A Little Thought about Paradox
Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana penulis novel dan pembuat film menggunakan paradoks dalam menghidupkan tokoh-tokohnya?
Dalam cerita-cerita tersebut, entah pahlawan ataupun penjahatnya sering dilukiskan sebagai sosok yang susah-payah mengarahkan segenap upaya perlawanannya justru bukan kepada musuhnya, melainkan pada sisi gelap yang ada di dalam dirinya sendiri. Kegelapan di dalam diri mereka itu penting untuk dikenali dan ditundukkan, karena pengalaman ini akan menjadi bekal bagi mereka dalam menghadapi kegelapan serupa ‘di luar sana’.
Jadi paradoks tampaknya bukan hanya sekedar bumbu penting dalam cerita. Paradoks bagaikan lampu yang tak hanya memberikan terang pada sebuah sisi, tapi juga menyisakan bayang-bayang gelap pada sisi kemanusiaan kita secara ... estetis. Paradoks jugalah yang membuat kita bertanya-tanya, kegelapan macam apa yang mungkin masih tersembunyi di dalam diri kita?
"Engkau mengacau, tapi mengacau dengan cara yang sangat spesial."
"Engkau melakukan ketololan, tapi kau melakukannya dengan sangat gaya."
Siapa sangka suatu hari saya akan mencatat dialog-dialog semacam ini dari beberapa film?
Barangkali saya tidak akan pernah menyadari ada kalimat paradoks seperti itu, jika saya tidak pernah mengenal seorang ‘Abunawas’... eh teman ;-), yang sengaja mengkombinasikan kekacauan dengan ke-spesial-an, dan menyatukan kekonyolan dengan style. Sungguh aneh mendapati bahwa kesan mendalam justru terletak pada gabungan antara dua hal yang sangat bertentangan seperti itu.
Suatu hari Abunawas pergi ke pasar dan membeli sepotong daging. Di jalan pulang, ia berpapasan dengan seorang teman yang memberinya resep istimewa untuk memasak daging tersebut. Senangnya hati Abunawas! Membaca resep itu saja sudah membuatnya asyik membayangkan hidangan yang sangat lezat.
Tak disangka, baru beberapa langkah kaki Abunawas menginjak halaman rumahnya, seekor gagak besar menyambar daging tersebut dari tangan Abunawas, lalu kabur.
"Hei, kamu pencuri!", teriak Abunawas marah.
"Kau memang punya dagingnya. Tapi tahu tidak? Kau tidak akan menikmatinya. Karena resepnya ada padaku!"
Apakah paradoks itu?
Secara filosofis, literatur melukiskan paradoks sebagai 'pelintiran mendadak' yang memperlihatkan pada kita apa yang tadinya tersembunyi (dalam diri kita sendiri). Paradoks berpotensi untuk 'memperdaya proses berpikir kita' dengan cara memainkan ketegangan yang terjadi antara dua kerangka yang kontradiktif. Sejenak kontradiksi itu menghentikan proses berpikir linear kita. Namun terhentinya pikiran linear tersebut justru memungkinkan kita mengalami semacam 'cognitive shift'. Cognitive shift inilah yang menyadarkan kita akan adanya rute berpikir yang lain sama sekali. Kejutan akan adanya rute berpikir lain ini seringkali terasa membebaskan, bahkan menyenangkan. Humor pada umumnya bekerja dengan memanfaatkan paradoks semacam ini.
Alkisah di mulut sebuah hutan ada sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang saudara kembar yang tak bisa dibedakan oleh siapapun. Orang mengenal mereka sebagai pribadi-pribadi yang sangat berlawanan: yang satu selalu berkata jujur, yang lainnya selalu berbohong. Tapi mereka punya kesamaan unik -selain tampilan fisik sebagai pasangan kembar identik tentunya-, yaitu: tak suka bercakap-cakap, dan hanya mau menjawab satu pertanyaan saja.
