
______________________________
Lagu ini (jika boleh dibilang lagu) paling seru kalau dinyanyikan sambil menghentak atau memukul-mukul sesuatu, terutama bangku sekolah ...tentunya ketika guru sedang tidak hadir ;-).
Terbayang dalam kenangan, segerombol anak laki-laki (tentu anak-anak di tahun 70 - 80 an ;-)) menarik perhatian orang dengan mendendangkan lagu tersebut, entah ketika sedang berjalan bareng menuju sebuah tempat, atau bahkan di saat berbaris dan berkostum aneh dalam pawai Tujuh Belas Agustus. Kami anak perempuan biasanya cukup puas dengan ikut meneriakkan ééé nya saja. Seolah lengkingan bersama-sama itu memberikan semacam keberanian ekstra untuk berkata pada dunia: "INILAH KAMI !"
Sesungguhnya aku tidak yakin apakah ini merupakan semacam lagu.
Ini mungkin sejenis 'puisi jalanan' (kalau boleh disebut puisi) yang diciptakan entah oleh siapa.
Ya, pada masa itu hak cipta memang belum dikenal. Tapi sungguh merupakan godaan yang menarik untuk memikirkan siapa yang memulainya.
Kalau imajinasiku boleh berperan di sini, barangkali proses pembuatan puisi tersebut diawali oleh sekelompok pemuda yang sedang ronda malam, dan sedang dilanda keisengan untuk mengusik salah satu di antara mereka yang baru menjadi pengantin.
"É ... mantèné teko , é ... bèbèrno kloso", seorang dari mereka memulai.
(Ai... datang juga pengantinnya, ayo kita hamparkan tikar untuknya)
Saat itu suasananya pasti riuh sekali, lebih-lebih sang pengantin yang datang membawakan oleh-oleh jadah (kue ketan) itu tak ingin 'mati langkah'. Jadi si pengantin baru lalu melanjutkan puisi dadakan itu dengan meledek tikar yang dibicarakan, yang lucunya koyak di sana-sini.
"É ... klosoné bedhah", kata si pengantin.
"É... tambalen jadah", balas seorang rekannya sambil memungut sebuah kue ketan.
(Ai ...tikarnya koyak, tambal saja dengan jadah)
Barangkali saat itu mereka cukup bangga dengan irama serasi yang mereka temukan. Jadi pada hari berikutnya, keisengan yang memuaskan itu dilanjutkan, sehingga puisi itu kita kenal lengkap dalam versi yang membawa-bawa anjing mati dan sungai banjir segala.
Yah, sayangnya imajinasiku terpaksa harus berakhir di sini, teman. Selain tak ada kejelasan, susah diteruskan, juga tak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kurasa aku akan berhenti memikirkan siapa penciptanya. Karena ada yang jauh lebih penting untuk diketahui, yaitu ... siapa penggunanya ? Dan mengapa ?
..............................................................
Sempat terlintas di pikiranku, bagaimana kalau ternyata selama ini kita adalah pengguna puisi iseng tersebut, teman ?
Kita memang tidak lagi menyanyikannya, karena kita tahu cara yang lebih efektif untuk menyatakan : "INILAH AKU". Namun dengan cara yang lain, kita menyanyikannya juga.
Kitalah yang suka 'menambal-sulam tikar koyak dengan kue ketan", bukannya mengganti dengan tikar baru.
Kitalah yang memberi makan 'anjing peliharaan' yang berada di bawah tanggung jawab kita dengan makanan yang bahkan kitapun tak sudi memakannya. (Duh, menganggap orang kecil sebagai anjing saja sudah keterlaluan, apalagi memberinya makanan atau solusi basi ...)
Kita juga 'membuang anjing mati ke sungai' dalam banyak level , baik dalam arti sebenarnya maupun simbolik. Dalam arti sebenarnya, jelas sekali bahwa selama ini sungai memang menjadi tempat sampah kita. Dalam level yang berbeda, membuang anjing mati ke sungai berarti menyerahkan urusan hukum alam yang satu pada hukum alam yang lain , misalnya kerusakan hutan yang dibiarkan menjadi kerusakan ekologis yang berkepanjangan.