Suatu hari rumah si Kembar kedatangan rombongan turis. Rombongan ini ingin berekreasi ke hutan wisata, tetapi di tengah jalan mereka menemukan persimpangan yang membingungkan. Konon hutan wisata tersebut bertetangga dengan hutan liar yang dihuni hewan buas. Tak ingin keliru memasuki hutan liar, turis-turis ini memutuskan untuk bertanya pada satu-satunya penghuni kawasan hutan tersebut, yaitu si Kembar. Pemimpin rombongan sudah mendengar tentang keunikan si Kembar, terutama tentang aturan 'satu pertanyaan' itu. Itu sebabnya ia menyertakan si cerdik Abunawas dalam rombongan ini.
Abunawas mengetuk pintu rumah si Kembar. Dari kejauhan, teman-temannya dapat melihat bahwa salah seorang dari si Kembar itu -entah yang mana- membuka pintu, lalu berkata dengan tegas: "Hanya satu pertanyaan, ya!"
Abunawas mendekatkan dirinya pada salah satu dari si Kembar itu, berbisik-bisik, dan si penghuni rumah pun menjawabnya dengan bisik-bisik pula. Percakapan bisik-bisik itu terlalu singkat, dan pintu rumah si Kembar itu tampaknya juga terlalu cepat ditutup kembali. Namun Abunawas tampak terlalu mantap untuk mengatakan pada teman-temannya bahwa 'hutan wisata ada di jalur sebelah kanan'. Tentu saja semua orang bertanya-tanya, bagaimana Abunawas bisa begitu yakin bahwa tujuan mereka benar-benar ada di jalur kanan?
"Aku yakin kita harus menempuh jalur kanan, karena orang yang kutanya tadi menunjukkan jalan sebelah kiri", jawab Abunawas.
"Bagaimana kau begitu yakin? Bukankah engkau tidak tahu si Kembar yang jujur atau pembohongkah yang tadi kau jumpai, lebih-lebih kesempatanmu hanya satu pertanyaan?", mereka bertanya lagi.
"Sebenarnya satu pertanyaan yang bagus itu sangat cukup," jawab Abunawas.
"Aku tadi bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku tanyakan padanya jalan mana yang menuju hutan wisata?”, kata Abunawas. Ia lalu melanjutkan:
“Bila jalan yang benar adalah jalur kanan, dan yang kujumpai tadi adalah si Jujur, ia akan berkata "jalur kiri", karena itulah yang akan dikatakan saudaranya yang pembohong. Tapi bila ia adalah si Pembohong, ia pun akan menjawab "jalur kiri", sebagai kebalikan dari jawaban saudaranya yang jujur. Dengan begitu kita tahu bahwa jalan yang ingin ditunjukkan si Jujur adalah yang kanan."
Paradoks sering digunakan oleh para bijak dalam menyampaikan pesan-pesan spiritualnya. Kisah Abunawas ini mengingatkan kita, bahwa 'kiri dan kanan' itu saling melengkapi, bahwa pertentangan dan kontradiksi yang sering kita temukan itu hanyalah produk dari penglihatan yang tidak menyeluruh. Kiri-kanan, tinggi-rendah, benar-salah dan sebagainya itu bukanlah kutub-kutub yang saling terpisah. Mereka berhubungan, walau hubungan itu mungkin bersifat ‘eksentrik’. Saat kita berhasil menemukan koneksitas dan menyatukan kedua ‘kutub’ tersebut, sifat paradoksikalnya akan berakhir bagi kita. Mata yang tajam dan jiwa yang tenang akan menangkap-basah paradoks sebagai masalah sudut pandang belaka. Dalam ajaran Zen, tema paradoks dikemas khusus dan dikenal dengan istilah koan. Tujuan koan adalah menghentikan proses berpikir linear demi mengaktifkan proses berpikir non linear.
Pertanyaannya, apa salahnya dengan berpikir linear?
Karena berpikir linear itu mendasarkan diri pada pengukuran dan perbandingan, dua aktivitas yang paling disukai ego. Jika kita menghentikan proses berpikir linear ini, lalu mengalihkan kesempatan tersebut pada intuisi, artinya kita meninggalkan batas-batas wilayah ego sembari bergerak menuju area egoless atau selfless. Inilah saat dimana kita memfasilitasi terjadinya cognitive shift untuk melihat hal-hal yang formless, incomparable, bahkan immeasurable.
Begitulah rencananya.
Tapi area egoless dan intuitif itu tidak mudah untuk dikisahkan, malah cenderung membosankan! Bagaimana mungkin menarik minat orang untuk menuju ke sana (baca : kearifan) kalau ceritanya saja membosankan? Untuk mengatasi hal tersebut, orang lalu mulai bermain-main dengan ‘cermin paradoks’. Artinya, tonjolkan sisi ego dan pikiran linear yang suka mengukur dan membanding-bandingkan itu, lalu ‘pelintir’ sudut pandangnya sedemikian rupa. Dengan cara begitu, orang justru akan melihat sisi kebalikan yang diharapkan.
Begitulah rencananya.
"Aku tidak bahagia, Abu. Rumah kami terlalu sempit untuk menampungku, istriku dan delapan anakku", keluh seorang teman Abunawas.
Abunawas memandanginya beberapa saat, lalu bertanya: "Kau punya domba?"
"Tidak. Tapi aku bisa membelinya", jawab si Teman dengan pandangan tidak mengerti.
"Belilah seekor, dan tempatkan dalam rumahmu", kata Abunawas.
Tanpa ragu, orang itu mematuhi Abunawas. Namun beberapa hari kemudian ia mengeluh lagi, malah ia merasa rumahnya semakin sempit.
"Kalau begitu belilah beberapa ekor ayam. Taruh dalam rumahmu", kata Abunawas.
Si Teman tidak membantah. Namun beberapa ekor ayam ditambah seekor domba ternyata membuat rumahnya makin sesak saja.
"Kali ini peliharalah seekor anak unta dalam rumahmu", kata Abunawas ketika berjumpa lagi dengan wajah yang makin muram itu.
Namun semua saran ini tidak ada yang berhasil membawa bahagia!
"Rumahku seperti neraka, Abu. Kami tidak tahan tinggal serumah dengan hewan-hewan itu", kata si Teman.
"Kalau begitu juallah anak unta itu", kata Abunawas.
Sekian hari berlalu, Abunawas mulai melihat senyum di wajah temannya.
"Kami merasa lebih baik tanpa anak unta itu, Abu", katanya.
"Begitukah? Bagaimana kalau sekarang kau jual ayam-ayammu?", kata Abunawas.
"Kami juga merasa lebih senang tanpa ayam-ayam itu, Abu", kata si Teman dengan sumringah beberapa hari berselang.
"O ya? Berarti sekarang kau bisa menjual dombamu kalau kau mau", kata Abunawas.
Beberapa hari kemudian Abunawas mengunjungi si Teman, ia menyambutnya dengan wajah berseri-seri.
"Sekarang kami merasa bahagia karena rumah kami terasa lapang, Abu!"
Mengukur dan membanding-bandingkan, pekerjaan pikiran linear itu, sungguh merupakan sumber pertentangan dan ketegangan yang tak habis-habis. Menariknya, bagi para ‘Abunawas’, ‘sumber ketegangan’ itu terdengar sama merdunya dengan ‘sumber humor’. Malah ini merupakan sumber humor yang paling bagus!
Ya, Abunawas memang sering membuat kita tertawa. Tapi saya kira para ‘Abunawas’lah yang lebih banyak tertawa, bahkan mungkin terpaksa menahan tawa ketika mengamati ... kita! Siapa lagi? Kita lucu, karena sering dengan sengaja membebat diri-sendiri dengan persepsi yang membelenggu dan kebiasaan yang mekanistik. Kita kerepotan karenanya, tapi tetap saja melakukannya. Kita berkata: 'Jangan menilai buku dari sampul luarnya, jangan menilai parfum dari bentuk botolnya'. Namun kita jugalah yang selalu tergoda untuk mengoleksi berbagai sampul dan botol itu.
Karena itu, sebuah pesan, lebih-lebih pesan kearifan, haruslah disajikan secara kreatif, demikian kata para ‘Abunawas’.. Kemas pesannya dengan menggunakan paradoks dan ‘pelintiran’. ‘Pelintir’ itu artinya membuat lompatan kecil secara tiba-tiba ke arah sudut pandang yang berlawanan. ‘Pelintiran’ ini akan membuat orang justru melihat pola yang tak terduga sama sekali, bahkan menangkap dengan jelas apa-apa yang tidak terucap dan tidak ditampilkan.