Baiklah, salahkan saja para pemuda imajinerku yang sedang ronda malam itu. Terutama salahkan dulu si pengantin yang membawa jadah itu ...;-) Merekalah penggagas kebodohan ini. Barangkali saja melanjutkan pola lama untuk menyalahkan generasi masa lalu itu memang menenangkan dan bisa ...euh...menghapus malu.
Persoalannya, di mana mereka yang kita perlukan untuk disalahkan itu sekarang ?
Yah, sayangnya (atau untungnya ?), jalan cerita ini sekarang sepenuhnya di tangan kita, saudara-saudara.
Dulu kita main-main menyanyikannya, tapi sangat serius ketika hati meneriakkan: "INILAH AKU !".
Dulu mereka mungkin pernah memulainya. Tapi kita yang telah menjadikan apa-apa yang tak jelas, bahkan yang salah itu sebagai budaya. Kita tahu bahwa budaya adalah sikap dan tindakan yang dilangsungkan secara kolektif.
Kita paham bahwa budaya atau shared belief ini -walaupun tak sepenuhnya kita sadari- justru paling lantang menyuarakan: "INILAH KITA".
Sayangnya -lagi-, diri yang kita teriakkan dengan lantang tanpa self-awareness itu tidak akan membuat kita bangga. Karena ketika kita melanjutkan aktivitas 'menambal tikar koyak dengan kue ketan' itu sebagai budaya, artinya kita setuju pada berbagai hal yang dulu berasal dari keisengan yang tak sempat dipikirkan masak-masak itu.
Pada saat yang sama, kita juga setuju bahwa identitas kolektif kita berasal dari sebuah kecelakaan sejarah belaka ...
(diilhami oleh diskusi dengan Prof. Sutiman Bambang Sumitro, suatu hari di Malang, tahun 1998 an)
picture source: http://archive.kaskus.us/thread/2229293/40
É ... klosoné bedhah , é ... tambalen jadah
É ... jadhahé mambu, é ... pakakno asu
É ... asuné mati, é ... buwak nang kali
É ... kaliné banjir , é ... buwak ning pinggir
....................................
(Pengantinnya datang, hamparkan tikar
Tikarnya koyak, tambal saja dengan kue ketan
Kue ketannya basi, berikan saja pada anjing
Anjingnya mati, buang saja ke kali
Kalinya banjir, buang saja ke pinggir)
______________________________
Lagu ini (jika boleh dibilang lagu) paling seru kalau dinyanyikan sambil menghentak atau memukul-mukul sesuatu, terutama bangku sekolah ...tentunya ketika guru sedang tidak hadir ;-).
Terbayang dalam kenangan, segerombol anak laki-laki (tentu anak-anak di tahun 70 - 80 an ;-)) menarik perhatian orang dengan mendendangkan lagu tersebut, entah ketika sedang berjalan bareng menuju sebuah tempat, atau bahkan di saat berbaris dan berkostum aneh dalam pawai Tujuh Belas Agustus. Kami anak perempuan biasanya cukup puas dengan ikut meneriakkan ééé nya saja. Seolah lengkingan bersama-sama itu memberikan semacam keberanian ekstra untuk berkata pada dunia: "INILAH KAMI !"
Sesungguhnya aku tidak yakin apakah ini merupakan semacam lagu.
Ini mungkin sejenis 'puisi jalanan' (kalau boleh disebut puisi) yang diciptakan entah oleh siapa.
Ya, pada masa itu hak cipta memang belum dikenal. Tapi sungguh merupakan godaan yang menarik untuk memikirkan siapa yang memulainya.
Kalau imajinasiku boleh berperan di sini, barangkali proses pembuatan puisi tersebut diawali oleh sekelompok pemuda yang sedang ronda malam, dan sedang dilanda keisengan untuk mengusik salah satu di antara mereka yang baru menjadi pengantin.
"É ... mantèné teko , é ... bèbèrno kloso", seorang dari mereka memulai.
(Ai... datang juga pengantinnya, ayo kita hamparkan tikar untuknya)
Saat itu suasananya pasti riuh sekali, lebih-lebih sang pengantin yang datang membawakan oleh-oleh jadah (kue ketan) itu tak ingin 'mati langkah'. Jadi si pengantin baru lalu melanjutkan puisi dadakan itu dengan meledek tikar yang dibicarakan, yang lucunya koyak di sana-sini.