Begitulah memang rencananya !
Tetangga Abunawas baru pulang melancong dari negeri-negeri yang jauh. Dengan antusias, ia mengisahkan hal-hal aneh yang dilihatnya sepanjang perjalanan.
"Kau tahu", katanya pada Abunawas, "Ada sebuah negeri yang aneh. Udaranya luar biasa panas, sehingga tak seorangpun mau memakai pakaian di sana."
Sejenak Abunawas tampak terheran-heran.
"Pasti sulit", kata Abunawas dengan wajah serius, "Tanpa pakaian, bagaimana cara kita membedakan mana lelaki dan mana perempuan?"
Apa jadinya kalau dunia ini tak mengenal para ‘Abunawas’? Pasti melelahkan dan membosankan, karena tak akan ada ‘pelintiran’ yang menghasilkan humor dan kreativitas. Tanpa ‘Abunawas’, dunia akan dipenuhi ketegangan, karena orang-orang hanya mau mengakui kebenaran individualnya sendiri. Ideologi dominan menguasai, ideologi resesif menyembunyikan diri. Tapi hipotesa inipun paradoks. Karena begitu ada banyak ketegangan, akan lahir orang kreatif yang berusaha ‘memulung ketegangan’ tersebut dan memanfaatkannya. Si Kreatif ini akan bermain-main dengan ketegangan tersebut dengan menggunakan berbagai teknik ‘pelintiran’. Siapa lagi dia kalau bukan si iseng ‘Abunawas’ ?
Di tangan para ‘Abunawas’ , paradoks dan pertentangan akan menjadi alat yang efektif untuk menunjukkan ketololan dan kelalaian manusia. Bahkan kemasan pesan ala Abunawas sering menjadi kritik yang tak hanya menghibur, juga berkesan. Tapi ingat, harus humor, bukan kritik dan nasihat! Nasihat baik jarang dibutuhkan dalam cuaca cerah. Tapi dalam cuaca buruk, orang malah terlalu panik untuk mendengarnya.
Abunawas menumpang sebuah kapal besar. Cuaca sedang cerah, tapi ia malah semangat berkisah pada penumpang lain tentang cuaca buruk di laut dan berbagai bahaya yang menyertainya. Tentu saja tak ada orang yang mendengarkan!
Tak dinyana, cuaca buruk itu benar-benar datang. Situasi sangat tak terkendali, badai besar mengombang-ambingkan dan nyaris menenggelamkan kapal. Para penumpang panik, mereka menangis, menjerit sejadi-jadinya kepada Tuhan. Berlomba-lomba mereka membuat janji akan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, jika Tuhan sudi menolong tentunya.
"Teman-teman", teriak Abunawas. "Jangan boros dengan janji-janji indah.
Aku melihat daratan!"
Aku melihat daratan!"
Apakah artinya tertawa ?
Tawa adalah sebentuk penghargaan yang timbul karena adanya pemahaman terhadap sesuatu yang bernilai dalam diri kita. Kita mungkin melihatnya melalui peragaan ketololan dan ketidaksempurnaan yang diramu secara cerdas dan kreatif. Tawa menunjukkan kemampuan kita menerima, bahkan menikmati hal-hal yang kurang ideal ini. Sikap tidak terlalu serius terhadap harapan dan idealisasi ini merupakan awal yang baik untuk membina kerendahan hati dan kepedulian pada orang lain.
(Ya ampun, saya mulai serius ya? Baiklah, saya akan memperbaikinya dengan kata-kata:
"Tertawa sajalah, guys! Enjoy your own madness. You have more than you thought!")
Siapa yang tak kenal Abunawas, sufi cerdik yang 'nakal', namun tahu semua jawaban? Semua orang di penjuru negeri mengenalnya, termasuk Raja. Popularitas Abunawas menanjak karena ia selalu lolos dari jebakan yang dibuat oleh Raja. Ini membuat Raja semakin bernafsu untuk menjatuhkan Abunawas. Berkat dukungan dan kerja-keras para cendekiawan istana, Raja akhirnya berhasil juga mengalahkan kecerdikan Abunawas dalam sebuah kompetisi yang telah direkayasa. Abunawas kini mendekam dalam penjara, menunggu hukuman mati.
Pada hari eksekusi yang telah ditetapkan, Raja melakukan prosedur standar terhadap terpidana mati Abunawas di depan ribuan rakyatnya.
"Adakah permintaan terakhir?", tanya Raja. Ini adalah pertanyaan yang paling ditunggu-tunggu oleh Abunawas.
"Ada Yang Mulia. Perkenankan hamba memilih sendiri hukuman mati yang hamba kehendaki."
"Baiklah", jawab Raja.
"Paduka, hamba minta, bila pilihan hamba benar, hamba bersedia dihukum pancung. Tapi bila pilihan hamba salah, hamba dihukum gantung saja", kata Abunawas.
"Baiklah. Bila kau benar, pancung. Bila kau salah, gantung. Permintaanmu dikabulkan", Raja mengulangi kata-kata Abunawas sambil berusaha menahan tawa. Ternyata terali besi telah membuat kelakar Abunawas menjadi kering, demikian pikir sang Raja.
Belum habis Raja menertawakan hal tersebut, tiba-tiba Abunawas berteriak:
"HAMBA AKAN DIHUKUM GANTUNG!"
Orang-orang terkejut, Rajapun terpana. Ia mulai mencium adanya muslihat. Tapi Raja harus bertindak hati-hati, kata-kata yang terucap tak mungkin ditarik kembali. Ribuan rakyat -yang sebagian besar merupakan pengagum Abunawas itu- mendengarkan semua pembicaraan pada hari itu. Raja tak ingin memberi kesan buruk pada rakyat.
Mendapati situasi sudah berubah menjadi agak membingungkan, Abunawas lalu menggunakan kesempatannya.
"Baginda, hamba tadi sudah memilih hukuman gantung. Jika pilihan hamba benar, hamba seharusnya dihukum pancung. Tapi di manakah letak kesalahan hamba sehingga harus dihukum pancung, padahal hamba memilih hukuman gantung?"
Raja dan seluruh rakyat kini terpana. Tak ada yang menyangka Abunawas bisa saja menemukan lubang jarum pada kesempatan sekecil itu.
Akhir kata, pasti seru memiliki mata ala Abunawas! Baginya, dunia ini tampak sempurna dengan berbagai ketidaksempurnaannya. Bahkan kata-kata cerdas pun bisa dia permainkan menjadi ... entah tolol, entah bijak, entah jenius, apa bedanya? Selama ada ketololan ... eh manusia, berarti akan selalu ada bahan-bahan humor dan paradoks ... Itu juga berarti akan selalu ada pekerjaan yang bisa dilakukan, bukan ?
Saya mungkin tidak cukup bagus mengungkapkan gambaran tentang ‘Abunawas’ yang saya kenal. Ia berada di luar gambaran baik-buruk, benar-salah, pintar-bodoh, menyenangkan-menyebalkan dan sebagainya. Yang pasti, ketika orang memiliki mata ala ‘Abunawas’, berarti ia punya mata yang bagus dalam menikmati dan menciptakan humor. Dan ketika ia punya selera humor yang bagus, berarti ia juga punya rasa estetika yang bagus dalam hal apapun, yang membuat kehadirannya tampak bagus dan membaguskan di manapun ia berada!
Percayalah, Anda sangat beruntung jika bisa menemukan satu saja ‘Abunawas’ dalam hidup Anda. Tapi jika Anda tidak seberuntung itu, Anda tetap bisa ‘mengundangnya’ dengan cara ... kurangi sedikitlah keseriusan Anda dalam menghadapi hidup ini. Serius! ;-). Siapa tahu sudut pandang Anda akan terpilin sedikit, lalu cognitive shift itu terjadi, dan Anda melihat ‘sesuatu’ yang sebenarnya sudah ada di sana sekian lama...