"É ... klosoné bedhah", kata si pengantin.
"É... tambalen jadah", balas seorang rekannya sambil memungut sebuah kue ketan.
(Ai ...tikarnya koyak, tambal saja dengan jadah)
Barangkali saat itu mereka cukup bangga dengan irama serasi yang mereka temukan. Jadi pada hari berikutnya, keisengan yang memuaskan itu dilanjutkan, sehingga puisi itu kita kenal lengkap dalam versi yang membawa-bawa anjing mati dan sungai banjir segala.
Yah, sayangnya imajinasiku terpaksa harus berakhir di sini, teman. Selain tak ada kejelasan, susah diteruskan, juga tak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kurasa aku akan berhenti memikirkan siapa penciptanya. Karena ada yang jauh lebih penting untuk diketahui, yaitu ... siapa penggunanya ? Dan mengapa ?
..............................................................
Sempat terlintas di pikiranku, bagaimana kalau ternyata selama ini kita adalah pengguna puisi iseng tersebut, teman ?
Kita memang tidak lagi menyanyikannya, karena kita tahu cara yang lebih efektif untuk menyatakan : "INILAH AKU". Namun dengan cara yang lain, kita menyanyikannya juga.
Kitalah yang suka 'menambal-sulam tikar koyak dengan kue ketan", bukannya mengganti dengan tikar baru.
Kitalah yang memberi makan 'anjing peliharaan' yang berada di bawah tanggung jawab kita dengan makanan yang bahkan kitapun tak sudi memakannya. (Duh, menganggap orang kecil sebagai anjing saja sudah keterlaluan, apalagi memberinya makanan atau solusi basi ...)
Kita juga 'membuang anjing mati ke sungai' dalam banyak level , baik dalam arti sebenarnya maupun simbolik. Dalam arti sebenarnya, jelas sekali bahwa selama ini sungai memang menjadi tempat sampah kita. Dalam level yang berbeda, membuang anjing mati ke sungai berarti menyerahkan urusan hukum alam yang satu pada hukum alam yang lain , misalnya kerusakan hutan yang dibiarkan menjadi kerusakan ekologis yang berkepanjangan.
Baiklah, salahkan saja para pemuda imajinerku yang sedang ronda malam itu. Terutama salahkan dulu si pengantin yang membawa jadah itu ...;-) Merekalah penggagas kebodohan ini. Barangkali saja melanjutkan pola lama untuk menyalahkan generasi masa lalu itu memang menenangkan dan bisa ...euh...menghapus malu.
Persoalannya, di mana mereka yang kita perlukan untuk disalahkan itu sekarang ?
Yah, sayangnya (atau untungnya ?), jalan cerita ini sekarang sepenuhnya di tangan kita, saudara-saudara.
Dulu kita main-main menyanyikannya, tapi sangat serius ketika hati meneriakkan: "INILAH AKU !".
Dulu mereka mungkin pernah memulainya. Tapi kita yang telah menjadikan apa-apa yang tak jelas, bahkan yang salah itu sebagai budaya. Kita tahu bahwa budaya adalah sikap dan tindakan yang dilangsungkan secara kolektif.
Kita paham bahwa budaya atau shared belief ini -walaupun tak sepenuhnya kita sadari- justru paling lantang menyuarakan: "INILAH KITA".
Sayangnya -lagi-, diri yang kita teriakkan dengan lantang tanpa self-awareness itu tidak akan membuat kita bangga. Karena ketika kita melanjutkan aktivitas 'menambal tikar koyak dengan kue ketan' itu sebagai budaya, artinya kita setuju pada berbagai hal yang dulu berasal dari keisengan yang tak sempat dipikirkan masak-masak itu.
Pada saat yang sama, kita juga setuju bahwa identitas kolektif kita berasal dari sebuah kecelakaan sejarah belaka ...
(diilhami oleh diskusi dengan Prof. Sutiman Bambang Sumitro, suatu hari di Malang, tahun 1998 an)
Pengantin jawa berbusana dodot. |